Diskriminasi Mahasiswa Indonesia di UAD Bukan Hal Baru

Loading

      Bukankah menarik melihat beredarnya sebuah foto kolase yang di dalamnya terdapat dua foto antara mahasiswa baru (maba) Indonesia dengan maba luar negeri (asing) di media sosial kalangan mahasiswa UAD? Foto itu menampakkan kontrasnya kondisi dan pelayanan maba Indonesia dengan maba asing pada acara closing ceremony Program Pengenalan Kampus (P2K) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) 2019. Seorang maba Indonesia di dalam foto tersebut terlihat memegang sebuah kardus bertuliskan kalimat protes dengan full kapital “PRIBUMI DIJEMUR PENDATANG JADI RAJA” di atas kepalanya yang berpeci di tengah terik matahari tanpa tenda. Sementara foto di sisinya—yang menjadi sebab dari adanya tulisan protes maba Indonesia di foto sebelumnya—menampakkan sekelompok maba asing yang sedang duduk di bawah tenda. Penempatan tempat yang bertenda dan tidaknya bagi para mahasiswa, ternyata didasarkan atas identitas asing atau tidaknya mahasiswa tersebut.

      Lalu apakah arti dan kenyataan yang dapat ditangkap di balik foto ini? Secara sederhana foto tersebut meresapi pikiran kita sebagai orang pribumi bahwa telah terjadi ketimpangan terhadap pelayanan kampus pada maba Indonesia dibandingkan maba asing. Sampai di sini, rangsangan kecemburuan secara rasial tentu saja bisa mengemuka bagi kalangan yang dirugikan. Dan, politik identitas yang bersifat rasialis niscaya bisa saja terjadi.

     Banyaknya respons negatif memprotes keadaan tersebut dari kalangan mahasiswa UAD yang berasal dari Indonesia, terang sudah menunjukan hal tersebut. Mulai timbul identifikasi diri sebagai pribumi yang tidak diperhatikan dan dianaktirikan pada sebagian kalangan mahasiswa UAD Indonesia. Akun instagram (IG) @immpedia misalnya, langsung mengunggah foto tersebut dengan tanggapan sarkastik: “Ini bukan scene film Bumi Manusia”, benar2 terjadi pada penutupan P2K UAD”.

     Psikologi kolektif kita saat ini mulai terbentuk secara dikotomis antara pribumi vs asing. Siapapun yang pernah membaca atau menonton Bumi Manusia tentu akan segera mengerti maksud dari pernyataan akun IG @immpedia tersebut. Novel karangan Pramoedya Ananta Toer itu meletakkan tema besar tentang ketidakadilan atas kolonialisme di dalam ceritanya. Kolonialisme adalah faham pendudukan (penguasaan) secara fisik pada suatu wilayah oleh wilayah lain. Pendudukan itu berkonsekuensi pada penguasaan orang-orang yang mendiami satu wilayah yang terduduki tersebut secara tidak manusiawi.

     Di dalam kolonialisme, nilai pada manusia diletakkan pada identitasnya secara rasial. Bila rasnya adalah ras yang terjajah atau terkoloni, maka nilainya sebagai manusia diletakkan pada posisi paling rendah di bawah ras yang menjajah. Kolonialisme dan rasialisme selalu berjalan secara beriringan.

     Tidak ada kolonialisme fisik yang tidak rasis di muka bumi ini. Sebab, rasisme itu sendiri selalu hadir dari perasaan superioritas atas ras lain yang dianggap inferior. Kolonial selalu merasa superior atas koloni-koloni yang didudukinya. Bukti dari kolonilaisme yang pasti rasis dapat dilihat pada mulai maraknya gerakan politik identitas (nasionalisme) yang berakar pada identifikasi rasial yang memiliki nasib dan sejarah yang sama sebagai yang terjajah, pada pertengahan abad 20. Abad di mana senjakala kolonialisme secara fisik itu mulai marak pula. Kolonialisme fisik menghasilkan pembunuhan karakter rasial yang terjajah. Oleh karena itu, resistensi yang hadir untuk melawan kolonialisme itu adalah resistensi rasial, resistensi nasionalis (kebangsaan), dan resistensi pribumi vs asing sebagai protes terhadap penghancuran karakter oleh kolonialisme. Penindasan rasial ala kolonialisme melahirkan perlawanan rasial pula dari yang terkoloni.

Baca Juga:  Catatan untuk Perpustakaan UAD

     Bagi akun @immpedia, persoalan yang terjadi pada acara P2K UAD 2019 adalah persoalan perlakuan ketidakadilan yang disebabkan oleh perbedaan identitas rasial. Satu persoalan yang sama yang terjadi dalam sejarah kolonialisme dan juga cerita Bumi Manusia. Perbedaan pelayanan terhadap mahasiswa asing dan bukan asing di acara P2K UAD 2019 adalah persoalan ketimpangan humanitas karena rasialitas dan identitas yang berbeda. Sebuah masalah yang sangat disayangkan harus terjadi di lingkungan akademis negeri pascakolonial bernama kampus. Rupanya pihak kampus belum mampu belajar sejarah atau setidak-setidaknya melihat perkembangan psikologis masayarakat Indonesia belakangan ini yang sangat sensitif dengan frasa “pribumi vs asing”. Malah mentalitas rasialis yang diskriminatif itu diadopsi kembali secara terang-terangan.

