Jejak Langkah 2 Ulama: Dulu Bersatu Mendongkel Belanda, Sekarang Oligarki dan Korporasi.

Loading

Judul                     : Jejak Langkah 2 Ulama

Sutradara            : Sigit Ariansyah

Durasi              : 150 menit

Genre               : Nonfiksi/Sejarah

Film Jejak Langkah 2 Ulama penting ditonton warga negara. Wabilkhusus orang-orang yang sering bertengkar perkara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Sebab, wacana terkait NU dan Muhammadiyah yang selama ini kita dapat ternyata berbeda. Ada distorsi. Dikotomi. Seolah-olah, K.H Ahmad Dahlan alias Muhammad Darwis dan K.H Hasyim Asy’ari, kedua tokoh dari organisasi besar di Indonesia ini saling bertentangan. Semacam air dengan minyak, padahal tidak.

Beliau berdua pernah nyantri bareng di Kiai Shaleh Darat, tokoh ulama besar dari Semarang. Selain itu, ulama-ulama besar di Mekah, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syekh Mahfudh at-Tarmasi pernah menjadi guru keduanya. Artinya, satu guru jangan padu.

Memang ada perbedaan, yaitu cara berdakwah dan perjalanan hidup. Tetapi, tidak dengan muatan dan ajaran-ajarannya. Seperti yang akan saya uraikan di bawah ini.

Film berdurasi sekitar dua jam setengah ini menceritakan perjalanan hidup dua ulama sekaligus sahabat tersebut. Perjalanan dari kecil saat masih bermain di pelataran rumah, hingga masing-masing menjadi tokoh berpengaruh bagi umat Islam di Indonesia.

K.H Ahmad Dahlan sejak kecil sudah menunjukan sikap kepeduliannya terhadap ‘wong cilik’ dan masa depan bangsa. Sehingga, selama perjalanan hidupnya, seperti dikisahkan dalam film ini, selalu berupaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Meski harus jatuh bangun, K.H Ahmad Dahlan selalu gigih. Penolakan-penolakan di Yogyakarta terhadap ajarannya tidak membuat mutung. “Kebenaran harus disampaikan,” dawuhnya di film tersebut.

Kendati demikian, upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang saat itu dibodohkan oleh Belanda terus diupayakan. Upaya itu berupa belajar agama di Makah lebih dari satu kali, mengajar di sekolah Boedi Oetomo, mendirikan sekolahan sendiri, hingga mendirikan organisasi bernama Muhammadiyah. Organisasi yang didirikan tahun 1912 di Yogyakarta ini sejak awal berorientasi pada kehiduapan sosial-masyarakat. Sehingga, sejak awal didirikan Muhammadiyah mulai merintis mendirikan sekolah, rumah sakit, dan majelis-majelis.

Sehingga, hasilnya bisa kita saksikan dengan cara seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya seperti saat ini. Muhammadiyah, organisasi yang dipimpin pertama oleh K.H Ahmad Dahlan menjadi organisasi yang besar dan sangat berpengaruh dalam kehidupan bernegara.

Baca Juga:  Law School: Hukum Harus Menghasilkan Keadilan

Sedangkan, K.H Hasyim Asyari adalah seorang yang sederhana dan taat sejak kecil hingga tua. Bahkan, perjalanan hidup beliau, seperti diceritakan dalam film ini, penuh dengan kesederhanaan dan ketaatan. Entah taat kepada Ibunya, Nyai Halimah, atau guru-gurunya. Guru yang diceritakan dalam film ini yang menujukan ketaatan seorang K.H Hasyim Asyari ketika nyantri kepada Syaikona Kholil, Bangkalan, Madura.

Selain itu, K.H Hasyim Asyari saat masih main ketapel, sudah menunjukkan sikap-sikap patriotisme. Bahkan, di dalam film ini ada dialog yang diucapkan K.H Hasyim Asy’ari kepada ibunya jika orang-orang Belanda berdosa karena telah merampas tanah dan menjadikan pribumi budak di tanah mereka sendiri. Percakapan itu terjadi karena ibunya melarang K.H Hasyim Asy’ari ngutil tebu di kebun Belanda seperti teman-temannya. Sehingga, dijawablah seperti di atas tadi.

K.H Hasyim Asyari menghabiskan masa mudanya dengan nyantri di berbagai wilayah. Perjalanan kehidupan K.H Hasyim Asy’ari juga tidak mulus, sama seperti K.H Ahmad Dahlan. Ketidakmulusan itu terjadi ketika perjuangannya meretas dan mendongkel budaya maksiat dan hal-hal tidak baik di Tebuireng, Jombang.

