Enigma Tukang Recok Abadi

Loading

“Menjamurnya komunitas sastra selain sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni pusat kesenian, juga bukti kemandirian sastrawaan. Pada umumnya, komunitas sastra dibentuk sesuai dengan kebutuhan lokal dan kebersamaan membangun solidaritas di kalangan sastrawan.”

Demikian cuitan Babat Hutan Kayu dalam Djoernal Sastra Boemipoetra2.  Di dalam jurnal tersebut juga menyebutkan bahwa kebanyakan komunitas sastra yang tersebar di seantero Indonesia berorientasi kerakyatan dan membumi, serta memiliki identitas yang mengedepankan lokalitas dan nasional.

Menjamurnya komunitas sastra di negara dunia ketiga ini, memang harus diakui pasca orde baru tumbang, rezim Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) yang anti-kritik sekaligus otoriter itu sudah membungkam kegiatan kesusasteraan selama kepemimpinanya berlangsung.

Maka tak heran jika banyak bermunculan komunitas-komunitas sastra sebagai jawaban atas kerinduan mereka berkumpul, berserikat, berekspresi, dan melanjutkan proyek sosial untuk kembali merecoki kehidupan berbangsa dan bernegara seluruh masyarakat Indonesia. Tentu, sastra sebagai alatnya.

“Berorientasi kerakyatan dan membumi, serta memiliki identitas yang mengedepankan lokalitas dan nasional,” ini pembahasan yang menarik kiranya mengenai menjamurnya komunitas sastra di Indonesia.

Saya sebagai mahasiswa baru tentunya pantas jika bertanya, “Apakah benar berorientasi kerakyatan?” “Apakah karya-karya sastra yang dihasilkan oleh komunitas sastra benar-benar membumi, mengangkat isu-isu ketimpangan sosial, dan seberani apa mereka mengritik kekuasaan?”

Menjawab pertanyaan itu, seperti menjawab teka-teki. Tentunya, harus penuh kehati-hatian, sebab jika tidak hati-hati, bisa-bisa sang Penjawab bakal dicaplok paus sastra Indonesia. Oleh karena itu, pembaca harus dengan sabar menjawab pertanyaan di dalam hati masing-masing.

Jika kita menilai kredibilitas dari pernyataan Babat Hutan Kayu mengenai orientasi dan identitas  komunitas sastra secara realistis, tidak bisa diklaim seratus persen itu benar. Dalam esai “Sastra Tanpa Puasat Sastra” buah pemikiran Babat Hutan Kayu, ada pengecualian komunitas.

Dalam esainya hanya disebutkan satu komunitas sastra, entah sebagai salah satu contoh, entah memang esai itu dikhususkan untuk menghajar komunitas “Teater Utan Kayu” yang akrab disingkat dengan sebutan TUK.

Ditulis dengan amat berani dan lantang, dalam Djoernal Sastra Boemipoetra2 edisi pertama bahwa TUK didanai pihak asing, TUK lebih ellitis dan arogan, TUK berorientasi kepada kapitalis dan kelamin, hingga TUK berkarya karena dibayar. Pengecualian itu disebabkan karena orientasi TUK tidak lazim sebagaimana mestinya dalam bersastra.

Tidak adil juga rasanya jika hanya TUK dijadikan kambing hitam dalam proses bersastra. Karya-karya sastra berupa puisi, cerpen, novel yang mejeng di hadapan generasi millenial saat ini, cenderung atau bisa saya katakan sebagian besar lebih banyak karya-karya yang tidak memberi sumbangsih dalam pembangunan manusia, mencegah stagnasi spiritual, rasa puas diri, kejumudan, kemerosotan intelektual atau moral.

Jika boleh membandingkan dengan kasus TUK, berarti karya sastra yang hadir tetapi tidak memberikan sumbangsih apa-apa kepada kemanusiaan, bisa disebutkan bahwa sastrawan yang menghasilkan karya sastra berpihak pada antek asing, walaupun secara tidak langsung dan tanpa kesepakatan apapun.

Baca Juga:  Quo Vadis Pemilwa 2008?

Sastrawan berkarya hanya mengedepankan kepentingan pasar tanpa melihat sistem eko-sio-kultural-spiritual pada masyarakat. Sastrawan yang demikian lebih kapitalis, lebih arogan, lebih mementingkan kepuasan berahi demi orgasme penuh kenikmatan duniawi.

Bagaimana bisa sastrawan itu disebut-sebut sebagai sastrawan? Bagaimana bisa pula karya-karyanya dianggap sebagai karya sastra?

Sastrawan dan Karya Sastra yang Puritan?

Jika bergelut di kubanggan lumpur sastra Indonesia, siapa yang tidak tahu dengan si Hujan Bulan Juli “Sapardi Djoko Damono,” siapa pula yang tak tahu penyair Di Bawah Kibaran Sarung “Joko Pinurbo” atau yang akrab dipanggil Jokpin? Dua tokoh di tersebut adalah pujangga yang dikritik Saut Situmorang yang statusnya sama-sama sebagai penyair.

Dalam akun instagram pada 11 November tahun lalu, Saut Situmorang mengunggah foto yang di dalamnya terdapat tulisan “Sebagai penyair dunia ketiga, kenapa Goenawan Muhammad, Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo TIDAK pernah menulis tentang kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan represi Negara yaa?! Kayak para “Influencer” instagram, mereka sibuk berselfie ria di “puisi-puisi” mereka!”

Dari ketiga puluh delapan komentar, hanya ada empat terhitung oleh saya yang agaknya tidak sepakat dengan unggahan Saut Situmorang dan sisanya mengamini perkataan Saut Situmorang. Kembali ke pertanyaan “Lalu bagaimana dengan sastrawan dan karya sastra yang puritan?”