      Pendapat-pendapat dalam tulisan ini tentu saja bisa dianggap terlalu berlebihan bagi pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaan P2K UAD 2019 tersebut. Semua itu dapat dimengerti dengan alasan bahwa maba UAD non-asing yang dijemur di terik matahari itu sudah direncanakan untuk membuat mozaik atau formasi gambar secara raksasa sebelumnya. Sebuah selebrasi yang sedang trend di ajang perkenalan kampus di Indonesia zaman kiwari.

     Ironisnya, formasi gambar tersebut kabarnya gagal dilakukan entah karena hal apa. Jadilah ribuan maba UAD non-asing itu cuma mendapat panas matahari—yang semakin panas saja akibat perubahan iklim global—alih-alih merasa senang dan bangga dengan selebrasi yang direncanakan.

      Pertanyaan lain yang bisa juga diajukan adalah apa dasar pihak penyelenggara tidak melibatkan maba asing untuk ikut dalam barisan panas terik itu? Dan malah memberi mereka tempat berlindung dari terik matahari? Apakah maba asing itu adalah peserta VIP di dalam P2K UAD? Mengapa ada perbedaan pelayanan terhadap maba asing dan non-asing di dalam closing ceremony tersebut? Apa ukurannya sehingga harus dibedakan? Identitas asing itukah?

     Jikalau memang identitas asing itu yang menjadi alasannya, maka saya sebenarnya tidak kaget dengan apa yang terjadi di acara P2K itu. Ketimpangan pelayanan tersebut sebenarnya bukan hal  baru di UAD. Secara pribadi, saya sudah lama merasakan perbedaan-perbedaan tersebut berpilin di dalam rimba raya kehidupan kampus UAD. Terutama sekali dalam hal aturan-aturan formal tentang tata perilaku yang diterapkan oleh pihak kampus.

     Aturan berpakaian di lingkungan kampus misalnya, mewajibkan setiap mahasiswa mengenakan baju yang berkerah dan dilarang menggunakan kaos oblong. Siapa-siapa yang melanggar aturan ini hukumannya tidak main-main. Sering saya mendapati pengakuan dari beberapa mahasiswa Indonesia bahwa mereka diminta untuk pulang mengganti pakaian yang sudah ditentukan sekalipun mahasiswa tersebut sudah masuk di dalam ruangan kuliah. Memang penindakan pengusiran tersebut merupakan solusi terakhir setelah adanya peringatan demi peringatan.

Baca Juga:  Hilangnya Kebebasan Persma

     Anehnya, saya tidak melihat aturan itu berlaku bagi para mahasiswa asing yang berkuliah di UAD. Saya kira sudah jamak bagi insan akademis UAD ketika melihat mahasiswa asing berpakian kaos oblong untuk mengikuti kuliah. Dalam pengamatan saya sendiri, pemandangan penggunaan kaos oblong itu lebih sering terlihat dikenakan oleh mahasiswa yang berasal dari Cina. Kenapa kira-kira hal ini bisa terjadi dengan pembiaran yang terus-menerus?

      Dalam beberapa hal yang saya rasakan dan saya lihat sendiri, hal tersebut dibiarkan karena mahasiswa asing—dalam hal ini mahasiswa Cina yang beberapa kali sekelas dengan saya—merasa tidak nyaman dengan baju berkera ataupun kemeja. Gestur tubuh mereka ketika menggunakan kaos yang berkain tebal seperti menerangkan bahwa mereka tidak terbiasa dengan pakaian tersebut di tengah suhu Indonesia yang panas. Oleh karena itu mereka menggunakan kaos oblong dengan alasan iklim dan suhu Indonesia yang tidak memungkinkan mereka menggunakan baju yang sudah ditetapkan aturannya oleh kampus. Saya rasa karena alasan itu pula pihak kampus ataupun dosen menolerir masalah-masalah yang dihadapi mahasiswa asing yang sedang beradapatasi dengan cuaca Indonesia yang relatif berbeda dengan negaranya.

      Anehnya, toleransi semacam itu justru tidak berlaku bagi mahasiswa Indonesia sendiri. Seolah-olah cuaca yang ada di Indonesia ini memang seragam dari sabang sampai merauke. Seolah-olah mereka mengaggap cuaca di Jawa sama saja dengan cuaca di luar pulau Jawa di Indonesia. Padahal di Jawa saja sebenarnya cuaca yang ada bisa beragam suhunya antara dataran tinggi di area pegunungan dan dataran rendah. Tidak ada pertimbangan bahwa mahasiswa Indonesia  di UAD sendiri membutuhkan adaptasi untuk menyesuaikan cuaca di daerah yang baru mereka tempati untuk berkuliah. Toleransi semacam itu hanya berlaku bagi mereka mahasiswa asing yang baru tinggal di Indonesia. Dapat dilihat bagaimana aturan itu mendiskriminasi satu pihak karena identitasnya yang bukan asing!

      Kekecewaan sebagian mahasiswa Indonesia di UAD atas ketimpangan pelayanan di P2K UAD pada dasarnya hanyalah satu dari sekian ketimpangan pelayanan atas mahasiswa Indonesia di UAD. Kalau memang ingin ditindaklanjuti secara serius, maka hal ini tidak bisa hanya ditanggapi secara parsial pada persoalan di P2K UAD saja. Apa yang terjadi di P2K bukanlah persoalan insidental ataupun teknis semata-mata. Tetapi, perlakuan semacam itu hadir dari kebiasaan-kebiasaan dan mentalitas birokrasi sendiri yang memang diskriminatif, disadari atapun tidak. Sorry to say!  

Penulis : Fair Naza

Persma Poros
Menyibak Realita