Nugraha Dhayu Murti (26) sudah menghayati kepercayaan Tri Soka sejak berumur 6 tahun. Waktu ibadah, dia ditemui secara magis oleh leluhur Tri Soka. Leluhur itu bilang kalau dia adalah pewaris.
“Kalau kamu di sini, uripmu bakal tentrem (hidupmu bakal tentram),” ujar Nugraha menirukan.
Sedangkan Baskoro Waskitho Husodo (26) alias Baskoro menghayati Sapta Darma sejak di duduk Sekolah Dasar. Kini mereka menjadi ketua atau presidium Generasi Muda Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Daerah Istimewa Yogyakarta (Gema Pakti DIY).
Gema Pakti DIY adalah organisasi sayap pemuda dari Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI), sebuah organisai yang mewadahi organisasi penghayat kepercayaan di Indonesia. Penghayat keparcayaan adalah ajaran spiritualisme warisan leluhur yang kaya dengan nilai pelestarian alam dan Ketuhanan.
Sabtu sore itu (04/06), jalanan Yogyakarta masih basah usai diguyur hujan. Dari Sanggar Candi Busana – tempat bagi warga penghayat kepercayaan Sapta Darma berkumpul dan beribadah – di Sagan, Kota Yogyakarta terdengar suara gamelan.
Di dalam rumah joglo yang sudah berumur tua itu beberapa pemuda dan pemudi sedang mamainkan gamelan. Ada yang memainkan saron, gong, dan lainnya.
Saya masuk untuk melihat aktivitas dan berbincang bersama mereka. Nugraha bersama Baskoro bercerita tentang kegiatan latihan karawitan sebulan sekali. Tujuannya untuk menjaga rasa kekeluargaan antarpemuda penghayat kepercayaan dan penguatan fungsi pemuda khususnya sebagai generasi penerus penghayat kepercayaan. Selain itu ada pula belajar aksara Jawa.
“Ke depan, akan ada anjangsana (berkunjung) ke tempat penghayat lain di Yogykakarta,” kata Nugraha.
Sanggar Candi Busana, tempat Gema Pakti berkumpul ini juga sering digunakan untuk berlatih gamelan bagi masyarakat umum. Beberapa pertemuan warga di sekitar Sagan juga sering berlangsung di sana.
Kebetulan, pemilik sanggar itu adalah ketua RW setempat, Bambang Purnama. Ia adalah seorang penghayat kepercayaan Sapta Darma dan Ketua Presidium MLKI DIY.
Secara pribadi, di perkumpulan Gema Pakti, Baskoro merasa nyaman karena ada teman-teman yang satu frekuensi. Mereka saling mendukung dan memberikan semangat, sehingga dapat menguatkan pilihan kepercayaan mereka.
“Meski ada diskriminasi dari masyarakat sekitar dan teman-teman berbeda keyakinan,” kata Baskoro.
Baskoro yang duduk bersila di samping kendang dan saron, bercerita tentang susahnya mengumpulkan pemuda dari tiap paguyuban penghayat. Sebenarnya, ia sudah menemui kondisi itu saat menjadi ketua Forum Pemuda Penghayat (FPP), organisasi sebelum Gema Pakti.
Saat itu, hanya beberapa penghayat yang mengikuti agenda rutin forum pemuda. Akhirnya FPP bubar karena banyak pemuda penghayat yang bekerja dan memiliki kesibukan masing-masing.
Saat ini Nugraha mencatat hanya ada sekitar 11 organisasi penghayat yang bergabung dalam Gema Pakti. Sedangkan jumlah organisasi penghayat di DIY ada sekitar 27. Padahal jika makin banyak pemuda penghayat yang bergabung, Gema Pakti bisa makin tumbuh dan berkembang.
“Biar organisasi ini terbentuk dan banyak ide,” ujar Baskoro.
Gema Pakti sendiri resmi berdiri tanggal 24 Oktober 2019 di Bandung saat berlangsung Sarasehan Nasional Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME) dan Musyawarah Nasional MLKI. Kegiatan ini dilaksanakan bersama Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat.
Jadi, Gema Pakti adalah organisasi sayap atau organisasi pendukung MLKI yang berdiri tahun 2016 lalu. Selain itu, MLKI juga memiliki organisasi perempuan, namanya Puan Hayati.
