Catahu LBH: Pertalian Proyek di DIY dan Jawa Tengah Bagian Selatan

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta meluncurkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2019 dengan tema “Investasi Subur, Rakyat Digusur” di Kantor LBH Yogyakarta Jl. Benowo, Prenggan, Kecamatan Kotagede, Kamis (26/12/2019).

Dalam peluncuran tersebut, Direktur LBH Yogyakarta Yogi Zul Fadhli menjelaskan serta membuka ruang diskusi tentang pertalian proyek pembangunan di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah Bagian Selatan. Proyek tersebut berdampak pada ruang hidup warga yang buta hukum.

Peluncuran Catahu mengundang penanggap Eko Prasetyo dari Social Movement Institute dan Eko Teguh Paripurno dari Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta. Menghadirkan warga korban pelanggaran HAM, acara ini merupakan bentuk laporan pertanggungjawaban LBH kepada publik dengan tujuan mengingatkan semua pihak baik dari mahasiswa, masyarakat terdampak, atau pun kampus bahwa upaya pemenuhan HAM di Indonesia masih belum tuntas dan menjadi pekerjaan rumah bersama.

Pariwisata menjadi sektor unggulan prioritas (leading sector) yang terdapat dalam dokumen Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPNJM) 2015-2019. RPNJM ini kemudian berjalan di Provinsi D.I Yogyakarta dan Jawa Tengah yang membuka proyek pariwisata dengan pembangunan infrastruktur penunjangnya.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 56 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional mencanangkan program 10 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), salah satunya Candi Borobudur. “Dari regulasi-regulasi yang kemudian tadi coba saya paparkan maka dalam perspektif kami LBH Yogyakarta melihat sebenarnya ada pertalian antar proyek-proyek infrastruktur di Yogyakarta dan Jawa Tengah Bagian Selatan,” jelas Yogi.

Peraturan Presiden Nomor 56 tahun 2018 mengenai KSPN menjadi acuan percepatan infrastruktur transportasi, listrik, dan air bersih untuk 10 KSPN prioritas, termasuk Candi Borobudur. Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian Selatan mendirikan sejumlah infrastruktur yang saat dianalisis terdapat keterkaitan antara proyek satu dengan yang lain. Yogyakarta International Airport  (YIA) Kulonprogo merupakan proyek pertama dan menjadi infrastruktur transportasi bagi wisatawan yang akan berkunjung ke Candi Borubudur dan/atau tempat lainnya di Yogyakarta.

Ia menambahkan, YIA Kulonprogo juga akan menjadi kawasan pembuka bisnis-bisnis baru. Namun, yang menjadi persoalan adalah kawasan tersebut rawan bencana dan dalam pembangunannya menggusur lahan pertanian subur serta terdapat penyelewenangan hukum lingkungan.

Proyek kedua, pembangunan Bendungan Bener yang menjadi infrastruktur air. Bendungan yang melewati dua kabupaten, Wonosobo dan Purworejo dibangun di kawasan rawan bencana, kawasan serapan air tanah serta di satu kawasan yang subur ini salah satunya untuk memenuhi kebutuhan air YIA Kulonprogo.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di Kabupaten Cilacap menjadi infrastruktur listrik, proyek ketiga ini juga berkaitan dengan YIA Kulonprogo dan Bendungan Bener. Di Jawa Tengah terdapat tiga sistem listrik. Dua di antaranya adalah Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) Pedan dan GITET Kesugihan yang memasok listrik di Kabupaten Magelang, kawasan yang terdapat Candi Borubur. Adapun Provinsi D.I. Yogyakarta merupakan daerah YIA Kulonprogo akan dioperasikan. Jalur jaringan dua sistem ini sama, yaitu PLTU Cilacap yang berada di Kecamatan Kesugihan dan Kecamatan Adipala. “Bisa jadi, dibangunnya PLTU baru di Cilacap berada dalam lintasan percepatan infrastruktur listrik untuk menyokong KSPN prioritas, Candi Borubudur, yang kelak juga menciprat ke Provinsi D.I. Yogyakarta,” tutur Yogi.

Selain kebijakan infrastruktur, Direktur LBH Yogyakarta itu juga menerangkan kebijakan lain yang masih berkaitan dengan pariwisata, yaitu penerbitan Peraturan Walikota (Perwal) Nomor 51 tahun 2017. Perwal tersebut menghapus keberadaan Pasar Kembang sebagai pasar tradisional kelas IV dan mengakibatkan sekitar 25 pedagang Pasar Kembang diusir paksa oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan alasan untuk kawasan pedestrian. “Yang terakhir Sultan Ground, saya agak lupa koran KR yang kapan, Sultan kemudian mengatakan, Sultan Ground bisa digunakan sebagai investasi, jadi dia mengatakan bahwa yang berinvestasi akan dipemudah enggak akan bertele-tele prosesnya,” terangnya.

