Kepanasan hingga Kehujanan, Massa Aksi Tuntut Masalah HAM Dituntaskan

Loading

Persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi pekerjaan rumah serius bagi negara-negara di dunia. Sampai saat ini, pelanggaran HAM belum bisa dirampungkan, khususon di Indonesia. Sebagai bentuk pengakuan terhadap HAM, setiap 10 Desember diperingati sebagai Hari HAM Internasional.

Disadur dari Kompas.com, peringatan hari HAM Internasional dimulai sejak 1950 saat Rapat Pleno ke-317 Majelis Umum pada 4 Desember 1950. Saat itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan Resolusi 423 (V) dan mengundang semua negara anggota dan organisasi lain menetapkan itu.

Adapun 30 Hak-Hak Asasi Manusia yang ditetapkan, di antaranya: 1) Hak memperoleh kemerdekaan dan martabat yang sama; 2) Hak persamaan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran atau pun kedudukan lain; 3) Hak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu; 4) Hak untuk tidak diperbudak; 5) Hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam atau tidak manusiawi; 6) Hak pengakuan atas hukum sebagai manusia pribadi; 7) Hak memperoleh perlindungan hukum yang sama tanpa ada diskriminasi; 8) Hak pemulihan atas tindakan yang melanggar hak dasar; dan lain sebagainya.

Aliansi Massa Rakyat Peduli HAM (AMPUH) Yogyakarta dalam memperingati Hari HAM Internasional ke-71 melakukan aksi dengan tajuk “Bangun Persatuan Demokrasi Rakyat Tertindas, Hancurkan Imperialisme, dan Rezim Pelanggar HAM Jokowi-Ma’ruf.”

Siang hari, di sekitar parkiran Abu Bakar Ali terasa panas. Pukul 12.00 WIB pelan namun pasti massa aksi mulai berdatangan membawa bendera dan atribut demonstrasi. Dalam aliansi ini terdapat sekitar 50 organisasi mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), aktivis mahasiswa, dan berbagai elemen masyarakat lainnya yang turut berdemonstrasi.

Meski dijadwalkan pukul 12.00, massa aksi baru memulai longmarch pukul 14.36. Pada Selasa Wage dalam hitungan Jawa, massa aksi melakukan longmarch dari Parkiran Abu Bakar Ali melewati Jalan Mataram untuk singgah di depan Kantor Gubernur dan berakhir di perempatan Gondomanan.Hal itu dikarenakan sepanjang Jalan Malioboro digunakan untuk agenda kebudayaan.

Massa aksi berjalan dipimpin mobil komando bak terbuka dengan dua pelantang menganga di kepala mobil. Sembari berjalan, massa aksi bergiliran melakukan orasi politiknya di atas mobil komando. “Hidup mahasiswa, hidup rakyat, hidup petani!” Begitulah orator memulai orasinya. Sementara itu, massa aksi menguntit di belakang gegongi orator. Jika orator berteriak “Hidup mahasiswa!”, massa aksi di belakang ikut meneriakan “Hidup!”

Panas menyengat kepala dan sekujur tubuh massa aksi. Meski demikian, mereka tetap antusias dan berkali-kali memekikkan suara mengikuti aba-aba orator atau koordinator lapangan sekaligus memajang poster-poster bertuliskan protes kepada pengguna jalan. Setengah perjalanan, hampir 30 menit, massa aksi sampai di depan Kantor Gubernur DIY berbarengan dengan dikumandangkan ikamah salat Asar.

Saya yang sempat mendahului massa aksi di depan kantor Gubernur, melihat dengan kedua mata sendiri aparat kepolisian beserta Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang semula duduk di gazebo samping gerbang, bergegas menutup gerbang berwarna hijau itu ketika suara orasi mahasiswa sampai di telinga mereka.

Baca Juga:  Gema Pakti Berjuang untuk Regenerasi Penghayat Kepercayaan

“Lawan pelanggaran HAM. Bangun persatuan demokrasi rakyat tertindas. Hancurkan imperialisme dan rezim pelanggar HAM Jokowi-Ma’ruf.” Demikian tulisan yang dipegang tiga orang yang berada di depan mobil komando mendekati kantor Gubernur DIY. Di belakangnya, bendera warna-warni terus dikibarkan massa aksi.

Tepat di depan Kantor Gubernur DIY, mobil komando diparkir menghadap ke kantor beserta dua pelantang di atasnya. Bergiliran massa aksi berorasi. Memekik dan mengepalkan tangan.

“Hidup mahasiswa. Hidup rakyat miskin kota. Hidup rakyat. Salam Demokrasi!” Begitu salah satu massa aksi memulai orasinya.

Setelah itu, orator masuk ke poin yang ingin disampaikan. Hasil pantauan saya selama di depan kantor Gubernur DIY, orator berorasi menyinggung pelanggaran HAM di Indonesia yang tidak pernah tuntas, baik pelanggaran HAM masa lalu maupun saat ini. Deputi Koordinasi KontraS, Feri Kusuma menilai, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla periode 2014-2019 telah gagal dan ingkar janji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.

Padahal, janji-janji Jokowi itu bahkan tertuang dalam nawacita yang berkomitmen secara adil menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Saat pemerintahan Jokowi –JK, pelanggaran HAM justru semakin masif.