Dua organisasi ini menjadi tempat aktifitas bagi pemuda dan pemudi penghayat kepercayaan. Saat ini Gema Pakti sudah berdiri di Sumatera, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, dan berbagai daerah lainnya.
Sedikitnya pemuda penghayat yang bergabung di Gema Pakti terjadi karena jumlah pemuda di tiap paguyuban penghayat juga tidak banyak. Baskoro mengatakan banyak orang baru menjadi warga penghayat saat berusia sekitar 30-40 tahun.
“Tetap ada regenerasi, tapi tidak ada anak mudanya,” kata Baskoro.
Data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) tahun 2020, menyebutkan ada 102.508 orang jiwa yang menganut penghayat kepercayaan. Jumlah ini setara dengan 0,04 persen total penduduk di Indonesia yang mencapai 272,23 juta jiwa. [1]
Jumlah di atas turun jika dibandingkan dengan tahun 2017. Kompas.com pada 22 November 2017 melaporkan Kementerian Dalam Negeri mencatat jumlah penghayat kepercayaan hingga 31 Juli 2017 ada 138.791 orang.
Sedangkan Jawapos.com pada 9 November 2017 memperkirakan jumlah penghayat mencapai 12 juta jiwa. Jumlah ini diprediksi akan meningkat setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan uji materi Pasal 61 UU No. 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
MLKI DIY memperkirakan ada 5 ribu pemeluk penghayat kepercayaan di seluruh Provinsi DIY. Data ini belum termasuk paguyuban yang belum terinventarisasi oleh Dirjen Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, warga penghayat individu, dan para penghayat sekaligus memeluk agama arus utama.
Sedangkan paguyubannya ada 40, tetapi baru 27 yang teriventarisasi oleh Dinas Kebudayaan.
Ketua Perempuan Penghayat Kepercayaan (Puan Hayati) DIY, Sri Endang Sulistyowati merasa prihatin dengan kondisi regenerasi penghayat kepercayaan. Padahal berbagai paket kebijakan untuk menjamin hak warga penghayat kepercayaan sudah ada.
Masih ada banyak persoalan, misalnya belum semua warga penghayat mengubah administrasi kependudukan. Hal ini berakibat pada hak-hak sipil warga penghayat, seperti hak pendidikan, pernikahan, dan pemakaman menjadi terhambat.
“Banyak juga warga penghayat yang belum tahu regulasi itu,” ujar Sekretaris MLKI DIY itu.
Paket kebijakan yang dimaksud Endang di atas adalah berbagai kebijakan atau regulasi yang dikeluarkan negara untuk menjamin hak-hak warga penghayat kepercayaan. Ada UU Administrasi Kependudukan, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan diubah dengan PP 102 Tahun 2011 dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2019; Surat Edaran Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No: 01/SE/NBSF/VIII/07 tentang Penunjukan dan Penetapan Pemuka Penghayat Kepercayaan; Peraturan Bersama Menteri (PBM) Dalam Negeri dan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME; dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.26 Tahun 2017 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; dan Putusan MK atas gugatan uji materi Pasal 61 UU No. 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
Kebijakan di atas belum termasuk regulasi tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) yang sudah lama ada. KBB merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) universal yang sudah diakui dalam hukum nasional Indonesia. HAM diteguhkan dalam UUD 1945 Pasal 28A-J dan Pasal 29.
Ada pula UU No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, UU HAM No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Endang menjelaskan saat ini penghayat muda merasa gamang dengan masa depannya. Mereka tidak ingin mendapat hambatan di lingkungan tinggal dan tempat kerja gara-gara berkeyakinan berbeda. Sebab, pandangan masyarakat terhadap penghayat kepercayaan masih belum baik.
Sedangkan para remaja yang masih di bangku sekolah takut mengikuti pelajaran penghayat kepercayaan. Alasannya takut dibuli teman atau gurunya. Akibatnya, hak anak mendapatkan fasilitas pendidikan penghayat kepercayaan menjadi tertunda.
“Semoga saja pada tahun ajaran 2022 nanti pendidikan penghayat bisa berjalan,” kata Endang (20/04).
Keberadaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME di Indonesia merupakan wujud dari budaya spiritual yang menjadi bagian dari kebudayaan bangsa yang secara historis telah ada dan dihayati sebagian oleh masyarakat. Maksudnya, sebuah keyakinan dinamis yang bermuara pada kesadaran total manusia akan hidup dan kehidupan yang tergantung pada sumber yang menguasai hidup sekaligus menentukan awal serta akhir kehidupan, yaitu Tuhan YME (Adrianto, 2011).
Menurut Nurcholis (2015), penghayat kepercayaan yang juga disebut sebagai agama lokal mengajarkan untuk senantiasa berbuat baik kepada sesama, hidup berdampingan dalam masyarakat majemuk dan menghargai serta menghormati keberadaan kelompok-kelompok penganut agama lain yang berbeda.
Sementara itu, Nurhadi (2013: 4-5) menulis semua penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME yang berhimpun dalam berbagai wadah mengajarkan tuntutan atau pedoman perilaku hidup sehari-hari. Ajaran itu antara lain bernilai religius dan kewajiban kepada Tuhan YME, mengandung nilai moral soal hubungan manusia dengan diri sendiri, sesama manusia, dan alam.
Menurut penghayat kepercayaan, Tuhan YME memiliki tiga aspek. Pertama, Sangkan Paraning Dumadi, yaitu pencipta alam semesta, bersifat mutlak dan sumber segala kehidupan yang bimbingan-Nya selalu dibutuhkan manusia agar kembali kepada sumber hidupnya. Kedua, Memayu Hayuning Bawana, yaitu tuntunan untuk menghormati kehidupan alam sekitar. Ketiga, Manunggaling Kawula Gusti, yaitu mempunyai kesadaran seutuhnya akan peran dan fungsinya manusia sebagai ciptaan Tuhan YME.
Kondisi masyarakat yang belum menyambut baik kehadiran penghayat kepercayaan juga turut mendorong turunnya jumlah penghayat kepercayaan. Endang mengatakan di Yogyakarta jumlah penghayat kepercayaan menurun karena ketika orang tua atau sesepuhnya yang aktif di paguyuban meninggal dunia, yang lebih muda tidak berani menggantikannya.
“Akhirnya, warga paguyuban (yang lebih muda) itu menjadi penghayat perorangan,” katanya.
Di Gunungkidul ada Sus Susanto alias Santo yang menganut penghayat kepercayaan Palang Putih Nusantara (PPN). Saat ditemui di rumahnya di Saptosari, Rabu (08/06), Santo baru saja pulang dari Dukcapil untuk membantu sesama warga PPN mengubah kolom agamanya.
Pihak Dukcapil, kata Santo, sangat terbuka dengan warga penghayat kepercayaan yang ingin mengubah kolom agama mereka di KTP. Bahkan Dukcapil pernah menawarkan warga PPN yang secara kolektif ingin mengubah, pihak Dukcapil akan datang langsung ke warga.
“Enak sekarang itu,” katanya.
Sejak kecil mengikuti ajaran PPN dan sekarang menjadi anggota Gema Pakti, mendorong Santo teguh menjadi penerus penghayat seperti orangtuanya. Ia mengatakan di PPN, kesenian seperti karawitan, batik, dan tari menjadi perantara penting hubungan mereka dengan kehidupan.
Santo mengaku bisa melakukan berbagai kegiatan seni itu. Sembari bercerita, sesekali ia mempraktikkan gerakan suatu tari.
Setiap malam Jumat Kliwon dan malam Jumat Legi, Santo kecil sering diajak ayahnya beribadah bersama warga PPN di Suryodiningratan, Kota Yogyakarta. Di situ, dia melihat warga PPN juga belajar bersama, dan berkesenian.
Perlahan-lahan, dia mengikuti berbagai kegiatan itu dan merasa nyaman. Di dalam kesenian, Santo bisa meresapi nilai-nilai luhur seperti nang, ning, nong dalam gamelan.
“Saat mengheningkan jiwa, rasanya nyaman,” katanya.
Santo juga mengatakan saat menari di Suryodiningratan yang menjadi “markas” PPN, dia merasa ada rasa “yang lain” yang membuat dirinya nyaman. Hatinya merasa nyaman.
