Asa di Tanah Gusuran

Loading

Hujan telah banyak menghapus jejak langkah, mentari gemar menguapkan kisah, bumi sudah siap menyiksa, menenggelamkan. Namun, selalu ada tempat untuk pulang.

Di siang hari yang begitu panas, umpatan-umpatan terdengar begitu nyaring, bersahutan dengan suara backhoe yang sibuk merusak beberapa jejeran ruko di sepanjang jalan. Satpol PP berjejer rapi bak pagar besi yang siap menahan segala bentuk serangan. Bodohnya, mereka tak tahu lawan. Bisa apa rakyat kecil melawan? Senjata saja mereka tak punya. Beberapa waktu berlalu sudah. Umpatan dan desakan mereda, menyisakan isak tangis pasrah.

Tak jauh dari tempat penggusuran, seorang lelaki paruh baya berdiri, mematung menatap nanar rukonya yang telah rata dengan tanah. Raut wajahnya sama dengan teman senasib. Mata merah sembab, dengan keringat bercucuran di pelipis. Wartono, nama lelaki itu. Rapuh raga pun hati, tiada tempat aduan. Pemerintah memang bertingkah seperti biasa—tak bisa diharapkan. Mengingat tiada lagi yang bisa dia lakukan, kakinya yang menyisakan sedikit gemetar itu melangkah pergi.

Nasib buruk, Wartono benar-benar kehilangan jejak langkah pada bumi  yang ia pijak. Berjalan tak tentu arah dan terseok-seok memikul beban yang amat berat. Mentari kian meredup. Ketika bumi berselimutkan oranye, dirinya tiba di sebuah pelataran rumah. Dipandanginya rumah itu dari jauh, biliknya yang telah reot dan berlubang, kayu penopang yang telah rapuh, genting yang acak-acakan, serta seorang wanita cantik yang sedang menjahit seragam merah-putih di palang pintu rumah sepetak itu.

Dibanding mendekat, Wartono memilih membalik badan dan berdiam diri di pinggir sungai yang menjadi halaman rumahnya. Terduduk sembari menekuk lutut menjadi pose pilihan baginya guna menyamankan diri. Pandangannya kosong, genangan di netranya siap jatuh mengguyur pipi tirusnya, kulitnya yang kecoklatan terbanjiri oleh keringat, pun kaosnya yang terlihat begitu basah.

Baca Juga:  Mulut Besar, Mahasiswa yang Menyebut Dirinya Aktivis

Apa yang harus aku katakan? Batinnya bertanya. Hatinya sedari tadi bergejolak, sempat sesaat mukanya merah padam menahan amarah. Bumi Mataram telah hilang keberpihakan, pikirnya sejak pulang dari tempat yang semula ia gunakan berjualan.

Lelaki berkaus lusuh itu mengusap kepalanya kasar. Rambutnya yang kian memutih tampak acak-acakkan. Ia tak sanggup memikirkan raut wajah sedih istrinya saat tahu bahwa ruko kecil mereka telah ditutup oleh Pengadilan Negeri.

Sungguh, tetiba dirinya tak lagi bisa menahan tangis, seorang lelaki yang selalu berjalan mantap itu rapuh tertimbun duka. Kalut, tak punya sesiapa untuk ikut membantu dalam menuntut keadilan. Tanah hibah pemerintah, janji busuk tentang jaminan bahwa tidak akan ada penggusuran, luluh lantak dalam keputusan meja hijau.

“Gusur! Gusur! Minggir!” Masih jelas terdengar teriakan-teriakan anjing negara itu. Tubuh Wartono bergemetar hebat tak dapat menahan amarah, namun di saat bersamaan tak juga bisa berbuat apa-apa dengan tubuh ringkihnya.

Lelaki itu terus berkutat dengan pikirannya sendiri. Padahal,penghasilannya dari ruko itu tidaklah seberapa. Namun, lihatlah! Bagaimana bisa negara justru meluluhlantakkan semua, bukan malah memperbaiki dan membantunya. Bagaimana juga sekarang, bagaimana ia bisa tetap memantapkan langkah di bumi jika sudah tak ada yang dapat menjadi topangannya?   

Tangisnya semakin menderu saat terdengar azan magrib berkumandang. Ia sempat berlutut pada aparat, mengesampingkan Tuhan yang sebelumnya tak pernah ia lupakan. Wartono amat sangat menyedihkan. Mengigat itu rasanya sungguh menyayat.

“Ayah? Tak berangkat ke masjid?” Terdengar sapaan anak kecil di balik punggungnya. Wartono hanya bergeming.  Otot rahangnya mengeras menahan tangis yang tadi sempat ia curahkan.

Mana sanggup ia menampakkan wajah sedih pada anak semata wayang.  Namun, hatinya kembali bergemuruh saat tangan kecil itu mengusap punggungnya sembari berbisik, “Kata Ibu, semuanya akan baik-baik saja.” Wartono yang kaget kemudian berbalik, menatap netra anaknya yang polos. Kata-kata yang barusan anak itu lontarkan, seakan tak benar-benar anak itu mengerti.

Baca Juga:  Sate untuk Cia

Pandangan Wartono kemudian beralih pada palang pintu di mana tadi ia melihat seorang wanita cantik. Di sana, tepat di matanya tertangkaplah senyum manis sang istri. Getir memang tampak jelas di mata hitam legam itu, namun dukungan yang diberikannya lewat senyuman mengalir lebih cepat ke batin Wartono.

Bibir lelaki beranak satu itu terkatup erat, tak sanggup ia berkata apapun selain menyunggingkan senyum. Ia benar-benar bersyukur. Biarlah nanti Tuhan yang mengembalikan hak-haknya, sekarang saatnya ia memupuk segala semangat usaha. Mulai dari nol. Lagi.

Jejakku akan bertambah, langkahku kembali terarah. Wahai, selamat datang pada peluk. Wartono dengan segera menggendong anaknya, melambai pada istri kesayangannya, lalu pergi ke masjid guna mengadu pada Tuhannya.

Penulis: Kun Anis

Editor: Royyan

Persma Poros
Menyibak Realita