Hati – hati! Jangan Melihat Makrab Menggunakan Kaca Mata Kuda

Loading

Setiap tahun kegiatan yang bernama malam keakraban (makrab) selalu hadir baik itu bersifat formal maupun non formal, tampaknya kegiatan seperti ini sudah mendarah daging di kampus untuk menyambut mahasiswa baru.  Polanya tidak jauh berbeda, para senior tampaknya memiliki tanggung jawab moral untuk proses pembuatan acaranya yang bertujuan agar para mahasiswa baru bisa mengikuti acara tersebut.

Program studi (Prodi) Ilmu komunikasi nampaknya selalu menjadi magnet tersendiri untuk prodi-prodi lain, entah memang rumput kami lebih subur dari rumput tetangga atau memang rumput kami sedang tidak subur dan mengering, sehingga ada orang yang berbaik hati serta repot-repot datang untuk sekadar menyirami rumput kami, bahkan dengan rela hati membantu menyabut rumput rumput liar yang tumbuh, tentunya dengan maksud rumput kami bisa tumbuh lebih subur serta hijau, agar seperti rumputnya. ‘Mungkin’.

 Berangkat dari wacana yang bergulir di lingkungan kampus, khususnya prodi Ilmu Komunikasi tentang makrab belakangan ini, santer terdengar di telinga saya tentang hadirnya narasi wajib atau tidaknya kegiatan makrab.  Narasi itu tampaknya telah menjadi dikursus untuk sebagian pihak, khususnya mahasiswa baru.

Sebagian mahasiswa baru maupun mahasiswa lama yang pemahamannya mungkin masih terjebak pada lingkaran satu-dua kelompok tertentu, hal ini memungkinkan bisa menjadi masalah yang serius, peristiwa semacam itu yang mudah memakan informasi tanpa mencerna terlebih dahulu, itu mencerminkan  pribadi yang malas, secara tidak langsung hal itu terbawa oleh alam bawah sadarnya sendiri, lalu membetuk pribadinya menjadi pribadi yang pragmatis dan memudahkan sesuatu hal apapun, salah satunya dalam memandang sesuatu dalam hal ini kegiatan makrab.

Wacana yang bergulir tentang wajib atau tidaknya kegiatan makrab ini, lagi-lagi jawabannya tergantung pada konteks yang menyelimuti acara tersebut. Sebagai contoh sederhana, apakah aktivitas makan pada manusia itu suatu kewajiban? Lalu, siapakah yang memiliki legitimasi paling kuat pada tubuh manusia untuk memerintahkan tubuh manusia itu wajib makan? Apakah akal, perasaan, perut, atau nafsu semata?

 Contoh yang kedua kurang lebih pertanyaannya sama, yaitu, kenapa aktivitas makan bagi manusia ini tidak menjadi kewajiban? Bukankah makan adalah syarat manusia untuk bertahan hidup? Hal yang tidak bisa dipungkiri dan sangat sulit ditepiskan adalah manusia pasti makan, dan tampaknya  itu sudah menjadi hakikat manusia akan makan sesuai dengan apa yang menjadi  kebutuhan tubuhnya, dan teramat mustahil manusia hidup tanpa makan.

Jika makan diumpamakan seperti makrab, konteks pertanyaan-pertanyaan saya di atas apakah bisa berlaku? Kalau memang bisa, silakan para pembaca menjawab, kalau pusing menjawab, maka saran saya tidak perlu repot-repot untuk mengkajinya.

Tampaknya terlalu sederhana ketika kegiatan makrab hanya dilihat sebatas esensi semata, belum lagi mahasiswa baru cenderung malas untuk mencari banyak informasi tentang apa makrab itu sendiri. Sudah malas mencari informasi, ditambah lagi untuk mencari tahu tentang esensi itu sendiri. Saya khawatir waktu empat tahunnya habis terjebak pada esensi makrab semata.

Bukan berarti esensi ini tidak penting, namun ada porsi yang harus diberikan, karena di sini tidak melulu tentang makrab itu apa esensinya, melainkan kompleksitas yang terkandung dari kegiatan makrab sendiri, dan sejauh mana para pelaksa ditambah peserta bisa memahami kompleksitas itu. Perlu ketelitian dan pemahaman secara komprehensif agar yang disebut kompleksitas ini bisa terjawab.