Keaktifan Santo dalam dunia penghayat kepercayaan membuat dirinya menjadi “tokoh”. Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) yang mengadvokasi kelompok penghyat kepercayaan memintanya hadir dalam forum American Friends Service Commitee di Kamboja. Sayang, ia gagal berangkat karena positif Covid-19.
Usai bercerita, Santo terlihat murung. Padahal ia ingin bercerita tentang kehidupannya sebagai pemuda penghayat, kegiatan di PPN, dan pengakuan negara Indonesia terhadap penghayat kepercayaan.
Sebagai seorang pemuda penghayat kepercayaan, Santo tidak takut menunjukan identitasnya. Sebab, sekarang penghayat kepercayaan sudah diakui negara sehingga kedudukannya setara dengan agama.
“Payung hukum sudah ada,” ujarnya.
Selain itu, dia ingin menginspirasi pemuda penghayat yang lain agar tidak minder atau merasa minoritas. Sekarang kondisi penghayat lebih baik dari pada zaman orang tuanya dulu yang masih banyak diskriminasi.
Pada tahun ajaran 2022/2023 ini, Santo akan mendaftar kuliah di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang mengambil program studi Pendidikan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME. Ia ingin menjadi guru penghayat kepercayaan di Gunungkidul yang saat ini masih kurang.
“Sekarang saya sedang mempersiapkan berkas-berkas buat kuliah,” katanya optimis.
Di Gema Pakti, Nugraha, Baskoro, dan Santo ingin merawat penghayat kepercayaan agar berkembang dan eksis. Mereka menggunakan Gema Pakti untuk mengorganisasikan pemuda penghayat. Kalau ada kegiatan Gema Pakti di Kota Yogyakarta, Santo sering datang meski harus menempuh jarak 43 kilometer.
Masih Jadi Potret Pelanggaran HAM dan Sikap Kebangsaan yang Belum Tulus
Ketua Program Studi Lintas Agama, UGM, Samsul Maarif, mengatakan penghayat kepercayaan di Indonesia masih mengalami pelanggaran hak asasi manusia (HAM), khususnya tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Ini akibat dari pembedaan agama dan kepercayaan yang dilakukan oleh negara sehingga memicu diskriminasi.
“Itu masalah besar kita yang perlu ditransformasi,” ujarnya, Rabu, 20 April 2022.
Stev Koresy Rumagit dalam jurnal berjudul Kekerasan dan Diskriminasi antar Umat Beragama di Indonesia (2013), menjelaskan penyebab diskriminasi ini. Pertama, ada upaya membanding-bandingkan agama yang ujungnya memberikan penilaian sempurna kepada kepercayaannya sendiri. Kedua, perbedaan suku, ras, dan agama menimbulkan perpecahan antarkelompok. Ketiga, perbedaan kelompok dalam masyarakat di suatu daerah menjadi faktor pendorong terjadinya konflik. Keempat, masalah mayoritas dan minoritas membuat diskriminasi tidak terelakan. [3]
Fenomena ini memang tidak lepas dari sejarah panjang diskriminasi yang dilakukan negara terhadap kelompok penghayat kepercayaan. UU No.1 /PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, menilai penghayat kepercayaan mengganggu ketertiban umum karena berbeda dengan agama arus utama. Puncaknya, setelah peristiwa 30 September 1965, penghayat kepercayaan diintimidasi, dipersekusi, dituduh atheis, sesat, dan dinilai antek Partai Komunis Indonesia (PKI).
Untuk menghindari tudingan miring itu, kelompok penghayat kepercayaan dipaksa meleburkan diri ke dalam agama yang diakui negara, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha. Kalau tidak, mereka dinilai mendukung PKI yang dituduh anti-Tuhan dan agama.
Stigma negatif terhadap penghayat kepercayaan itu masih bertahan sampai sekarang. Laporan majalah Poros edisi XIII Tahun 2022, mewartakan pemerintah sempat menolak legalitas paguyuban penghayat kepercayaan Pran-Soeh di Gunungkidul karena dinilai underbow PKI.
