Bayar Utang dengan Utang

Loading

Kicauan burung terdengar riuh, angin sejuk perlahan membelai rambut yang acak-acakan milik pria berpakaian lusuh. Kaus tipis serta celana yang robek pada beberapa bagian tak bisa menghangatkan dirinya dari udara pagi itu. Engkos, biasa ia dipanggil adalah pria miskin yang hidup sebatang kara dan tinggal di rumah reyot peninggalan turun-temurun dari keluarganya.

Engkos memang sudah lama hidup serba kekurangan. Kakek, nenek, serta keluarganya pun tak jauh beda nasibnya. Meskipun sudah ada program untuk menangani kemiskinan dari pemerintah, tetap saja hal tersebut belum juga bisa terselesaikan. Ekonomi negara masih berputar di tangan para penguasa. Terkadang, Engkos berpikir mengapa pemerintah sibuk menangani kemiskinan. Semisal di negeri ini ada penanganan kekayaan, siapa tahu yang kaya bisa jadi lebih merata.

Mentari perlahan naik menghangatkan tubuh ringkih Engkos. Pria itu sedang asyik merawat beberapa ekor ayam milik Mak Edoh, seorang perempuan berusia 50 tahun yang sengaja menitipkan ayamnya agar diurusi oleh Engkos. Kelak, ketika ayam itu sudah berkembang biak dan besar-besar, maka akan dijual dan hasilnya akan dibagi untuk mereka berdua. Sesekali, Engkos terlihat sedang berbicara pada beberapa ayam, sedikit menggerutu dengan dahi yang berkerut, kemudian terdiam. Sepertinya ia baru sadar bahwa unggas itu tak bisa menjawab keluh-kesahnya.

Engkos terkejut ketika tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya. Setelah berbalik badan, ia melihat Joni dengan ekspresi kesalnya. ” Eh, Kos, gimana utang yang kemarin?” tanya Joni kemudian.

“Maaf, aku belum bisa bayar utangnya,” jawab Engkos sembari menunduk.

“Halah! selalu saja beralasan. Setiap ditagih, jawabannya pasti tidak jelas. Jawab ini lah, itu lah, kesal aku sama kamu, Kos!” keluh Joni dengan nada agak naik.

“Aku pasti bayar utangnya. Tapi nanti, setelah ayam-ayamku bertambah banyak dan terjual. Hasil dari penjualannya akan segera aku kasih kamu,” ujar Engkos dengan nada memohon. 

Joni mengangguk, lagi pun jika Engkos tidak bisa membayar utangnya, maka ia tinggal mengambil ayamnya saja. Toh, ia juga akan mendapat keuntungan.

Itulah Engkos, selain hidup sangat pas-pasan, ia memiliki banyak masalah terkait utang-piutang. Sebab tidak bisa meminjam pada kerabat yang senasib, sepenanggungan, akhinya pria itu memutuskan untuk meminjam uang pada tetangga-tetangganya. Bukan Engkos tak mau bekerja, hanya saja belum ada perusahaan atau pun lowongan pekerjaan yang mau menerimanya.

Menjelang sore, cuaca yang cerah dan pemandangan yang indah menyapa indra penglihatan  milik Engkos. Alam tidak tega melihat Engkos dengan segala problematika hidupnya. Dirinya berbaik hati memberikan suasana yang tenang dan nyaman agar dapat membuat Engkos sedikit bahagia dengan jalan-jalan sore, walau hanya ditemani beberapa ekor ayam.

Baca Juga:  Balada Sosial Zaman Ini

”Santai saja, Kawan, kau pasti bisa. Tenang saja, Kawan, hadapilah semua,” ucap Engkos menyemangati diri.

Dia berjalan dengan santai bersama beberapa ekor ayam di pangkuannya. Lagu dari band Saint Loco—band yang sedang trendi saat itu turut diputar untuk meramaikan suasana. Dengan suara ala kadarnya Engkos ikut bernyanyi dengan pelan, sedikit demi sedikit, ia meresapi lirik demi lirik yang ada dalam lagu tersebut. Itu dapat membuatnya semangat menjalani hidup yang baginya sangat sulit dan pahit.

Engkos berjalan melewati beberapa rumah warga. Terlihat banyak warga yang menyapanya, karena memang dia cukup terkenal di desa itu. Keterkenalan Engkos sebenarnya bukan karena hal positif, tapi karena keprihatinan hidupnya lah yang membuatnya cukup terkenal. Apalagi, jika ditambah dengan kasus utangnya.

Langkahnya tak kunjung berhenti dan bibirnya masih sibuk bernyanyi. Di pertigaan, ia berbelok ke arah kiri, kemudian lanjut berjalan menuju ke satu rumah yang terpisah dari rumah-rumah yang lain.

 “Mak, ayam-ayam ini kayaknya lagi stress, harus diajak jalan-jalan lebih jauh, nih, supaya sehat dan mau makan,” ucap Engkos.

“Astaga Engkos, masa ayam diajak jalan-jalan? Bukannya mereka sudah kamu ajak keliling sore ini?” jawab Mak Edoh dengan bibir monyongnya.

“Tidak apa-apa lah, Mak, biar Engkos ajak keliling lagi. Anggap saja jalan-jalan ini merupakan hiburan untuk si ayam. Kalau ayamnya sehat dan mau makan, cepat gemuk dan beranak pinak, kan kita yang untung,” sahut Engkos.

“ Iya, lah, terserah kau saja, Kos, yang penting ayamnya jangan kau goreng.”

Engkos langsung melanjutkan jalan-jalan sorenya. Masih dengan ayam-ayam yang berlarian, ia kembali menyusuri jalan-jalan desa.