Baca Juga:  Kadang Kenyataan Memang Lebih Pahit

Kecenderungan malas mencari informasi sebanyak mungkin, lalu ditambah lagi terkungkungnya pikiran karena realitas lingkungan yang gemar mengkotak-kotakkan sesuatu, ditambah lagi hilangnya upaya untuk berkontemplasi pada suatu hal, ternyata ini berjalan seiringan dengaan pertanyaan pertanyaan yang timbul, yaitu kenapa mahasiswa harus akrab dengan medium kegiatan makrab? Apakah bisa akrab dengan satu malam saja?

 Pertanyaan yang menurut saya tidak mencerminkan sebagai makhluk berpikir yang berlabel mahasiswa. Pertanyaan pertama minimal ada dua jawaban, yaitu harus dan tidak harus, lalu pertanyaan keduapun serupa, yaitu bisa dan mustahil.  Ya, karena ternyata semudah itu untuk menjawab pertanyaan sebodoh itu.

Selama saya menginjakkan kaki di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pertanyaan-pertanyaan itulah yang berseliweran di telinga saya. Tidak adanya pertanyaan baru, seperti halnya keilmuan yang harus dituntut untuk menciptakan sesuatu hal yang baru. Saya menduga pikiran mahasiswa saat ini mengalami fase stagnan, kerena selalu itu-itu saja yang menjadi pertanyaan pada konteks makrab, belum kegiatan seminar, belum juga kegiatan workshop. Saya menduga, ya pertanyaannya itu itu saja, ironi. 

Sebagai orang yang pernah merasakan langsung baik itu ketika menjadi peserta maupun menjadi panitia makrab, dari situ saya sedikit mengetahui dan belajar tentang pola dan perspektif yang hadir dari kedua sisi panitia dan peserta.  

Baik dari mahasiswa lama maupun mahasiswa baru, ada yang perlu diperhatikan tentang bagimana budaya yang harus hadir di dalam prodi Ilmu Komunikasi UAD. Budaya yang dimaksud di sini adalah budaya kolektif atau istilah indonesianya adalah gotong royong.

Kita coba lihat dari perspektif akademik, secara tidak langsung prodi Ilmu Komunikasi memaksa mahasiswanya harus memilki prinsip kolektivitas, prinsip itu tercermin minimal dari dua mata kuliah event management dan produksi program non jurnalis (PPNJ). Dari sekian banyak mata kuliah yang ada, lalu apa dampaknya ketika budaya kolektivitas ini tidak hadir dalam sendi-sendi mahasiswa Ilmu komunikasi?

 Perlu diketahui, tugas-tugas mata kuliah tersebut sangat mewajibkan mahasiswa untuk kerja kolektif yang pastinya melibatkan banyak stakeholder. Ya, silakan saja membuat tugas, kegiatan, lalu tugas film juga sendiri. Sesakti apa mahasiswa itu mampu mengerjakan semua sendiri, tampaknya mustahil.

Saya coba untuk memudahkan lagi. Mungkin belum tahu atau mungkin juga sudah lupa, setiap program studi tentunya ada konsentrasi yang diambil, begitu juga dengan prodi Ilmu Komunikasi UAD. Konsentrasi peminatan di prodi Ilmu Komunikasi dibagi menjadi dua pilihan, yaitu, Public Relation dan Broadcast, mari kita lihat sejauh mana  prinsip kolektivitas harus ada dan berlaku di prodi Ilmu Komunikasi, dan lalu apa kaitannya dengan kegiatan  makrab?

Baca Juga:  Fenomena Kembalinya Sosok Mahasiswa Sebagai Agent of Change

Benarkah makrab ini tidaklah penting seperti yang dibicarakan oleh senior-senior dan mahasiswa mahasiswa baru yang masih terbelenggu oleh birahi eksistensi dan egosentrisme semata?

Silakan dibaca pada literatur mana pun, saya coba tarik kesimpulan sederhana menurut pemahaman saya. Dasar pemahaman yang harus dipegang untuk mahasiswa yang belajar pada bidang Public Relation (PR), secara garis besar adalah upaya untuk membangun lalu menjaga relasi, nama baik, dan kepercayaan sebaik dan selama mungkin, baik secara individu maupun kelompok.

