Dara dalam Ikatan

Loading

Angin yang berembus mengibarkan jilbab hitam yang digunakan Aminah. Wanita paruh baya dengan keriput yang terukir di wajahnya itu sedang duduk di samping gundukan tanah merah yang menjadi tempat suaminya rebah. Tidak ada air mata yang menetes dari netra sewarna jelaga. Pandangannya kosong, hatinya gundah. Kematian ini, akankah menjadi sebuah perpisahan yang menyesakkan atau malah menjadi sebuah pembebasan?

Langit secepat kilat mengelabu, awan hitam tak kuat berlama-lama menampung beban air yang terkandung. Tetesan air pertama menyadarkan Aminah dari lamunannya. Sebelum hujan mengguyur, dia dengan segala kegelisahan segera beranjak pulang.

***

“Sakit, Yah,” teriak Aminah dengan suara yang kian serak. Pergelangan tangannya terasa kebas karena ditarik paksa oleh sang ayah.

“Diam di sini! berani keluar, kau tak akan aku anggap anak lagi!” seru ayahnya menggertak sembari mengunci Aminah di kamar.

Aminah yang saat itu masih berusia 14 tahun hanya bisa menangis sesenggukan. Upayanya untuk kabur gagal total. Apa daya, semua orang tahu, Aminah sang anak kepala desa akan segera dinikahkan dengan saudagar kaya dari kota, tak ada tempat pelarian. Di desanya, pernikahan tak mengenal usia. Si belia tak bisa leluasa mengenal dunia dan si tua yang kaya dapat dengan leluasa menikmati nafsu pribadinya.

“Sudah lah, Nduk, perempuan itu, mau sekolah setinggi apapun nanti hanya tetap bekerja di dapur,” ujar ibu Aminah yang baru saja masuk untuk menenangkan anak semata wayangnya.

Aminah yang mendengarnya hanya manggut-manggut. Enggan mengiyakan, enggan pula berdebat. Hidup Aminah seketika telah tamat.

Kini, tibalah hari di mana pernikahan Aminah berlangsung. Gadis yang menggunakan kebaya putih itu bersanding dengan lelaki yang usianya telah masuk kepala empat. Senyuman terukir di wajah mempelai lelaki, keluarga, serta seluruh tamu undangan, kecuali Aminah. Ah, dunia begitu jahat kepadanya. Aminah masih bertanya-tanya, siapa lelaki yang kini telah menjadi suaminya? Bagimana dia bisa mengikat janji setia dan bersanding selama-lamanya jika ia tak sedikit pun mengenal lelaki ini?

Baca Juga:  Menciptakan Keberanian di Depan Umum

Waktu terus bergulir seiring hari yang kian berganti. Aminah menjalani masa penjaranya dengan tabah. Cahyono, lelaki yang waktu itu melakukan ijab kabul dengan sang ayah memang tak pernah sekali pun menyakiti dirinya, tapi bagaimana lagi, menjalani hidup yang tak pernah ia minati menjadikan pernikahan ini sebagai penjara bagi Aminah.

Di awal pernikahan, Cahyono sesekali pergi ke luar kota untuk mengurus usaha. Aminah tak tinggal diam, dia memulai usaha kecil-kecilan di rumah, berjualan sembako menjadikan penjaranya sedikit tidak membosankan. Beruntung sang suami tak pernah melarang.

 “Aminah, suamimu pergi lagi?” tanya Warti, tetangga sekaligus teman Aminah sewaktu kecil. Tatapan Warti mengiringi kepergian mobil Cahyono yang baru berangkat menuju kota. Aminah hanya tersenyum, tak ada minat untuk menjawab. “Hati-hati, nanti kalau tak dijaga, suamimu bisa dapat perempuan lagi di kota,” lanjutnya.

Perkataan Warti sempat menyelinap ke dalam pemikiran Aminah, tetapi kemudian ia enyahkan. Toh, sedari awal Aminah tak berniat memiliki Cahyono. “Sudahlah, dia di kota hanya bekerja,” jawab Aminah. “Jadi, kamu mau beli apa?” tanya Aminah kemudian guna menghentikan ocehan temannya tersebut.

Pernikahan Aminah sudah menginjak tahun ke-10, Cahyono semakin sering pergi ke kota dan meninggalkan Aminah. Sering wanita yang telah menginjak usia 24 tahun itu dengar bahwa suaminya sedang bermain dengan wanita lain. Rumah kecil itu kian sepi dihuni Aminah seorang diri. Tepat ketika wanita itu jenuh dengan penjaranya, Tuhan seakan menambah beban Aminah untuk semakin terikat dengan si lelaki. Wanita itu mengandung.

“Bagaimana keadaan anak kita?” tanya Cahyono suatu pagi.

“Baik-baik saja,” jawab Aminah singkat.

“Aku ada urusan di kota, kalau ada apa-apa telpon saja,” ujar Cahyono kemudian.

Baca Juga:  HIRUK-PIKUK AKREDITASI

Setelah perbincangan singkat itu, Cahyono tak pernah lagi tampak. Aminah terlanjur mandiri mengurus segala keperluannya sampai melahirkan. Setelah itu pun, dia membesarkan anak perempuannya sendiri, menyekolahkannya dengan harapan agar putrinya tak menjadi salinan Aminah yang harus hidup terpenjara janji suci pernikahan.

Langit kian mengelabu, memang November menjadi candu bagi hujan untuk turun. Aminah sedang memasak di dapur, mempersiapkan makan siang untuk sang anak yang telah bersekolah di tingkat SMA. Tetiba pintu diketuk pelan.

“Assalamu’alaikum,” ujar seorang wanita dari luar.

Aminah segera membuka pintu, dengan raut wajah heran Aminah bertanya, “Maaf, siapa ya?”

Setelah memperkenalkan diri, Aminah memperkenankan wanita itu masuk. Dia—wanita itu adalah istri pertama dari Cahyono. Dengan mata sembab, wanita itu bercerita bahwa dirinya tidak tahu Cahyono telah menikahi seorang gadis desa dan memiliki seorang anak sampai dia mendengar pesan terakhir Cahyono.

***

 Sepulang dari pemakaman di kota, Aminah terduduk di sudut ranjangnya. Sepatutnya ia bersedih, tetapi bertahun-tahun hidup tanpa suami yang dari awal tak pernah ia cintai membuatnya bertanya-tanya, perasaan apa yang seharusnya ia rasakan saat ini? Ah sudahlah, ia hanya akan mendoakan yang terbaik bagi almarhum ayah dari anaknya. Setidaknya, sekarang ia tahu jawaban dari pertanyaan yang sering dilontarkan sang anak.

“Bu, Ayah di mana?”

“Di kuburan.”

Penulis : Kun

Editor : Royyan

Persma Poros
Menyibak Realita