Ketua paguyuban Pran-Soeh, Yohanes Supardi (58) harus berjuang keras untuk melegalkan organisasinya. Akhirnya Paguyuban Umat Pran-Soeh Indonesia (Puspi) diresmikan pada 2 Maret 2007 dan terdaftar di Panitera Pengadilan Negeri Wonosari tanggal 12 Maret 2007 dengan No.12/ABH/LSM/III/2007/PN.WNSR. [4]
Sementara itu, Kepala Seksi Adat dan Tradisi, Dinas Kebudayaan DIY, Isna Elvianti menyatakan berkomitmen mendukung kegiatan paguyuban penghayat kepercayaan. Tiap tahun, ia berupaya ada program dari pemerintah untuk para penghayat kepercayaan.
Program-program yang sudah berjalan bersama MLKI dan pemuda penghayat kepercayaan adalah sarasehan upacara adat yang sudah berlangsung 3 kali dari 10 agenda. Ada pula penerbitan buletin MLKI Wening yang terbit dua kali tiap tahun.
Menurut Isna, sumber pendanaan kegiatan bersama penghayat kepercayaan itu berasal dari Dana Keistimewaan DIY. Namun, ia tidak mau menyebutkan berapa jumlah anggarannya.
“Belum koordinasi dengan pimpinan, tetapi anggaran itu ada,” katanya, Rabu (29/06).
Sementara itu, Wakil Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora), Suhirman mengaku belum ada program untuk organisasi pemuda penghayat. Tetapi ia mengaku sudah berkoordinasi dengan MLKI. Saat ini Disdikpora lebih fokus meningkatkan pendidikan dan ketrampilan pemuda di desa.
“Belum masuk ke sana (pemuda penghayat-red),” ujarnya.
Padahal organisasi pemuda penghayat, Gema Pakti sudah ada sejak tahun 2019. Salah satu tugas dan fungsi Disdikpora adalah merumuskan kebijakan teknis bidang pendidikan, pemuda, dan olahraga. Jelas di sana ada kata pemuda yang tentunya juga berlaku bagi pemuda penghayat kepercayaan.
Walaupun belum punya program khusus dengan Gema Pakti, Suhirman menepis anggapan pihaknya berlaku diskriminatif terhadap kelompok penghayat kepercayaan. Ia mengatakan pihaknya akan berkoordinasi dulu karena tidak mampu bekerja sendiri dan agar tidak salah langkah.
“Kita tidak boleh membeda-bedakan,” katanya.
Samsul menilai meski penghayat kepercayaan sudah diakui negara, tetapi masyarakat di akar rumput belum bisa menerima secara tulus. Namun ia optimis kondisi ini bisa diperbaiki
“Jika kita mau berkomitmen bergerak menuju hal yang lebih baik,” tegasnya.
Negara memang sudah mengakui penghayat kepercayaan sebagai kelompok yang legal. Pengakuan ini juga harus dibuktikan dengan memberikan layanan yang nyata kepada mereka. Salah satunya seperti mendukung organisai pemuda penghayat, seperti Gema Pakti agar bisa menjalankan fungsinya sebagai “mata rantai” regenerasi bagi penghayat kepercayaan.
Reporter dan penulis: Adil Al Hasan
Editor: Bambang Muryanto (AJI Yogyakarta)
Liputan ini bagian dari program workshop dan fellowship yang digelar Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta.
Referensi
- https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/29/lebih-dari-102-ribu-penduduk-indonesia-menganut-aliran-kepercayaan-pada-juni-2021. Diakses pada 16 Juni 2022
- https://sains.kompas.com/read/2017/11/22/124500723/sebetulnya-berapa-jumlah-penghayat-kepercayaan-di-indonesia-?page=all. Diakses pada 22 Juni 2022
- https://www.jawapos.com/features/humaniora/09/11/2017/data-kemendikbud-jumlah-penghayat-kepercayaan-mencapai-12-juta-jiwa/. Diakses pada 22 Juni 2022
- Bagir, Zainal A., Asfinawati, Suhadi, dan Renata Arianingtyas. 2019. Membatasi Tanpa Melanggar: Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. CRCS. Universitas Gadjah Mada, hal 2.
- Rumagit, Stev Koresy. 2013. Kekerasan dan Diskriminasi Antar Umat Beragama di Indonesia. Unstrat. Vol 1, No 2.
Menyibak Realita
Leave a Reply