Hal senada juga hadir pada bidang Broadcast (BC). Hal itu terlihat jelas dari aktivitas mahasiswa Broadcast yang sering melakukan kegiatan produksi untuk membuat sebuah karya audio visual dengan melewati tahapan pra produksi, produksi, pasca produksi, dan distribusi.

Dari kedua konsentrasi yang ada pada prodi Ilmu Komunikasi dengan perumpamaan di atas, tampaknya prinsip kolektivitas sudah menjadi suatu keharusan. Apalagi dituntut dengan tugas kuliah yang harus melibatkan banyak orang. 

Makrab adalah kegiatan untuk saling mengenal dan berinteraksi agar bisa mengakrabkan diri satu sama lain dalam waktu satu hari satu malam. Melihat dari pengertian itu, tampak mahasiswa baru maupun mahasiswa lama mudah terjebak pada narasi-narasi mainstream. Menurut saya, makrab adalah salah satu dari sekian banyak bentuk upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan kesadaran kolektif dari segala ekosistem serta fenomena yang hadir di lingkungan tersebut secara efektif dan efisien. Lingkungan di sini dimaksudkan yaitu prodi Ilmu Komunikasi.

Dahulu, ketika saya menjadi peserta makrab, motif yang saya bangun adalah seberapa banyak cerita yang saya dapatkan dari fenomena kegiatan tersebut. Cerita di sini tentunya akan berdeda dari orang lain. Mereka yang mengikuti kegiatan itu saja akan ada cerita yang berbeda-beda, apalagi dengan individu yang tidak mengikuti kegiatan itu sama sekali.

Kenapa hanya mencari cerita dengan mengamati fenomena di sana, karena saya ingin belajar tidak hanya sekadar text book semata, melainkan dari fenomena yang terjadi, bahkan implementasi dari teori teori yang saya baca tentang apapun itu bisa muncul pada fenomena sebuah kegiatan makrab. Lalu, apa salah kalau kegiatan makrab sebagai salah satu tempat pembelajaran?

Saya menganggap makrab ini harus tetap hadir, sebab ini adalah salah satu cara yang paling efektif dari sekian banyak, bahkan sudah cukup lama bertahan agar terus bisa menjaga kesadaran tentang kolektivitas mahasiswa. Sama halnya seperti menaruh lampu jalanan tanpa tiangnya, apakah bisa lampu jalanan itu tetap berada di posisinya dan berfungsi secara efektif dan efisien untuk bisa menyinari area tertentu tanpa tiang penyangga? Begitu juga dengan mencipatakan kesadaran tentang kolektifvitas dengan skala besar adalah dengan makrab.

Sebagai kalimat terakhir, saya ingin menyampaikan tentang dunia fotogtafi, bahwa untuk membidik sebuah objek ada istilah  Angle[1] dan Type of Shot2. Ada beberapa Angle dan ada beberapa Type Of Shot yang keduanya harus dipelajari serta dipahami seutuhnya. Bahwa dalam satu objek foto saja akan ada banyak perspektif dan jenis jenis shot dan apa yang menjadi kandungan atau motivasi yang ada dalam sebuah foto tentunya berbeda-beda.

Poinnya adalah, saya tidak mungkin bisa menyalahkan bahwa foto yang diambil dari sudut pandang “A” jauh lebih baik dari “B” atau mungkin lebih buruk dari sudut pandang dan jenis shot yang lain. Karena fotografi  salah satu cabang seni, dan seni adalah suatu keindahan, maka tampaknya sulit mencari benar atau salahnya suatu keindahan.

Ada sebuah kalimat dari sahabat yang pernah terucap kepada saya, seperti ini bunyinya, “Air mata baru semata kaki, namun sudah merasa tenggelam”.


[1] Angle atau sudut pengambilan gambar isitilah yang digunakan dalam bidang fotografi. Seperti : Eye level, Hight Angle, Low Angle, Brid Angle, dan frog Angle.

Penulis : Sidik Dwi Pramono (Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi)

Persma Poros
Menyibak Realita