Baca Juga:  Memorabilia Wartawan Udin untuk Hari Kebebasan Pers Internasional

Menurut Yogi, hal tersebut menguatkan rezim keistimewaan yang dilindungi Undang-Undang Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan. Penguatan itu terjadi di beberapa putusan, di antaranya warga Pantai Watu Kodok dan pedagang kaki lima di kawasan Kecamatan Gondomanan yang merasa terusir karena ada investor yang memiliki surat kekancingan dari keraton.

Direktur LBH itu lebih lanjut menjelaskan RPNJM 2020-2024 yang akan mencanangkan tujuh agenda pembangunan. Satu di antaranya adalah memperkuat ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas. Ia juga menerangkan, menurut pemerintah peningkatan inovasi dan investasi merupakan modal utama. Selain itu, pertumbuhan ekonomi akan terus dipacu lebih tinggi, inklusif, dan berdaya saing, salah satunya melalui peningkatan nilai tambah di sektor pariwisata. “Dari agenda itu dapat ditengok, pemerintah masih meletakkan investasi pariwisata sebagai prioritas utama, tentu pariwisata yang predatoris, pariwisata yang bersifat merusak,” paparnya.

Arah kebijakan strateginya adalah dengan memberikan aksesibilitas, atraksi, dan amenitas di full destinasi pariwisata, Candi Borobudur salah satunya.

Catatan Kritis

            Di akhir penjelasan, Yogi memaparkan beberapa catatan yang dirangkum menjadi empat catatan kritis. Catatan kritis satu, LBH Yogyakarta menengarai bahwa pemerintah pusat maupun pemerintah daerah telah menggunakan preferensi pasar yang kapitalistik dengan sangat radikal.

Catatan kritis dua, dilihat dari banyak kasus yang muncul, LBH menilai kebijakan ekonomi dalam bentuk pariwisata serta pembangunan infrastruktur penunjang menjadi sangat destruktif dan diikuti hukum yang represif. Pihaknya juga melihat kebijakan ekonomi yang destruktif setidaknya mempunyai tiga ciri yaitu, kebijakan yang tidak memedulikan keberlanjutan lingkungan hidup, minus partisipasi, dan memberangus HAM.

“Kasus-kasus yang bermunculan, bagaimana kemudian kebijakan ekonomi yang destruktif itu tercermin dalam kebijakan PLTU Cilacap. Warga  di sana itu tiap hari terpapar dengan debu-debu, jumlah penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut- red) ribuan per tahun, belum lama ini PLTU yang baru bikin semacam uji coba, dan itu memunculkan banyak debu dan asap. Lantai-lantai warga jadi hitam dan itu buruk bagi kesehatan,” terang Yogi.

Catatan kritis tiga, hukum dikuasai oleh pemegang kekuasaan dan negara yang lebih berpihak pada mereka yang memiliki kekayaan serta menjamin juga melindungi kepentingan politik dan ekonomi para elit. Pada saat yang sama negara menindas kepentingan masyarakat kecil dan lemah.

Catatan kritis empat, warga miskin selalu menjadi korban. “Miskin di sini bukan hanya dari segi ekonomi, namun secara sosial, politik, dan budaya,” kata Yogi.

LBH membaca di masa mendatang negara akan semakin zalim dan situasi akan semakin pelik. Dalih pembangunan untuk kepentingan umum, kesejahteraan, dan pemerataan, namun pengusiran secara paksa warga dari tanahnya menjadi suatu yang lumrah, menembak mati saat ada unjuk rasa akan menjadi wajar, ruang publik yang menjadi tempat memberikan kritik aksesnya dibatasi.

Warga yang Terkena Dampak

Sadinem, warga korban pelanggaran HAM yang berasal dari Dusun Winong, Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap ini berjuang untuk melawan pembangunan PLTU. Menurutnya dan Forum Masyarakat Winong Peduli Lingkungan (FMWPL), hal yang disampaikan Direktur LBH Yogyakarta benar adanya. “Semua itu sangat merugikan dan membuat penderitaan bagi rakyat kecil seperti saya dan juga teman-teman yang tinggal sangat dekat dengan PLTU dan hanya berjarak beberapa meter,” katanya.

Baca Juga:  Kajian dan Pernyataan Sikap BAKAD UAD terkait TWK dan Penonaktifan 75 Pegawai KPK.

