Demokrasi Itu Omong kosong Saja

Loading

Kian hari memang makin sinting saja pola kehidupan yang dirasakan di Indonesia dewasa ini. Manusia-manusia yang asyik berbicara atau bersabda di dalam media itu, baik yang diucapkan oleh politisi, tuan kuasa, maupun anjing-anjing kelaparan itu membuat saya semakin muak dan mengutuk omong kosong tersebut! Banyak yang berbicara mengenai demokrasi ngalor-ngidul, namun poin ataupun nilai yang dibicarakan tak ada sedikit pun tersentuh dalam praktik keseharian. Nihil. Omong kosong saja.

Kalau kita perhatikan secara cermat terkait demokrasi yang sering diucapkan di dalam media itu, terlihat manis racikan bicaranya, indah katanya, empuk gestur komunikasinya, tajam pikirannya, lembut hatinya, persuasif komunikasinya, dan indah sekali memang saat mereka berbicara. Siapa saja akan terngiang-ngiang saban malam dengan janji-janji manisnya itu. Seperti janji-janji manis mantan huhuh. “Ini semua demi rakyat,” demikianlah sabda para tuan kuasa saat berlagak seperti pahlawan, padahal…

Fenomena seperti di atas , tidaklah menjadi persoalan yang mengherankan lagi. Sebab, berbicara mengenai seni berbicara yang persuasif serta menggugah hati rakyat cilik itu jauh-jauh hari pada masa Socrates sudah ada. Pada masa Socrates ada yang dinamakan kaum sofis, mereka terkenal akan kecakapan berbicara, pandai memikat hati masyarakat, dan pandai berdebat. Namun, hal itu tidaklah bisa dikatakan bahwa kaum sofis itu eudaimonia (jiwa yang baik). Mereka hanya pandai bicara saja, selebihnya bertuhan pada uang dan kekuasaan.

Berbicara mengenai kaum sofis kuranglah lengkap kalau tidak membenturkan kondisi politik indonesia saat ini. Demikian pula kuranglah lengkap kalau tidak berbicara penindasan-penindasan tuan kuasa ini. Dilansir dari laman daring Okenews.com, Koalisi Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia menyebutkan masih marak terjadi pelanggaran HAM. Sepanjang 2019 paling sedikit 51 kasus yang belum dituntaskan pemerintah.

“Seperti penggusuran paksa, perampasan lahan, pelanggaran hak-hak buruh, kegagalan pemerintah mengelola jaminan sosial yang dibebankan pada rakyat melalui peningkatan iuran BPJS, salah tangkap dalam aksi memprotes hasil Pilpres 2019 di depan gedung Bawaslu RI, Jakarta pusat, 21-22 Mei, Tindakan kekerasan aparat di Papua, pembiaran kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera, penyerangan terhadap wartawan, penyerangan terhadap pembela HAM, tindakan represif aparat kepolisian dalam aksi #ReformasiDikorupsi, pelanggaran hak kelompok disabilitas dan kelompok minoritas gender, tidak diselesaikan pelanggaran HAM masa lalu dan disahkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang berpotensi melanggar kemanusiaan,” tulis di media tersebut.

Baca Juga:  Jam Malam

Anehnya lagi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengklaim bahwa era Jokowi tak ada pelanggaran HAM dengan dalih merujuk definisi HAM menurut hukumnya itu. Artinya apa? Mahfud Md ini melihat hanya dari kaca mata hukum saja, tidak melihat dari sisi-sisi ilmu yang lainnya. Sehingga, bisa saya katakan macet cara berpikirnya itu.

Peristiwa ini seperti yang ditulis Emma Goldman seorang anarko-komunis yang sekaligus merupakan seorang feminis anarkis kelahiran Lithuania menuliskan di bukunya “Tinggi di atas takhta dengan semua kemegahan dan kemewahannya untuk dapat memerintah, manusia tetaplah miskin dan terpencil, kecuali jika cinta melewatinya.”

Sistem demokrasi dewasa ini bisa saya katakan hanya akal-akalan saja serta kehilangan hakikat cinta pada rakyat. Hal demikian dapat kita lihat, mereka  yang duduk di kursi pemerintah saat ini yang hanya penuh akan orang-orang yang bernafsu binatang. Mereka terus membual tentang kemanusiaan, keadilan, kejujuran dan ketuhanan. Padahal, mereka benar-benar kehilangan kewarasan dalam menjalankan kehidupan. Hingga menganggap Tuhan itu sudah Mati!