Saya sangat yakin semua penulis saat menulis sesuatu sangatlah serius, apalagi karya tersebut bakal dibukukan, mesti dibaca banyak orang. Tentunya penulis menginginkan karya terbaik muncul dari goresan atau ketikan tangan darinya. Karya tulis nyleneh sekalipun, saya kira penulis tetap melakukan dengan sunguh-sunguh.

Saya ambil dua contoh tokoh sastrawan Chairil Anwar dan Saut Situmorang. Saya tidak ingin membandingkan karya dari kedua tokoh. Namun, kedua tokoh tersebut sangat idealis, militansi, totalitas, dan konsisten dalam dunia kepenyairan. Namun, Chairil sudah tutup usia. Adapun Saut Situmorang saat ini masih menghirup udara segara di Yogyakarta: daerah keistimewaan yang di penuhi hotel dan tidak istimewa lagi.

Chairil Anwar dan Saut Situmorang-lah yang jika di tanya “Apa pekerjaanmu saat ini? Selalu menjawab sebagai “Penyair”. Mereka berdua benar-benar mendedikasikan hidupnya dalam dunia kepenyairan. Tidak berhenti pada perofesi kedua tokoh sebagai penyair, terlebih karya yang dihasilkan berhasil merecoki kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia.

Bagi yang berpikir, “Bagaimana dengan tiga orang yang disebutkan Saut Situmorang?” Wallahu a’lam bishowab. Dalam ber-sastra di era yang disebut sebut milenial ini, tidak ada lagi pengekangan dalam berekspresi melalui karya sastra. Bukan lagi berada di rezim TNI AD, di mana sastrawan yang dianggap kiri diasingkan tanpa proses pengadilan, sedikit melawan melalui karya sastra bakal dibungkam, dibunuh, dan dihilangkan.

Baca Juga:  Kadang Kenyataan Memang Lebih Pahit

Rezim Soeharto memberi pelajaran penting bagi kita, bahwa negara kalang kabut dengan karya-karya sastra yang berpihak kepada rakyat. Sehingga, Orde baru alias Orba memunculkan tandingan-tandingan dalam bersastra sebagai upaya membentuk pola pikir libido dengan film dan buku-buku porno yang disebarkan ke desa-desa.

Kini yang disebut “kebebasan” berada tepat di depan mata, bahkan sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke II yaitu dalam Pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Artinya, tidak ada lagi alasan untuk takut dalam berjuang dengan media sastra.

Kerja-kerja kepenulisan merupakan perecok abadi kekuasaan, para penulis Indonesia saat ini penting kiranya untuk bermuhasabah diri dan kembali melakukan pertapaan. Alasan fundamental eksistensi seorang penulis adalah tukang protes, konfrontasi, serta kritik. Panggilan sastra lahir dari ketidaksepakatan seorang manusia dengan dunia, potensinya akan kekurangan, perbedaan dan penderitaan di sekitarnya.

Mario Vegas Llosa seorang novelis menyatakan bahwa sastra adalah pemberontakan permanen dan tidak bisa menerima jaket pengekang. Upaya apa pun yang membelokkan wataknya yang pemberang, pemberontak akan ditakdirkan gagal. Sastra bisa mati, tapi tak kan pernah bisa kompromi.

 “Dalam semacam itulah sastra bisa berguna bagi masyarakat. Sastra bakal mampu  memberi sumbangsih dalam pembangunan kemanusian, mencegah stagnasi spiritual, rasa puas diri, kejumudan, kelumpuhan, kemrosotan intelektual atau moral.”

Misalnya adalah untuk membangkitkan, menganggu, mengelisahkan, untuk membuat manusia berada dalam kondisi ketidakpuasan konstan kepada dirinya sendiri. Fungsinya adalah untuk mendorong, tanpa kenal henti, hasrat akan perubahan dan perbaikan, sekali pun diperlukan senjata-senjata tajam guna menunaikan tugas ini.

Penting untuk kita mengetahui soal ini: makin kritis tulisan-tulisan seorang penulis menentang negaranya, makin intens gairah yang mengikat ke negaara tersebut. Sebab dalam sastra, kekerasan adalah cinta,” begitu tegas penulis Amerika Latin pada pidato peneriman hadiah sastra Premio Romulo Gallegos, 11 Agustus 1967 di Ciracas, Venezuela .

Realitas di Indonesia sebagai negara dunia ketiga yang masih saja berkembang tidak maju-maju karena memiliki 1001 gudang permasalahan, seharusnya bisa menjadi garapan apik untuk bahan-bahan pembuatan karya sastra. Tentu, karya sastra yang bisa menumbuhkan keterpukauan berapi-api muda-mudi negeri. Sehingga mereka berani teriak lantang “REVOLUSI” dan memancal botak korporasi.

Inilah panggilan untuk seluruh penulis di Indonesia. Penulis apa pun. Semua penulis, untuk menjadi anjing yang menggonggi kepongahan negara dalam segala lini kehidupan, perecok masyarakat secara sadar maupun tidak sadar, pembelot dengan tujuan mulia, pembangkang sekaligus pemberontak negara yang menjadi virus perubahan menuju tatanan kehidupan eko-sosio-kultural-spiritual yang lebih berkemajuan.

Kemudian pada intinya adalah sebuah karya tulis harus mampu mengantar dan menggandeng perubahan terhadap kehidupan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Penulis : Yusuf                                                                     

Penyunting : Adil

Persma Poros
Menyibak Realita