“Wah, wah, Engkos, kemana saja kau? Baru kelihatan batang hidungmu!” seru Budiman—orang lain yang juga Engkos utangi. Budi, akrab pria itu disapa tidak sengaja melihat Engkos sedang jalan-jalan sore.

“Oh, iya, lagi jalan-jalan cari udara segar. Cuacanya cukup cerah, ya, sekarang?” tanya Engkos dengan senyum yang dibuat-buat dan suara sedikit tergagap.

“ Cerah-cerah matamu, Kos! Gimana? Bisa sekarang, kan?”

“Aduh, Bud, kayaknya tidak sekarang. Nanti, deh, aku janji.”

“ Janji dan janji, bosan aku mendengarnya, Kos. Sudah seperti pejabat saja kau kebanyakan janji!”

“Nanti aku bayar, Bud setelah ayam-ayam ini dijual.”

Sama seperti Joni, Budiman  mengangguk-angguk sambil melirik ayam itu, ia berkata lirih, “Boleh juga itu ayam, cukuplah untuk melunasi utang si Engkos.”

Baca Juga:  Nasihat Hardi

“Baiklah, Kos, kalau begitu, kalau ayamnya nanti sudah kau jual, antarkan saja uangnya ke rumahku,” sahut Budiman.

Engkos langsung bergegas meninggalkan Budiman. Sambil berjalan, dirinya bermonolog.

 “Wah, aku sudah keceplosan bilang mau jual ayam ini. Tapi, kalo dipikir-pikir lumayan juga kalau ayam ini laku, uangnya bisa buat lunasi utang ke si Budiman dan si Joni.”

Tanpa berpikir lama, ia berjalan agak cepat, mengubah arah perjalanan untuk menuju ke pasar. Kebetulan, ini hari minggu. Jadi, pasar buka pada sore hari.

“Mau jual berapa, Mas, ayamnya?” tanya tengkulak ayam.

“Dua saja, Pak, kira-kira dua ayam ini dihargai berapa?” tanya Engkos.

“Wah, kalau ayam itu sih saya beraninya cuma seratus ribu, Mas,” jawab tangkulak ayam.

Tanpa proses tawar-menawar, Engkos langsung menjual ayam itu dengan harga seratus ribu rupiah. Entah apa yang ada dipikiran Engkos, dia tidak mempertimbangkan harga yang ditawarkan oleh tengkulak sedikit pun. Bisa saja ia dapat harga lebih tinggi. Mungkin karena itu ayam milik orang lain, jadi ia menjualnya dengan seenak jidat. Uang yang ia dapatkan cukup buat bayar utang kepada Budiman dan sisanya bisa dibawa pulang.

Engkos buru-buru meninggalkan pasar. Dengan sisa ayam satu ditangannya, ia langsung menuju ke rumah Budiman.

“ Bud… Bud…!” teriak Engkos dari luar rumah Budiman.

“ Eh, kau Kos, ada apa?” jawab Budi.

“ Ini aku mau lunasi utang, tidak enak lama-lama nunggak.”

“ Nah, begitu dong, kalau punya utang harus dibayar berapa pun nilainya. Kalau nunggak terus, nanti jadi tambah banyak, kayak utang negara.”

Dalam saku baju Engkos masih ada uang yang tersisa. Ia berniat untuk  melunasi utang kepada Joni dengan uang sisa disakunya itu. Tapi, setelah beberapa saat ia berubah pikiran.

 “Kalau aku gunakan untuk bayar utang ke Joni, pasti tidak akan cukup. Percuma, aku masih punya sisa utang nantinya. Apa lebih baik aku gunakan untuk beli lotre saja, ya? Siapa tahu lagi hoki dan dapat uang banyak?” tanya engkos pada dirinya sendiri.

“Lho, kok udah pulang kamu, Kos?” tanya Mak Edoh.

“Iya, Mak, saya capek jalan-jalan terus,” jawab Engkos.

“Eh, kok ayamnya tinggal satu, Kos, yang lainnya mana?”

“Jadi begini Mak, tadi itu saya lagi asyik jalan-jalan, tiba-tiba ada truk yang oleng dari arah belakang hampir menabrak. Saya dan ayam-ayam pun kaget. Lalu mereka terbang entah ke mana. Setelah ke sana-ke mari mencari ayam yang terbang tadi, saya cuma bisa menangkap satu ayam ini. Sisanya saya tidak tahu, mungkin dimakan harimau jawa.”

Mak Edoh melongo mendengar cerita panjang dari Engkos sekaligus tidak habis pikir bagaimana bisa harimau jawa sampai ke perkampungan seperti ini. Lagipula, bukankah hewan itu sudah punah?

Melihat kondisi Engkos, Mak Edoh tidak bisa berbuat apa-apa. Percaya atau tidak, ia harus bisa merelakan dua ayamnya hilang.

Tak lama dari itu, muncul tangkulak ayam yang tadi membeli ayam-ayam Engkos.

“Mak, ini saya mau menjual ayam dua ekor, tidak mahal-mahal, kok, cuma 150 ribu saja,” kata si tangkulak.

Mak Edoh melihat-lihat ayam tersebut. Ia yakin dengan seyakin-yakinnya, bahwa itu ayam yang Engkos bilang dimakan harimau jawa. Menyadari akan ketahuan bahwa dia telah mengibuli Mak Edoh, Engkos buru-buru lari sambil berteriak, ”Mak, aku utang seratus ribu kepadamu, tadi aku jual ayamnya seratus ribu ke tangkulak itu!”

Penulis : Rizal (Magang)

Editor : Kun Anis

Persma Poros
Menyibak Realita