Permasalahan yang sekarang sedang dihadapi adalah masalah kesehatan yang ditimbulkan karena adanya PLTU, yaitu Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), fly ash (limbah batubara-red) dan bottom ash (abu dasar-red) yang pembuangannya disimpan sangat dekat degan lingkungan warga. “Padahal menurut kesehatan katanya itu abu limbah B3 sangat berbahaya dan bisa menimbulkan penyakit paru-paru yang mematikan. Menurut saya pemerintah sama sekali tidak memikirkan warga kecil,” tuturnya.

Selain dampak kesehatan, dampak sosial juga mulai Sadinem rasakan. Menurutnya, saat dia berusaha untuk berjuang menegakkan keadilan untuk warga, justru timbul prasangka saling  curiga satu sama lain, curiga pada teman-teman yang sedang berjuang.

Warga korban pelanggaran HAM lain adalah Suryadi yang berasal dari Pantai Watu Kodok, Gunung Kidul. Ia menyampaikan, tujuan warga hanya menginginkan agar pantai dapat digunakan untuk mengurangi pengangguran, terutama buruh. Dengan harapan warga bisa memanfaatkan pantai dan tidak digusur oleh investor.

Persoalan lain datang dari Desa Wadas. Mukhti, salah seorang korban pelanggaran HAM menyampaikan, di desanya terdapat proyek Bendungan Bener yang diwacanakan menjadi bendungan tertinggi se-Indonesia bahkan se-Asia Tenggara. Proyek itu menghabiskan kurang lebih 456 hektar lahan. Dalam proses pembangunannya, beberapa desa ikut terdampak, salah satunya Desa Wadas karena terancam pengerukan batu andesit yang ada di desa tersebut. “Proses penerbitan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat melalui BBWSO (Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak- red) tentang penyusunan Amdal (analisis dampak lingkungan- red) yang tidak melibatkan masyarakat sekitar, masyarakat yang terdampak atau yang menjadi lokasinya itu tidak tahu-menahu tiba-tiba kok keluar izinnya,” terangnya.

Tanggapan dari Penanggap

Eko Teguh Paripurno dari Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta menyampaikann tanggapannya. Menurutnya, yang menjadi masalah adalah kasus Cilacap, kasus bendungan, atau di Kota Pagar Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas (PLTP) Bumi. Eko menyampaikan, panas bumi tidak buruk, tetapi ketika barang baik dikelola buruk maka akan menjadi buruk. “Nah, kita yang menggunakan listrik, kita yang menggunakan air itu sering merasa itu bukan urusan kita, itu urusannya Cilacap, itu kan urusannya Wadas, jadi gerakan ini (pengurangan risiko- red) tidak menjadi masif,” katanya.

Ia juga menambahkan, pembangunan dengan melakukan kegiatan upaya pengurangan risiko di satu tempat, namun menambah risiko di tempat lain tidak boleh dilakukan. “Di kasus pabrik, di kasus bendung saya curiga bahwa ketika saringan itu tidak dibuat ketika pengolahan limbah tidak dibuat urusannya hanya korupsi, yang angkanya bisa dibuat, bisa dihitung,” tambahnya.

Dosen UPN Veteran itu juga memberikan upaya yang dapat dilakukan oleh perguruan tinggi, yaitu dengan mencoba untuk tidak korupsi dan tidak terlalu berpihak pada korporasi, tetapi mencoba berpihak pada konteks subyek.

Penanggap kedua, Eko Prasetyo dari Social Movement Institute dalam tanggapannya  menyampaikan pentingnya mengajak berbagai kalangan untuk terlibat, karena jumlah aktivis di LBH terlalu kecil untuk menangani kasus yang besar. “LBH bukan hanya menangani kasus, tetapi butuh memperbanyak orang dari berbagai lini karena kita butuh orang-orang yang bekerja, LBH harus terampil, ia butuh humas yang bisa mengajak semua orang terlibat,” jelas Eko Prasetyo.

Dikutip dari laman lbhyogyakarta.org, sepanjang tahun 2019, LBH Yogyakarta melakukan advokasi di berbagai bidang isu dan membaginya menjadi tujuh kategori. Pertama adalah isu tanah dan lingkungan. Kedua, kategori kelompok isu unfairtrial. Ketiga, kategori kelompok isu kelompok minoritas agama dan kepercayaan. Keempat, kelompok isu rentan, perempuan, dan anak dalam beberapa kasus pelecehan seksual. Kelima, kategori kelompok isu masyarakat urban. Keenam, kategori kelompok isu kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat. Terakhir, kategori isu pembaharuan hukum.

Di akhir, Eko mengajak para peserta yang hadir untuk membiasakan ‘perlawanan’. “Mari kita membuat melawan menjadi kebiasaan,” pungkasnya.

Penulis: Santi

Penyunting: Yosi

Persma Poros
Menyibak Realita