Intoleransi di Yogyakarta Kian marak, Masyarakat Penting Paham Toleransi

Loading

diskusi
Antusias mahasiswa saat mengikuti Diskusi (16/3) di Gedung PKM FIS UNY

Maraknya gerakan Intolerasi antar umat beragama di Yogyakarta menjadikan kota ini sebagai satu tempat yang kini menjadi banyak perhatian. Kota yang keberagamannya dirasa baik- baik saja bahkan diagungkan. Hal tersebut terlihat ketika tahun lalu, disudut- sudut kota Jogja terpampang jelas banner yang bertulis pelarangan terhadap satu “Keyakinan” umat beragama.

Berdasarkan catatan KontraS, ada perubahan signifikan dari Yogyakarta. Riset 2007, menyatakan Jawa Barat tercatat sebagai daerah zona merah khususnya berkaitan dengan toleransi antar umat beragama. Tetapi 2014 ada lonjakan drastis, zona merah beralih ke Yogyakarta. “Dimana Jawa barat yang awalnya merah menjadi kurang merah, Yogyakarta awalnya yang belum merah jadi merah” terang Satrio Wirataru selaku Divisi Advokasi Hak Sipil dan Politik KontraS saat memaparkan Diskusi Publik yang berlangsung di Gedung PKM FIS UNY (16/3).

Wirataru juga mengungkapkan bahwa ada dua zona merah intoleransi antar umat beragama yang posisinya saat ini perlu diantisipasi, mengingat kebebasan beragama dan berkeyakinan dilindungi oleh Undang Undang Dasar 1945, “ada dua lokasi yang menjadi zona merah intoleransi beragama, Jawa Barat dan Yogyakarta,” ungkapnya.

Banyak yang menduga, Yogyakarta dimanfaatkan segelintir orang untuk mengusik keyakinan dan kebebasan beragama. Lahirnya beberapa organisasi masyarakat (Ormas) yang mengatasnamakan sentiment agama diyakini menjadi salah satu biang dalam gerakan intoleransi tersebut. “Ada kelompok intoleransi yang memanfaatkan toleransi masyarakat Jogjakarta untuk menanamkan intoleransi kepada masyarakat,” ungkap Halili Hasan pembicara yang juga selaku Dosen di Fakultas Ilmu Sosial UNY.

Ia juga mengatakan, intoleransi secara kasat mata memang tidak terlihat jelas di Kota Pelajar. Namun, jika dilihat dengan analisis serta pola permainan yang dilakukan oleh kelompok tersebut, jelas sekali ada masalah yang cukup serius di Yogyakarta. ”Masalahnya serius, Jogja sebenarnya reproduksi intoleransi secara diam- diam, kalau dipermukaan tak ada yang berani melakukannya,” terangnya.

Baca Juga:  Perlunya Peningkatan Sarana dan Prasarana

Dalam pemaparannya kembali, ia menilai Yogyakarta sangat rentan akan kejadian intoleransi. Selain karena aspek ketidaktahuan masyarakat, gerakan intoleransi kelompok tertentu perlu diwaspadai, mengingat ada cara tertentu yang dilakukan beberapa kelompok dalam menggerakan. ”Mereka main perang halus,” tambahnya.

Halili yang juga mengajar di prodi PKn menyarankan supaya Pemerintah harus mampu memainkan peran untuk menciptakan perdamaian serta perlindungan terhadap masyarakat yang mengalami intoleransi. ”Toleransi di Jogja berada dalam kerentanan, mestinya pemerintah pusat memainkan peran untuk menciptakan ketertiban,” imbuhnya.

Disisi lain Wirataru pula menyarankan tak hanya negara yang perlu dilibatkan dalam mengupayakan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Namun masyarakat sipil juga perlu dibekali pemahaman akan pentingnya toleransi. Selain memberikan penyadaran, hal tersebut dirasa mampu menangkal intolerasi yang kian marak saat ini.

Jika hal tersebut sudah mampu dipahami tentu tidak akan terjadi Intolerasi, ”kita mulai memperkuat warga sipil untuk menangkal agar tidak meningkat,” terangnya saat diwawancara seusai diskusi kemarin. (Somad)

Persma Poros
Menyibak Realita