Dinda: Satu-satunya Pilihan Kita Adalah Melawan!

Loading

persmaporos.com-Rangkaian kedua dari agenda memperingati hari HAM, Aliansi Masyarakat Peduli HAM (AMPUH) mengadakan diskusi bertajuk “Investasi, Negara, dan Pelanggaran HAM” di sekretariat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) cabang Yogyakarta.

Abe Widayanta salah satu pemantik itu menyampaikan ada empat garda investasi, yakni pertambangan, perkebunan, pariwisata, dan revolusi 4.0.

Di Yogyakarta, dosen Universitas Gajah Mada (UGM) itu menyampaikan bahwa sepuluh tahun terakhir  marak pembangunan hotel, penginapan, dan lain sebagainya. Menurutnya, hal itu merupakan salah satu bentuk investasi lewat pariwisata.

Pada bidang investasi revolusi 4.0, ia mencontohkan perampasan HAM melalui kasus ketika seseorang mengirim tulisan pada suatu website dan dibayar dengan seenaknya dengan waktu yang kadang tak menentu. “Sampai keringat kering, bayarannya belum ada juga,” ujarnya.

Dosen di Fakultas Filsafat dan Ilmu Politik itu juga menyampaikan bahwa investasi saat ini memberikan insentif yang terbalik. “Menguntungkan korporasi, tetapi menyengsarakan rakyat.”

Pemantik diskusi kedua, Nandra, memaparkan lebih lanjut mengenai hubungan bencana dan pembangunan. Menurutnya, pembangunan adalah sesuatu yang mengubah kondisi alamiah sesuai keinginan. Hal tersebut yang kemudian mengakibatkan bencana bisa terjadi akibat pembangunan yang dikerjakan tidak sesuai ketentuan.

Anggota Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) Universitas Pembangunan Negeri (UPN) itu juga menyampaikan,  apapun bentuknya, mulai dari permasalahan politik, sosial, ekonomi, maupun ekologi, “Korbannya tetap saja masyarakat,” ujarnya.

Meski begitu, Nandra mengakui bahwa pembangunan memiliki sisi positifnya juga jika tidak beresiko dan berkelanjutan sesuai ketentuan. Hanya saja, ia menilai pembangunan yang dilakukan kebanyakan hanya memperburuk kerentanan pada masyarakat.

Dinda Khairunnisa selaku pemantik ketiga dalam diskusi yang berlangsung sekitar tiga jam itu menambahkan tentang kaitan pembangunan dengan perempuan. Ia membuka, perempuan sejak awal sudah erat kaitannya dengan alam. Perwakilan dari Solidaritas Perempuan Kinasih itu mencontohkan siklus menstruasi perempuan yang akhirnya membutuhkan air untuk membersihkannya.

Baca Juga:  Pimpinan Sidang Hilang, Kongres KBM UAD Molor

Lebih lanjut, perempuan yang akrab disapa Caca itu menjelaskan bahwa saat ini banyak perempuan yang bekerja sebagai petani, nelayan, dan profesi lain yang selalu menjadi korban atas penggusuran oleh sebab investasi pembangunan.

Ia juga melirik fenomena di daerah Gunung Slamet, ia menyampaikan sudah banyak ternak yang mati diakibatkan oleh proyek geothermal. Dilansir dari kabar-banten.com, para warga bahkan mengeluhkan akibat dari proyek itu yang mengakibatkan banjir dan berpotensi longsor.

“Semakin masif investasi, semakin marak penggusuran, dan akan menimbulkan banyak bencana,” papar Dinda.

Dalam diskusi bertema besar penggusuran lahan itu juga dihadiri oleh Fuad dari Gerakan Masyarakat Peduli Alam (Gempa) Desa Wadas (Dewa).  Salah satu penggagas Gempa Dewa itu menceritakan awal mula terciptanya gerakan yang menolak pembangunan megaproyek bendungan di Purworejo. Ia mengharapkan bantuan dari semua pihak untuk membantu menguatkan pemahaman terhadap desa lain.

“Karena di Desa Guntur tidak ada penolakan sama sekali. Paguyuban di sana sudah bubar,” papar Fuad.

Untuk diketahui, desa Guntur adalah satu dari banyak desa lain yang termasuk wilayah untuk dijadikan proyek bendungan.

Di akhir diskusi, Dinda menyampaikan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM dari proyek-proyek investasi sudah mengakar dan sulit sekali diatasi, hal itu disebabkan penanam dan pendukung investasi itu berasal dari para oligarki. Ia menambahkan bahwa mengharapkan negara adalah kesia-siaan.

“Satu-satunya pilihan kita adalah melawan. Jika tidak, menunggu mati ditembak ketika konflik agraria atau menunggu bumi tenggelam karena pencemaran lingkungan,” pungkasnya.

Reporter: Kun & Royyan

Penulis: Royyan

Persma Poros
Menyibak Realita