Ratusan massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Jogja Memanggil kembali menggelar aksi di Jalan Malioboro (21/8/24). Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini aksi terjadi dengan tuntutan utama politik dinasti yang dilakukan oleh presiden Jokowi bisa runtuh dan mengecam tindakan represif aparat kepada massa aksi sebelumnya.
Masduki, selaku guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) menjelaskan, Jokowi selama lima tahun terakhir muncul bukan sebagai kepala negara tetapi sebagai kepala keluarga. Menurutnya, hal ini dapat dilihat dari bagaimana Jokowi membangun politik dinasti melalui anak dan menantunya, serta mengontrol partai politik.
“Anaknya yang Gibran, sudah. Kaesang, partai-partai dikontrol. Jadi, seluruh lembaga negara itu dia kendalikan bukan untuk kepentingan bangsa,” ucapnya.
Ia juga mengatakan, aksi ini dilakukan untuk melawan Jokowi yang disimbolisasikan sebagai presiden yang melanggar konstitusi dan melanggar etika bernegara. Menurutnya, rezim Jokowi harus runtuh pada tanggal 20 Oktober atau sebelumnya.
“Tanggal 20 (Oktober), itu kan resminya. Tapi, sekarang, pelan-pelan kita melihat bagaimana, semakin banyak warga negara yang mempersoalkan ini, speak up,” jelasnya.
Sejalan dengan Masduki, Cipta, selaku koordinator lapangan Mahasiswa UII mengatakan aksi kedua ini terjadi karena keinginan rakyat yang belum terpenuhi. Ia menjelaskan, aksi kedua ini memiliki beberapa penambahan tuntutan, salah satunya adalah tanggung jawab dari represifitas Polri (Polisi Republik Indonesia).
Selain itu, Cipta juga menjelaskan terkait sifat dari PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) untuk Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) yang disahkan pada (26/8/2024) belum terlalu menguatkan keinginan rakyat. Menurutnya, alangkah baik eskalasi massa dijaga agar masyarakat tetap sadar dan tidak lengah.
“Karena di tengah kelengahan masyarakat, biasanya ada manuver-manuver dari pemerintah,” jelasnya.
Riza, sebagai anggota massa aksi turut memberikan pendapat. Menurutnya, kondisi saat ini adalah kondisi di mana pemerintah memporak-porandakan apa yang sudah ada dan ditetapkan. Ia juga mengatakan Jokowi memanfaatkan situasi sebaik-baiknya menjelang akhir masa jabatannya.
Ia juga menjelaskan, kondisi politik Indonesia saat ini hanya untuk kepentingan satu keluarga saja. Menurutnya, politik dinasti saat ini adalah usaha untuk menutupi aib suatu pihak, hingga harus memasukkan keluarganya.
“Dengan ada RUU (Rancangan Undang-undang) ini kok kayak, politik tuh kayak ke keluarga aja gitu, loh. Kayak, dinasti. Apakah ada aib yang ditutupin di pihak sana sampai harus dimasukin keluarganya lagi?” jelas Riza.
Sejalan dengan tiga orang sebelumnya, Rahma sebagai anggota aksi juga memberikan pendapat. Menurutnya, aksi kedua ini tidak jauh berbeda dari aksi sebelumnya. Namun, ia mengatakan keberhasilan tuntutan pada aksi sebelumnya masih dapat dilangkahi oleh elite politik.
“Makanya, kita ikut demo lanjutan ini, buat mengawal isu itu agar gak tiba-tiba diketok tengah malam. Atau, tiba-tiba keputusan siapalah, yang bisa mengalahkan putusan yang sekarang,” jelas Rahma.
Rahma juga berharap, tuntuan tidak hanya dilakukan dalam satu kali demonstrasi. Menurutnya, eksistensi dari demonstrasi adalah konsistensi dan komitmen. Untuk mengusahakan agar gerakan seperti ini tetap ada, demi mengawal apa yang sudah diperjuangkan.
“Makanya, komitmen dan konsistensi itu, sangat-sangat penting sebenarnya untuk dijaga,” terangnya.
Reporter: Nandia
Penulis: Awandha
Penyunting: Nadya Amalia
Menyibak Realita
Leave a Reply