Pada suatu saat, 1899, didirikanlah pondok pesantren sederhana di Tebuireng. Sembari mengasuh santri, K.H Hasyim Asy’ari juga bertani dan menulis kitab. Penolakan dari preman-preman dan Belanda muncul. Hingga, pondok pesantren itu pernah dibakar komplotan penolak adanya aktivitas yang dilakukan K.H Has’yim Asyari di sana. Si Jago Merah melahap habis bangunan dari bambu itu. Namun, pondok itu berdiri lagi dan malah semakin banyak yang nyantri di sana. Bahkan, Syaikhona Kholil dari Bangkalan, dulu guru K.H Hasyim As’yari, juga nyantri di Tebuireng. Syaikhona Kholil berguru terkait hadis-hadis dan menyambungkan sanad hadisnya. Oh ya, preman-preman penolak tadi juga ikut nyantri di Tebuireng.

Hingga pada suatu saat, 1926, NU didirikan. K.H Hasyim As’yari menjadi Rois Akbar pertama. Lantaran berada di desa dan kental dengan kehiduapan kebudayaan Jawa, NU muncul berorientasi pada kehidupan sosial-budaya masyatakat.

Jadi sudah jelas bahwa perbedaan hanya pada cara berdakwah, bukan muatan dakwah. Bahkan, di dalam film ini dapat kita saksikan kedua organisasi ini, NU dan Muhammadiyah, saling bahu membahu mendongkel Belanda dari Indonesia. 

Baca Juga:  Menyusuri Jalan Pemahaman sebelum Membuka Pintu Filsafat

Hal ini bisa kita saksikan, ketika Resolusi Jihad berisi “Berperang melawan penjajah itu fardhu ‘ain bagi yang berada dalam radius 94 KM dari tempat kedudukan musuh”, diserukan K.H Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 pada pertemuan ulama-ulama NU seluruh Jawa dan Madura di Surabaya menjadi saksi. Seruan itu, selain terdengar di seluruh Jawa Timur, juga terdengar hingga ke Yogyakarta, sehingga pemuda Muhammadiyah, Hisbul Wathan, di Yogyakarta pun ikut mendukung Resolusi Jihad itu.

Sehingga, tanpa adanya kedua organisasi itu, khusus dua ulama tersebut, Indonesia mungkin tidak seperti saat ini.

Yes, film yang membongkar kehidupan dua tokoh penting dari dua organisasi Islam terbesar itu bakal memulul telak segala pertengkaran kita selama ini. Termasuk ‘pertengkaran’ akhir-akhir ini di Yogyakarta: penolakan pengajian akbar peringatan Hari Lahir atau Harlah Nahdlatul Ulama ke-94 yang bakal dihelat di Masjid Gedhe Kauman Kota Yogyakarta, Kamis, 5 Maret 2020. Atas dasar sentimen dan soal eksistensi organisasi, kedua organisasi itu meski bersitegang. Meski akhirnya diputuskan acara Harlah dihelat di Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta.

Film Jejak Langkah 2 Ulama dengan Executive Producer Pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang K.H Salahuddin Wahid tidak akan diputar di gedung bioskop. Film yang bercerita tentang pendiri NU dan Muhammadiyah itu menghindari jalur komersial sebagaimana yang ditempuh film The Santri (Jatimplus.id, 2019). Terlebih lagi, menurut saya, film ini mesti diasong atau diputar di dusun-dusun hingga gang-gang sempit. Sebab, sekali lagi, film ini penting ditonton warga negara. Yes, tidak lagi ada pertengkaran-pertengkaran yang mestinya tidak terjadi. Sehingga, kehangatan bernegara dapat diwujudkan. Terlebih lagi, persatuan NU dan Muhammadiyah dalam upaya mendongkel Belanda dari Indonesia menjadi contoh yang baik. Sebab, jika dulu musuh bangsa adalah Kolonial Belanda, saat ini musuh bangsa adalah bangsa kita sendiri: oligarki dan korporasi yang menyengsarakan rakyat. Maka, sudah saatnya NU dan Muhammadiyah kembali untuk bahu membahu menciptakan kehidupan berbangsa yang tidak ada kesengsaraan, keadilan terus beredar  dan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan.

Di tengah ketegangan dan kesedihan film ini, kita akan digelitik oleh lakon bernama Plorok. Lakon yang menyerupai sifat dan bentuk Bagong ini muncul dengan membawa kentongan dan bersyair kocak, namun bermakna. Aih, saya lupa syairnya. Intinya, syair tentang kehidupan dan kewaspadaan.

Untuk mengunci sepotong esai apresiasi bernama resensi ini, terlepas dari kelebihan dari film ini, saya agak terganggu dengan penggunaan Bahasa Indonesia untuk subtitle  yangserampangan sepanjang film ini. Kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar seperti diabaikan.

Penulis : Adil

Persma Poros
Menyibak Realita