Cahaya di Lorong Harapan

Loading

Oleh: Hizryansyah (staf litbang poros)

 

Aku ingin  menjadi Rektor . . .                                                                         Tertulis dalam angan hati yang sepi . . . Dengan tinta mimpi yang menjerit dalam batin . . .Tentang segala harapan yang lumrah . . .                                           Tentang sebuah impian yang membara . . .                                                                   Dan, Andai aku menjadi Rektor . . .

 

Hari ini, kembali Angan hampa merasut dan harapan kosong menyelimut dan aku benci, aku benci yang ada pada diri ku.

Entahlah! Yang pasti, Aku cuman seorang anak desa. Anak desa dari keluarga miskin yang tak punya apa-apa untuk diwariskan. Bahkan tak punya biaya untuk sekolah.

Dalam kamar, aku pandangi wajah ku sendiri di depan cermin kecil, yang ku temukan di got pinggir jalan yang berbatu-batuan. Perlahan, ku kembangkan sepotong senyum di bibir ku. Dan tatapan ku berbentur dengan sebuah kalender kampus UGM, yang  ku minta di kakaknya temanku. Dan ku pajang di pojok dinding kamar ku yang begitu kecil sebagai pembangun motivasi ku. Meskipun kadang, itu sebagai bahan hinaan dan cemoohan dari teman-teman sekolah.

Biarlah! Aku harus tetap bermimpi dan berusaha mewujudkannya

Tapi, kadang dalam tatapan cermin aku berkata dalam separuh wajah ku yang terhalang oleh bening-bening yang terurai tak pasti

“Tuhan,,,, salah aku bermimpi dan memelihara sepenggal harapan ini membakar jiwa?!”

Aku lebih tahu siapa diri ku, aku hanyalah seseorang anak desa yang ingin terbang tanpa sayap. Terbang bebas mengikuti irama angin di atas awan. dan menari meski dalam kabut. Dan, Aku ingin! Rasanya aku ingin meludahi bumi di atas awan dan berteriak, hingga bumi merasa terusik

* * *

Sehelai senja berputar menjadi malam. Warna sinaran matahari yang kekuning-kuningan menjelma menjadi hitam, dan  kini hanya meninggalkan setitik-setitik cahaya bintang yang berkelap-kelip yang cahayanya tak menyebar di bumi, awan putih mulai mengabur.

Baca Juga:  Antrean

Entah kemana?!

Birunya langitpun mulai berhamburan dan berpaduan dengan warna malam. Panas yang menggerahkan berubah menjadi kedinginan yang merasut.

Tapi, ketika mata sulit terlelap, dan dinginnya lantai menembus tikar, lagi-lagi di pojok tembok kamar yang kecil dan sempit, terlihaat seperti layar tancap, tentang diri ku yang sedang memakai jas Hitam dengan kemeja putih yang berdasi dasi rapi yang tertancap di leher ku, dan sebuah nama ku yang di tambahkan akhirnya (title) yang  menjadi kebanggaan.

Namun perlahan, semua mulai mengabur, layar tancap yang terang berubah menjadi pojokkan tembok yang di penuhi dengan sarang serangga dan laba-laba, dan mata yang saling berkejaran mencari harapan yang mengabur pelan tapi pasti, dan kabut yang pelan menutup pandangan ku memaksa butir-butir bening mengairi pipi.

Malam semakin larut. Aku terhening dalam cengkaman angin malam. Ku baringkan tubuhku di atas kasur yang sama sekali tak empuk. Aku berpikir, mungkin ayahku adalah seorang direktur kaya yang tidur di atas tumpukan harta yang berlimpah. Andai saja ia bertanggung jawab dan menikahi ibuku, tentunya aku akan mendiami sebuah rumah mewah di kawasan elite.

Tapi…, untuk apa semua itu?! walaupun kemewahan menyelimuti hidupku, tetap saja aku adalah anak desa yang hanya layak di pojokkan dan diludahi

Iya. Anak desa yang di ludahi!

Kadang, ku bayangkan diri ku menjadi rector. Ah! Andai aku menjadi rector. Aku mulai berhayal sambil tersenyum.

Malam pun terus memanggil, hingga akhirnya akupun terbang ke alam mimpi.

* * *

Pagi menyapa. Udara pagi membuat ku damai. Burung-burung mungil berkicaun, daun-daun menari bebas mengikuti irama angin. Bunga-bunga pancarkan keharuman. Kupu-kupu berterbangan dan sesekali menghinggapi kuncup bunga.

Baca Juga:  Bukan Aku

Damai itu memeluk erat

Langkah kaki yang semakin ringan menuju sekolah kecil ku

“Eh, Lihat! ada anak Desa!”

“Iya,,, Iya ,,,”

“Nisa anak Desa yang mimpinya selangit. Huuuuuuuuuuuuuuuu!”

Lontaran kata! Ya, ejekan dan cemoohan itu membuat kuping ku memerah. Ah! Entah, semua seakan ingin membuatku meludahi kehidupan ini. Sungguh! Aku ingin meludahinya.

Aku marah!

Aku Benci!

Aku benci segala yang ada pada diri ku, ketika sang jemari jari melontarkan kertas bekas dan celoteh mulut yang menghujat ku dengan kata-kata anak desa, yang seakan-akan tak pantas untuk bermimpi dan bercita-cita. Sekolah ini seakan berubah menjadi neraka, neraka yang selalu siap melahap daging-daging manusia yang laknat dan tak ada habis-habisnya.

Tapi benar! Ya, benar apa yang mereka katakan. Mereka tak salah. Aku adalah anak desa.

Iya! Anak Desa

Anak Desa yang tak pantas untuk bermimpi, yang tak pantas untuk bercita-cita. Dunia ku adalah mimpi

Tapi! Sudahlah. Yang terpenting AKU HARUS MENJADI REKTOR. Ya, aku harus mewujudkannya. Aku akan menepis semua cemoohan dan menjadikan motivasi ku hingga aku tetap tersenyum dan selalu berusaha untuk meraih cita-cita ku. Dan aku harus bisa menjadi seorang Nisa yang tangguh seperti bintang Sirius yang cahayanya tetap memancar meski gelap dan cuaca buruk melanda

Andai saja,,,,, Iya! Andai saja ada sebuah lorong harapan di depan ku. Tempat cahaya-cahaya berpendar. Aku akan memasukinya hingga aku sampai pada kursi rector. Aku harus berusaha. Ya! Aku harus berusaha sekuat tenaga memasuki lorong itu.

 

Andai aku menjadi rector

Aku ingin menciptakan tawa

Bagi semua

Yang mencari setitik lorong harapan untuk masa depannya 

Andai aku menjadi rector

Ku ingin teduhi bumi

Dengan tawa dan kebahagiaan

Do’akan aku

Agar aku menjadi Rektor .

Persma Poros
Menyibak Realita