Kaki Kiri Parno

Loading

Bapak bilang, hanya kaki kiri Parno yang bisa dibawa pulang dari kandang penawan. Sebab, mereka menaruh dendam dengan orang-orang seperti Kangmas. Para penawan itu membuat riuh kampung kami sejak seminggu yang lalu. Kedatangan mereka membuat sama sekali tak berani bergidik sedikit pun. Kalau dulu orang-orang sangat terhibur melihat gertak-gertakan kaki di pendopo, kini akan bergidik ngeri kalau jam tiga malam mendengar suara derap langkah kaki yang melewati rumah penduduk.

Akan lebih ngilu lagi, kalau suara berderap tadi pulang dengan tertawa cekikikan, sedang orang yang dibawa menangis kesakitan atau memohon-mohon ampun. Ya, tak ada lagi pendopo yang ramai dengan tari-tarian atau pertunjukan ketoprak yang sudah terkenal hingga tersiar di radio.

Sejak kejadian itu, rumah-rumah penduduk enggan memasang atribut apapun di rumah. Entah pigura orang nomor satu, bendera kebangsaan, bendera partai, atau pun hal yang berbau negara, karena membuat penduduk tak berani bergidik.

Rumahku juga begitu. Tak ada lagi pigura-pigura yang sengaja digantung oleh bapak. Selepas kabar penyergap itu datang di kampung, Bapak buru-buru membakar benda-benda itu sampai tersisa abunya saja. Sprei, baju, atau apapun pemberian orang-orang pendopo ikut Bapak kubur di dapur. Caranya, ia membuat lubang di tanah merah, lalu menutupnya dengan ubin baru.

Dengar-dengar dari obrolan tetangga saat siang hari, mereka sudah mengubur atau menyembunyikan pigura orang nomor satu yang dulu dipuja-puja sebagai penyelamat negeri dari kaum kolonial. Mereka juga kecewa, sama seperti keluargaku. Rupanya, tak ada yang bisa dipercaya oleh orang kecil. Sebab, kami merasa diperdaya oleh kekuatan orang besar. Kalau kami sedang bercakap, pembuangan pigura mau pun benda yang serba kemerah-merahan selalu menjadi topik utama.

“Eh, mau ke mana?”

“Rumah, Pak.”

“Oh, aku kira ke mana, aku sudah nggak nyimpan, loh.”

“Aku juga enggak, loh.”

Baca Juga:  Nasihat Hardi

“Ya udah, berarti kita sama-sama aman ya, Pak, Bu. Kalau mereka datang nggak ada yang saling melempar.”

“Iya, iya setuju.”

Percakapan itu kudengar dari empat suara yang berlainan dari balik dinding jendela kamar yang sedikit menganga. Sebetulnya, aku tak tahu pasti kenapa orang-orang menjadi saling curiga. Sedikit-sedikit ditanya, mau ke mana? Atau, barang apa yang dibawa? Barangkali karena umurku waktu itu belum genap sepuluh tahun.

Pernah juga aku takut, ngeri sengeri-ngerinya ketika melihat Bapak lari terbirit-birit memasuki rumah. Tak lama setelah itu, tiga orang berpakaian loreng tiba di depan teras rumah. Mereka nyelonong menggeledah seisi kamar Kangmas juga seisi rumah. Katanya, mereka ingin mencari tahu siapa Parno, pemuda yang dianggap bocah ingusan oleh penawan.

Memang mereka itu siapa? Tidak kenal tapi bludas-bludus di rumah orang. Ibu dan bapak sama sekali tidak ada perlawanan. Sempat aku tanya ke bapak, “Mereka ini siapa? Ayo lawan, Pak, ayo!” Bapak hanya melirik ke arahku sambil mendekatkan satu telunjuknya ke arah bibir, lalu berbisik, “Penawan, Nduk, diem dulu, ya.”

Sebelumnya, aku tak pernah mendengar penawan. Tetapi, merekalah penyebab seluruh warga menjadi gaduh dan ketakutan setiap hari. Itu terhitung setelah tersiar di radio tentang peristiwa pembantaian yang dilakukan oknum merah. Para penawan tak tahu banyak mengenai Kangmas, karena itu Bapak menceritakan tentang dia. Berharap agar mereka membalikkan Kangmas yang tidak tahu apa-apa tentang partai atau antek-antek merah.

Tentang Kangmas, aku kerap menonton pertunjukan tari yang dimainkannya. Tariannya maskulin, sampai banyak orang bersorak-sorak memuji dirinya. Setelah lama menekuni tari, Kangmas ditarik Mbah Dim agar menambah kemampuannya untuk bermain sandiwara. Ya, benar saja, pemuda yang berpostur gagah dan berkulit kuning langsat itu kemudian selalu menjadi pemain utama dalam setiap pertunjukan.

Dengar-dengar lagi, dari cerita Kangmas di rumah, ia dibayar karena penampilannya yang memukau. Katanya, Kangmas penyeni handal yang mewarisi kepiawaian dan relasi Mbah Dim.

Baca Juga:  Permen Kapas

Terakhir, Kangmas main ketoprak tidak sampai tuntas. Pasalnya, para penawan tiba-tiba datang mengobrak-abrik pendopo. Sebab, orang-orang pendopo terindikasi akan melakukan perlawanan pada negara. Kumpulan orang pendopo disebut orang sok nyeni yang berhubungan dengan partai merah. Tak heran, para penawan berkemeja loreng menyikat siapa saja yang hadir di pendopo. Termasuk Kangmas.

Tidak hanya Kangmas yang diberangus oleh penawan berbaju loreng, tetapi teman-teman seusianya yang lain ikut dibawa paksa oleh mereka. Kangmas tidak bisa lari dari kejaran penawan. Sebab, Kangmas sedang memainkan sendra tari bersama teman-temannya yang lain.

Berbeda dengan pemain sendra tari, mereka yang hadir untuk sekadar menonton berhasil kabur dari kejaran orang-orang berbaju loreng. Termasuk bapak dan beberapa tetangga di sini. Sebetulnya, aku tak habis pikir, energi apa yang membuat bapak bisa lari dengan sigap dan mengabari warga agar segera berlindung.

Jangkrik! Penawan datang, penawan datang!”

“Pendopo diobrak-abrik, copoti abange, copoti!”

Begitu Bapak berlarian hingga sampai ke rumah, ia segera menyambar pacul dan palu untuk menggali lubang.

“Pak, untuk apa?” Aku bertanya dengan lugu pada Bapak.

Sik, Sri bantuin bapak dulu yang penting.”

Tak ada lagi hiasan keberanian atau simbol penghargaan pada orang nomor satu di dinding-dinding rumahku juga rumah penduduk kampung Sembiri yang lain. Tak terhitung berapa kali penawan datang ke kampung, entah untuk mencari barang, orang, atau pun mencari informasi.

Tetapi, jelas bahwa siapapun yang ingin mengunjungi saudaranya yang hilang, hanya diijinkan satu kali berkunjung ke sel penjara. Ya, Bapak sempat mengunjungi Kangmas, sebelum akhirnya membawa kaki kiri yang mengucur darah segar.

Katanya, yang tersisa dari Kangmas hanyalah kaki kirinya, sebagai tanda dendam bagi orang yang dicap kiri. Sejak saat itu, kaki Kangmas dikubur di tanah merah di bawah dipan kamar Kangmas sendiri. Kata Bapak, Kangmas masih di sini, untuk tetap dikenang dan didoakan.

Penulis : Febi Nurul Safitri

Editor : Kun Anis

Ilustrator : Halim

Persma Poros
Menyibak Realita