Fenomena Kembalinya Sosok Mahasiswa Sebagai Agent of Change

Loading

         Kesadaran etis merupakan salah satu kunci keberhasilan mahasiswa untuk membuka hegemoni yang dibuat oleh penguasa. Kesadaran rakyat Indonesia beberapa hari belakangan sedang menemukan titik balik ke perubahan yang lebih baik. Haluan ini terjadi karena para pembuat kebijakan menyeleweng dari ikrar awal mereka kepada rakyat. Keadaan menyedihkan ini diikhtiarkan oleh Presiden dan Wakil Presiden kita di parlemen. Kekacauan yang dibuat sejak penunjukan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Komisi III DPR RI sampai hikayat pengesahan Rancangan Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai hiruk pikuk di ruang publik.

        Ditambah lagi, permasalahan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera serta Kalimantan yang sampai saat ini belum diselesaikan oleh para penguasa. Ada yang merasa bahwa penguasa telah melakukan perbuatan zalim kepada rakyat. Aspirasi itu muncul secara frontal di ruang publik yang presentasinya sangatlah tinggi. Keadaan di mana seluruh elemen bangsa saat itu dan sampai saat ini pun merasa dibohongi oleh orang yang telah diamanatkan sebagai pemimpin.

         Peristiwa yang seharusnya menjadi diskursus rakyat, faktanya berubah menjadi kajian yang absurd. Hal tersebut disebabkan oleh kepentingan pragmatik dalam setiap kebijakan yang dibuat penguasa yang  akhirnya menimbulkan polemik di ruang perdebatan. Polemik itu pun tidak lama direspon oleh mahasiswa dari berbagai penjuru daerah, yang pada intinya mereka menagih tanggung jawab moral dari para pemimpin.

       Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) khususnya, beberapa waktu lalu bersama dengan kampus lain bergabung dalam Gerakan Anti Kopupsi Yogyakarta untuk menolak Revisi Undang–Undang (RUU) KPK. Aksi demonstrasi yang menghiasi titik Nol Kilometer atau tidak jauh dari pusat pemerintahan DIY itu menuntut agar Pemerintah Pusat tidak mengesahkan RUU KPK yang dinilai akan mencederai semangat reformasi yang telah di bangun sejak lama.

      Di daerah Riau, ribuan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Gerakan 17 September menggelar aksi di Mapolda Riau, Pekanbaru. Mahasiswa mendesak Kapolda Riau dicopot, karena dinilai gagal dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Aksi pergerakan mahasiswa di depan gedung DPR/MPR RI yang diperkirakan jumlahnya mencapai hampir ribuan mahasiswa digelar hingga malam hari. Aksi serupa pun digelar di wilayah Sumatera Barat, Jambi, Makassar, dan masih banyak lagi. Hal ini menunjukkan bahwa negeri ini sedang dilanda kebobrokan moral, khususnya moral etis dari penguasa.

       Vox Populi, Vox Dei: Suara rakyat adalah suara tuhan. Kelihatannya jargon yang mengandung dimensi etis semacam itu harus selalu dimunculkan dalam setiap permasalahan bangsa. Gejala–gejala yang bercirikan tuntutan moralitas adalah pengejawantahan etika publik dalam membangun cita-cita para pendiri bangsa. Mahasiswa selalu dituntut secara moral apabila kerakyataan yang dipimpin oleh khidmat sudah tidak dipedulikan oleh pemimpin.

Baca Juga:  Gelora Aksi Mahasiswa Menuntut Akan Keadilan

       Apalagi jika mengingat pengertian mahasiswa yang luhur adalah mereka yang berjalan dengan membawa  perubahan ke arah yang lebih mulia. Sudah pasti, tugas pokok mahasiswa pada hakikatnya sangatlah berat karena salah satunya yaitu tugas etis untuk membawa Indonesia pada bangsa yang lebih beradab. Memori peradaban bangsa yang terikat pada cerminan masa lalu, harus dimanfaatkan oleh mahasiswa agar masa depan bangsa ini menjadi lebih terarah.

         Kembalinya mahasiswa setidaknya mendeskripsikan bahwa mahasiswa masih memegang kendali sebagai kontrol sosial dan agen perubahan. Dua tugas mulia yang diemban mahasiswa tidak boleh lagi tergoyahkan oleh keadaan status quo. Kalau kita gambarkan sedikit tentang keadaan psikologi dari masyarakat Indonesia,  sudah tentu mereka bergembira menyambut kehadiran para mahasiswa yang kerinduannya sangat amat terasa di ruang publik.

