Jam Malam, Aturan yang Konyol nan Memaksakan

Loading

Istilah jam malam yang awal kemunculannya adalah sebuah perintah dari pemerintah agar sekelompok orang atau masyarakat kembali ke tempat tinggal masing-masing sebelum waktu yang ditentukan, kini kembali muncul ke permukaan, terutama di kalangan mahasiswa di Yogyakarta. Istilah tersebut sering digunakan dalam konteks indekos maupun kebijakan beberapa kampus yang mewajibkan mahasiswanya untuk sudah berada di lingkungan indekos dalam waktu yang sudah ditentukan.

Jam malam dulunya juga diterapkan untuk menjaga keamanan umum, seperti saat terjadi kerusuhan dan perang, atau untuk membatasi gerak-gerik kelompok tertentu, seperti jam malam yang diberlakukan pemerintah Jerman Nazi terhadap orang-orang Yahudi.

Kini, isitilah jam malam tersebut muncul kembali dalam aturan yang diterapkan di banyak kampus di Indonesia, termasuk salah satunya di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Peraturan Rektor Nomor: R.III/4/A.10/II/2018 tentang Tata Tertib Ruang Kesekretariatan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) di Lingkungan Kampus Universitas Ahmad Dahlan (UAD) poin kesebelas, mengatakan bahwa mahasiswa tidak diperkenankan tinggal di Ruang Kesekretariatan di lingkungan kampus dan atau mengadakan kegiatan kemahasiswaan lebih dari pukul 21.00.

Peraturan tersebut, agaknya tidak terlalu berlebihan jika diistilahkan dengan ‘jam malam’, hanya kemudian yang jadi pertanyaannya adalah, jam malam ini diterapkan oleh pemangku jabatan di kampus untuk menjaga keamanan umum atau malah justru seperti halnya jam malam yang dilakukan pemerintah Jerman Nazi terhadap orang-orang Yahudi, yaitu untuk membatasi gerak-geriknya?

Namun begitu, sebenarnya kedua alasan di atas juga tetap saja tidak bisa dipakai oleh kampus untuk memberlakukan jam malam. Jika untuk menjaga keamanan umum, apakah dengan mahasiswa berkegiatan hingga malam membuat keamanan umum terganggu? Konyol sekali, bukan? Orang sedang berekspresi untuk menumpahkan kreativitasnya, kok, malah disangka mengganggu keamanan umum. Kalaupun iya membuat berisik bukankah bisa dengan cara yang lebih baik, tidak dengan memberlakukan aturan jam malam yang terkesan memaksakan ini?

Atau jika alasannya untuk membatasi gerak-gerik mahasiswa, ah, gila aja, saya rasa tidak perlu lagi mengutarakan banyak -banyak pendapat saya tentang ini.

Sebenarnya aturan ini sudah ada sejak lama, dan isunya pun sudah beberapa kali diangkat untuk kemudian diharapkan jadi bahan pertimbangan kembali oleh para pemangku jabatan di kampus, tetapi oh tetapi, dilansir dari laman online www.persmaporos.com Wakil Rektor III UAD justru mengatakan, “Kalau merasa keberatan silakan diaudiensikan lagi gapapa, tetapi untuk peraturan tersebut (peraturan nomer 11-red) justru tidak ada revisi”. So, for what ada audiensi jika dari awal sudah dikatakan peraturan itu tidak ada revisi, kan konyol sekali.

Baca Juga:  MKMU Adakan Sidang Sengketa Hasil Pemilwa FPsi

Agaknya yang menerapkan aturan jam malam ini sudah lupa pada Undang-undang Pendidikan Tinggi (UUPT) No 12 Tahun 2012. Sebagai contoh pada pasal 4 UU No 12 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa perguruan tinggi berfungsi mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma.

Ah, ataukah mungkin mereka menganggap aturan rektor lebih tinggi daripada aturan undang-undang pemerintah, sehingga aturan mereka dapat menasikh aturan yang sudah ada? Wih… konyol sekali. Maksudnya tulisan saya yang ini yang konyol sekali. Mana mungkin para professor dan doktor punya anggapan seperti itu, bukan?

