Aksi #GejayanMemanggil Tolak Pelemahan KPK

Loading

            Beberapa waktu terakhir banyak aksi yang dilakukan mahasiswa atau masyarakat untuk menuntut pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) agar menelaah kembali kebijakan-kebijakan yang dianggap mengebiri demokrasi  dan tidak berpihak kepada rakyat.

         Kamis, 19 September 2019, sejumlah mahasiswa dari beberapa universitas melakukan aksi di depan Gedung MPR, DPR, dan DPD Jakarta. Dalam aksi tersebut mahasiswa menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah disahkan.

       Senin, 23 September 2019, aksi kembali dilakukan di beberapa kota besar di Indonesia salah  satunya Yogyakarta yang berpusat  di Pertigaan Colombo, Jalan Gejayan. Aksi yang bertajuk #GejayanMemanggil tersebut diikuti oleh ribuan mahasiswa dari berbagai universitas. “Setidaknya ada lebih dari 10 kampus bahkan  tadi ada teman-teman Unnes (Universitas Negeri Semarang-red) yang datang kesini rombongan,” ungkap Obet Krisna salah satu bagian dalam aliansi.

         Aliansi Poros Utara (APU) merupakan salah satu aliansi yang ikut serta dalam aksi  tersebut. Dandi selaku humas APU mengungkapkan  pihaknya menolak  RKUHP  yang akan disahkan dalam sidang paripurna DPR pada tanggal 24 September 2019. Dandi  menambahkan pihaknya pun menolak adanya UU KPK .

            Adanya pasal-pasal karet yang diatur dalam UU KPK kemudian berpotensi mengikis independensi kinerja KPK. Hal ini diaminkan oleh Obed Kresna. Andri Kotala selaku Presiden mahasiswa (Presma) dari Institut Sains dan Teknologi Akademi Perindustrian (IST Akprin)  menyebutkan bahwa dengan disahkannya UU KPK maka akan  menghilangkan kepercayaan  rakyat terhadap lembaga pemerintah. “Kalau semisalnya tikus-tikus berdasi (Politisi-red) berkeliaran dengan bebas dan memiliki kekuasaan yang lebih leluasa, maka mau kemana lagi nasib masyarakat,” tutur Andri.

Baca Juga:  Peringati May Day, Aksi Mahasiswa Dihalangi Polisi

            Dilansir dari detik.com, tahun 2018 KPK menangani 178 kasus korupsi. Bila ditinjau dari jenis perkara tindak pidana korupsi yang banyak terjadi ialah penyuapan dengan jumlah 152 perkara, disusul pengadaan barang atau jasa sebanyak 17 perkaran dan Tindak Pidana Pencucian Uang  sebanyak 6 perkara. Dari data tersebut sebanyak  91 perkara melibatkan anggota legislatif.

       KPK dalam kinerjanya bersifat independen, bertugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Lembaga ini sudah ada sejak  tahun 2002.

           Terdapat tujuh poin revisi UU Nomor 30 Tahun 2002  KPK yang disepakati DPR dan Pemerintah pada 17 September. Ada pun poin-poin yang dianggap melemahkan kinerja KPK salah satunya pembentukan Dewan Pengawas KPK yang dipilih langsung oleh presiden dengan persetujuan DPR. Dewan Pengawas ini selain bertugas mengawasi juga ikut andil dalam memberikan izin penyadapan, dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK. Hal tersebut dianggap akan mempersempit ruang gerak KPK dalam memberantas korupsi.

           Selain itu ada pula pembentukan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang menyulitkan gerak dari KPK. Di mana KPK hanya memiliki waktu dua tahun untuk melakukan penyidikan. Sedangkan bila kasus tersebut terus berlanjut dalam rentan waktu tersebut KPK tidak bisa melakukan penyadapan. Selain itu juga, memungkinkan pelaku untuk melarikan diri ke luar negeri sehingga lepas dari tuntutan. Hal tersebut tentu menjadi salah satu faktor tumbuh suburnya praktik korupsi di Indonesia.

Reporter : Fariza

Persma Poros
Menyibak Realita