Dewan Pers : Tak Ada Kegiatan Pers Mahasiswa yang Mengancam Kampus

Banner solidarita dari PPMI DK Makassar untuk kriminalisasi terhadap Persma | Doc. Istimewa

Loading

Persmaporos.com – Dilansir dari media online persma.org, saat ini telah ada beberapa kasus pembungkaman yang dialami pers mahasiswa. Pimpinan kampus berusaha meredam gerakan pers mahasiswa melalui berbagai upaya agar tak getol menyuarakan kebenaran yang dikemas dalam produk jurnalistik. Upaya tersebut antara lain, tindakan intimidasi, pelecehan, diskriminasi, pelarangan pemutaran film, diskusi tematik serta pembredelan media.

Diantaranya adalah pembredelan terhadap majalah “Salatiga Kota Merah” Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Semarang, pelarangan diskusi mengenai Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di LPM Gema Keadilan Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, pembekuan terhadap Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPKM) Media Unram dan pelarangan pemutaran Film Senyap di LPM Natas Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta.

Yosep Stanley Adi Prasetyo, anggota Dewan Pers periode 2013-2016 dalam wawancara yang dilansir dari persma.org,  mengatakan pimpinan kampus dan fakultas di beberapa perguruan tinggi akhir-akhir ini menganggap pers mahasiswa sebagai musuh. Ia menilai hal ini dikarenakan pimpinan kampus tidak mengetahui sejarah pers mahasiswa dan perannya dalam menumbuhkan intelektualitas mahasiswa. “Pers mahasiswa sebetulnya punya sejarah panjang yang penting dalam menumbuhkan demokrasi di negeri ini,” ungkapnya.

Stanley yang juga salah satu pelopor berdirinya Aliansi Jurnalisme Independen (AJI) menambahkan bahwa pers mahasiswa idealnya bisa berperan sebagai alat bagi mahasiswa untuk berlatih menuangkan pikiran. Selain itu, dapat menjadi alat komunikasi antar civitas akademika. Seperti mengembangkan pendapat mengenai kampus, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, menghormati keberagaman, menyampaikan kritik dan koreksi, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Terkait keberadaan pers mahasiswa yang dianggap dapat merusak citra kampus, Stanley menyatakan tak ada kegiatan pers mahasiswa yang sesungguhnya mengancam nama baik universitas. “Yang ada, umumnya pimpinan kampus lebih khawatir kepada penguasa. Mereka khawatir bahwa suara mahasiswa akan membuat kampus yang mereka (pihak kampus-red) pimpin dinilai tak loyal pada pemerintah,” ungkapnya.

Baca Juga:  Perlunya Peningkatan Sarana dan Prasarana

Ia menambahkan, pembungkaman tersebut merupakan bukti bahwa otoriterianisme masih berlaku di perguruan tinggi. “Perlu dipahami, para pimpinan kampus sekarang ini dulunya hidup di zaman Orde Baru yang represif dan penuh ketakutan. Kadang tak sadar bahwa situasi sekarang dan tuntutan zaman sudah berubah,” kata Stanley.

Untuk mengatasi hal tersebut, ia menyarankan pihak pers mahasiswa membuat kontrak dengan pimpinan kampus. “Bila pimpinan kampus mencederai kebebasan pers mahasiswa, maka anggota pers mahasiswa bisa mengadukannya ke Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang bisa membawa ini ke Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ristek,” ujarnya.

Ketika jalan tersebut buntu, menurut Stanley pers mahasiswa bisa mencoba melaporkannya ke polisi dan diadukan ke Dewan Pers. Ia menambahkan terlepas dari pertanyaan apakah pers mahasiswa itu pers profesional, atau pers sebagaimana yang dimaksud dalam UU Pers. “Barangkali kita perlu menguji keberadaan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers,” tuturnya. [Nurul]

Persma Poros
Menyibak Realita