Mengapa kemudian saya sampaikan bahwa aturan jam malam ini tidak merujuk pada pasal 4 UU No 12 Tahun 2012? Karena tentu saja, dengan padatnya waktu kuliah mahasiswa yang bahkan hingga sore atau bahkan sekarang hingga malam hari, tiada waktu lain bagi mahasiswa untuk berkegiatan kecuali saat matahari mulai terbenam.

Sekarang sebutlah mahasiswa pulang kuliah terakhir pukul 19.00, tentu istirahat dan perjalanan menuju ruang sekretariat sebutlah butuh waktu satu jam, maka waktu mulai rapat dan berkegiatan adalah pukul 20.00. Sekarang, mari kita belajar itung-itungan anak Sekolah Dasar. Jika waktu mulai berkegiatan pukul 20.00 dan batas waktu untuk berkegiatan di kampus adalah sampai pukul 21.00 atau baiklah karena sering ada kelonggaran sampai jam 22.00, maka berapa waktu yang bisa dimanfaatkan mahasiswa untuk berkegiatan meluapkan ekspresi kreativitasnya? Berapa adek-adek? Ya, kalian betul, jawabannya adalah satu atau paling lama dua jam!

Siapa pun pasti setuju, waktu untuk berkreativitas dibanding dengan memahami banyak teori di kelas, tentulah waktu yang dibutuhkannya lebih banyak untuk berkreativitas. Tidak tahukah para dosen dan birokrat kampus, bahwa waktu untuk beradu gagasan dalam sebuah rapat demi menghasilkan satu pikiran utuh yang masuk akal itu, membutuhkan waktu yang cukup alot? Atau mungkinkah mereka memang tidak tahu karena dulu lebih fokus untuk segera mendapat gelar sarjana? Atau ketika mereka rapat cuma iya-iyain aja kata Rektor apa?

Baca Juga:  Brutalisme TNI dan Reformasi Formulasi

Alasan apalagi yang bisa disampaikan kampus atas pemberlakuan jam malam ini? Untuk mengantisipasi hal-hal mesum terjadi di kampus? Bukankah justru hal tersebut lebih rawan terjadi di luar kampus? Kan kalau di kampus masih ada satpam, belum juga banyak mahasiswa lain yang ikut mengawasi.

Untuk diketahui, meskipun ada jam malam di kampus, hal tersebut tentu saja tidak berarti secara langsung menghentikan kegiatan mahasiswa, tentu mahasiswa masih bisa berkegiatan di luar kampus, seperti di tempat ngopi, dsb. Tetapi tetap saja, disayangkan sekali, kampus yang seharusnya menjadi rumah intelektual kini tergantikan dengan tempat ngopi. Tempat ngopi lebih intelektual dibanding kampus yang hanya ngurus masuk-keluar duit dengan gedung megah persis seperti mal.

Sekali lagi, seharusnya kampus menjadi rumah kedua bagi mahasiswa, apalagi di Yogyakarta yang mahasiswanya banyak dari perantauan. Bukankah sia-sia sekali jadinya kampus utama UAD yang megah itu kalau cuma dipakai saat ada mata kuliah saja? Setelah kuliah pulang, tidur di indekos. Tidak berlebihan kalau saya katakan kampus yang seperti itu telah gagal membuat mahasiswanya menjadi mahasiswa yang sesungguhnya.

Akhir kata, sebagai seorang yang terpelajar dan punya gelar yang terhormat, mari kembali mengingat ucapan Pramoedya Ananta Toer, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Ditinjau dari segi alasan apapun, aturan jam malam ini terkesan konyol nan memaksakan.

Saya harap tulisan ini tidak hanya menjadi angin lalu karena ditulis oleh seorang mahasiswa tingkat bawah, tetapi sekaligus menjadi bahan renungan dan pertimbangan demi kemajuan pikiran kita semua. Marilah mulai bertanggung jawab pada keilmuan kita, jangan membiarkan ia jatuh oleh apapun, termasuk pada sesuatu yang bernama sistem. Tabik!

Penulis : Royyan

Editor : Nur

Persma Poros
Menyibak Realita