        Berangkat dari semangat demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa di berbagai penjuru daerah beberapa waktu lalu, mengingatkan kita kembali pada status antropologis dari mahasiswa yang sebetulnya sejak zaman kemerdekaan sering meramaikan ruang perdebatan publik. Kerinduan masyarakat akan eksistensi mahasiswa setidaknya telah terobati dengan realitas yang ada saat ini. Sebetulnya yang menjadi latar belakang keinginan publik terhadap mahasiswa adalah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dirumuskan oleh para pemimpin.

        Pergerakan mahasiswa merupakan pressure grup (kelompok pemaksa) yang dapat melalukan partisipasi politik sebagai bagian dari advokasi masyarakat dan bangsa yang masih seringkali menjadi korban dari kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka.

       Ruang publik sebagai arena tindakan politik harus diawasi oleh mahasiswa bila dewan perwakilan tercinta tidak kembali pada tabiatnya. Oleh karena itu, kita sangat merindukan kehadiran mahasiswa yang sudah lama tertidur lelap oleh kesibukannya. Tentunya tidak cukup bagi rakyat dalam melihatnya, apabila hanya dalam satu atau dua kali aksi yang mahasiswa lakukan, tetapi barangkali ini merupakan titik awal kebangkitan mahasiswa Indonesia yang kembali ikut serta secara langsung di ruang publik sebagai kontrol sosial dan agen perubahan. Di titik inilah kemudian mahasiswa melihat bahwa ada realitas kultur-sosiologis yang dikhianati oleh para pemimpinnya sendiri.

Baca Juga:  Mural Alpa Moral

      Rentetan sejarah peradaban Indonesia yang dimulai dari zaman kemerdekaan sampai zaman reformasi, acap kali bertemu dengan kehadiran mahasiswa, dan sejatinya memang itulah yang rakyat butuhkan. Keadilan yang kemudian menjadi nama sejarah tidak boleh dikurangi sedikit pun, tidak dapat diwakili oleh siapapun, dan tidak bisa dipenggal, sebab kesetaraan adalah aksioma dari tindakan, bukan tujuan. Dan tujuan itu bisa dicapai apabila mahasiswa Indonesia tetap berdiri lantang ketika diterjang ombak, bertawakal dengan khusyuk atas dasar keimanan, dan bergerak maju atas keinginan perubahan dan dengan syarat atas nama rakyat.

           Pada prinsipnya, paradigma perubahan yang diusung para aktivis pergerakan mahasiswa adalah konstitusional nir-kekerasan. Konstitusional berarti perubahan yang dituntut dan dilakukan dalam pergerakan mahasiswa tetap menghormati dan menghargai konstitusi serta perundang-undangan yang ada, agar diksi ‘subversif’ yang sering digunakan atas dasar apologi oleh penguasa tidak lagi terjadi. Oleh karena itu, maka dengan aksi kolektif tanpa adanya kekerasan bisa menambahkan kepercayaan masyarakat terhadap pergerakan mahasiswa.

           Realitas seperti itu menghilangkan masyarakat yang anti dengan demonstrasi. Slogan, spanduk, deklarasi, orasi, karikatur, dan lain sebagainya adalah simbol yang dilakukan oleh mahasiswa dalam rangka mengucapkan kegelisahannya. Kita tahu, filosofi dari pergerakan mahasiswa adalah ikhtiar untuk memperoleh kebenaran atas dasar sebuah kecintaan terhadap kebenaran. Hasrat utamanya adalah kebenaran. Dari situ kita paham, keadilan yang harusnya sebagai nama sejarah tidak lagi dilecehkan oleh kepentingan-kepentingan pragmatik kekuasaan. Pelecehan nama sejarah itu harus bisa diminimalisir, bahkan bila perlu dihilangkan dengan salah satu caranya adalah militansi mahasiswa digarda terdepan untuk melindungi dan menjamin hak dasar masyarakat sebagai warga negara yang tidak boleh ditolerir oleh penguasa.

        Aksi demonstrasi yang dipelopori mahasiswa adalah simbol tuntutan etis. Pejabat publik yang memiliki moralitas, seharusnya mampu menggarisbawahi aspirasi masyarakat semacam ini untuk menjaga keutuhan bangsa. Langkah mahasiswa ikut mengambil inisiatif untuk menyampaikan aspirasi masyarakat, termasuk mahasiswa UAD, bisa menjadi contoh mahasiswa lain yang belum tergerak intuisinya untuk ikut serta membela hak-hak masyarakat yang tertindas di hadapan para pemimpin bangsa. Teruslah berdiri diatas prinsip keadilan mahasiswa. Belajarlah tentang kemanusiaan. Tidak boleh satu pun rakyat diam, bila haknya terancam oleh penguasa yang tidak punya pikiran.

Penulis: Durohim Amnan,  Sekjen DPM FH UAD tahun 2018-2019

Persma Poros
Menyibak Realita