Kasus suap yang menjerat Komisioner Komisi Pemilihan Umum atau KPU Wahyu Setiawan, Eks anggota Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, dan Saeful Bahri pihak swasta ataupun kasus Jiwasraya yang beberapa pekan kemarin ramai dibicarakan membuktikan bobroknya sistem demokrasi dan mengkhianati hati rakyat. Gilanya lagi, mereka yang mengkhianati hati rakyat itu masih bisa tersenyum saat diliput media. Benar-benar tidak waras mereka.

Selain itu, kewarasan ini perlu dipertanyakan pula pada ruang-ruang akademis saat ini yang kian hari semakin surut pergerakan dan nuansa akademisnya. Padahal kalau kita berkaca pada adanya akademis itu untuk merawat akal sehat. Artinya, harus ada upaya menciptakan ruang-ruang akademis yang bermutu, melahirkan pikiran kritis, menolak adanya kezaliman tuan kuasa, sehingga lahirnya tatanan pemerintah lebih baik.

Baca Juga:  Selamat Datang Mahasiswa Baru

Indonesia saat ini dalam keadaan darurat moral, akal sehat, kehilangan nilai budi pekerti ini yang semua itu dilakukan oligarki dan tengkulak. Hal ini membuktikan Indonesia sedang dilanda kekacauan yang amat serius. Sehingga, mahasiswa harus tanggap dengan persoalan ini dan segera mengupayakan restorasi: membuat lingkaran diskusi, aktifkan akal sehat, turun ke jalan. Demikian pula kepada dosen yang sekira masih waras, untuk menghidupkan nuansa akademis yang bermutu, menciptakan ketajaman berpikir mahasiswa, berorientasi kepada kemanusiaan, memperhatikan keadaan Indonesia, jika perlu ikut nimbrung diskusi mahasiswa sekaligus ikut di dalam aksi mahasiswa di jalan.

Parahnya Demokrasi di Indonesia

Banyaknya ketimpangan yang terjadi di era Jokowi ini merupakan bentuk pemerintah  yang fasis sehingga melahirkan negara buruk dan otoriter. Sebagaimana jauh-jauh sebelumnya di Yunani, Aristoteles telah menyinggung terkait kehidupan bernegara. Baik atau tidaknya negara, menurut Aristoteles bahwa negara menjadi baik bila diarahkan pada kepentingan umum, dan sebaliknya negara menjadi buruk bila hanya diarahkan pada kepentingan si penguasa.

Hal demikian telah kita saksikan, sebagaimana dewasa ini, orientasi pemerintah dalam membangun bangsa Indonesia hanya untuk kepentingan korporat. Melahirkan utang-utang segunung, aset negara terjual atau privatisasi, rakyat digusur, rakyat dibunuh, intimidasi  aparat kepada rakyat kian marak,  banyaknya uang rakyat dimaling oleh pejabat, hingga rakyat tak tahu mengadu kepada siapa lagi terkait kegaduhan yang terjadi saat ini. Bukti adanya hal demikian dapat kita lihat film dokumenter watchdoc yang berjudul Sexy Killers, Asimetris, The Bajau, dan film-film lain.  

Namun tidak hanya itu, buruknya sistem demokrasi bersarang pula pada ruang-ruang akademis. Dikutip dari cnnindonesia.com, terkait aksi #Revolusidikorupsi pada September 2019 lalu, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir meminta para rektor memberitahu mahasiswa agar tak kembali turun ke jalan melakukan demonstrasi. Jika mahasiswa tetap ikut demonstrasi, Nasir akan memberi sanksi kepada rektor. Selain itu, Nasir juga mengecam tindakan dosen yang mengizinkan mahasiswa ikut demonstrasi.

Tak jauh berbeda dengan watak tirani di atas, dari laman Tirto. Id, empat mahasiswa Universitas Khairun (Unkhair) Ternate dikeluarkan alias drop out secara sepihak oleh birokrat Unkhair Ternate. Alasannya, mereka terlibat dalam aksi Front Rakyat Indonesia West Papua (FR-WP) di depan kampus Muhammadiyah Maluku Utara pada 2 Desember 2019. 

Melihat segala persoalan semacam ini artinya apa? Demokrasi itu omong kosong saja!

 Penulis : M Febi Anggara                                                                        

Penyunting : Adil

Persma Poros
Menyibak Realita