Disadur dari Tempo.co, Komnas HAM juga mencacat sekaligus menggarisbawahi persoalan pelanggaran HAM yang tidak dapat dirampungkan Jokowi-JK. Adapun rinciannya sebagai berikut:

1. Penuntasan HAM berat masa lalu, seperti peristiwa penembak misterius atau Petrus yang terjadi tahun 1982 sampai 1985. Selain itu, penghilangan aktivis pada masa Orde Baru tahun 1997-1998, tragedi Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, Talangsari, dan kerusuhan Mei 1998.  Ada lagi, yaitu peristiwa Wasior Wamena pada 2002-2003. Komnas HAM juga menambahkan  tiga berkas pelanggaran HAM berat dari Aceh. Komnas HAM menilai ketidakjelasan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini adalah bentuk pengingkaran terhadap keadilan.

2. Kasus pelanggaran HAM pada sektor agraria dan sumber daya alam. Selama pemerintahan Jokowi-JK menimbulkan banyak korban, di antaranya adalah 41 orang diduga tewas, 546 dianiaya, dan 51 orang tertembak.

3. Kasus pelanggaran HAM intoleransi dan  kebebasan berekspresi juga mencuat era Jokowi. Empat tahun pemerintahan Jokowi, terdapat catatan penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Lombok Timur. Penyerangan Ahmadiyah ini terjadi pada 19-20 Mei 2018. Akibatnya, 24 orang yang masuk golongan Ahmadiyah di Desa Gereneng mengungsi. Sebab, rumah mereka rusak setelah sejumlah orang merusak rumah mereka. Selain itu, kasus-kasus pelanggaran di Papua sampai saat ini masih terjadi.

Salah satu orator bernama Wahyu saat ditemui reporter Poros mengatakan, dirinya tidak percaya pada pemerintahan Jokowi untuk menuntaskan pelanggaran HAM. Sebab, menurutnya HAM tidak menjadi arus utama dalam pemerintahan Jokowi, yang dikejar investasi dan insfrastruktur.

Baca Juga:  Bangun Budaya Baca, Perpustakaan UAD Beri Penghargaan Mahasiswa

Selain itu, aktivis Indonesian Court Monitoring (ICM) ini juga mengatakan kekesalannya pada Mahfud MD saat peringatan Hari HAM Sedunia yang diselenggarakan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) di Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Selasa (10/12), Mahfud mengklaim jika pelanggaran HAM dari pemerintah sudah nihil sejak era reformasi.

“Seorang Prof. Mahfud MD berkata begitu,” ujarnya tak menyangka.

Orator lain juga menilai rezim pemerintahan Jokowi-Ma’ruf adalah rezim antirakyat karena kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan akhir-akhir ini tidak berpihak kepada rakyat. Orator mencontohkan dengan adanya wacana penghapusan Analisis Dampak Lingkungan.

Sembari mengamati massa aksi berpanas-panasan dan berteriak-teriak, saya melihat polisi wanita berambut sebahu dan memiliki tahi lalat di bibirnya bermain balancing scooter yang sebelumnya dinaiki polisi pria.  “Foto, foto,” ujar polisi wanita sembari tangannya telentang.

Di balik pagar yang ditutup aparat tadi, terlihat dari kejauhan berjejer sepuluh polisi dan satu petugas Dinas Perhubungan yang menempel di pagar.

Kembali pandangan saya tertuju pada pelajar yang berorasi. Pelajar bercelana abu-abu itu mengatakan, jika tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi kawannya tidak mendapatkan pendidikan dan tidak sekolah. “Apakah itu adil kawan-kawan?” tanya pelajar itu menutup orasinya.

Terus bergiliran orasi demi orasi dikumandangkan di depan Gedung Gubernur DIY. Hingga pukul 15.56, massa aksi mulai menuju ke perempatan Gondomanan. Masih seperti sebelumnya, bahwa selama perjalanan massa aksi berorasi.

“Untuk melawan dan mengingatkan segala kebijkan fasis di rezim Jokowi-Ma’ruf,” pekik orator.

Pukul 16.28,  massa aksi sampai di perempatan Gondomanan. Macet tidak bisa dielakkan. Jalan Mayor Suryotomo sempat mati. Bus, mobil pribadi, tukang becak kayuh maupun motor, ikut terjebak macet. Panas sore itu membuat suasana semakin tegang pula. Dari pantauan saya, sempat ada adu dorong antara massa aksi dengan aparat kepolisian sampai beberapa terjatuh. Massa aksi dan polisi saling tuding. Koordinator dari atas mobil komando memberikan instruksi jika massa aksi jangan terprovokasi dan harus satu komando.

Akan tetapi, klakson-klakson semakin riuh membuat suara orator tertimbun. Keriuhan klakson tersebut dikarenakan ada polisi menginstruksikan kepada pengguna jalan untuk membunyikan klakson. “Nyalakan klakson, nyalakan klakson,” ujar polisi sembari memeragakan menekan tombol klakson.

Tidak sampai satu jam, kemacetan mulai terurai. Massa aksi mulai duduk melingkar di tengah jalan. Menyimak dan mengikuti aba-aba orator. Tampaknya, panas sore itu tidak berlangsung lama. Dari arah utara, mendung mulai menghitamkan awan. Sudah tidak lagi panas sore itu dan orator tetap berorasi, massa aksi tetap menyimak, dan pengendara tetap dengan kemacetan. Sesekali pengguna jalan yang melintas mengambil gambar dan video dari gawai mereka.

Kembali orasi dilanjutkan. Salah satu orator yang berasal dari Papua mengatakan, jika di tanah Papua tidak ada HAM dan demokrasi. Hal ini berasal dari operasi militer terhadap bangsa West Papua 1962. Ia juga menilai, pemerintah malah menambah penderitaan warga Papua dengan mengirimkan ribuan aparat.

Pukul 17.22 saat itu, gerimis mulai turun dari langit. Massa aksi berdiri dan merapikan baju sekaligus celana mereka. Tidak lama, hujan datang, keroyokan. Massa aksi ada yang bertahan dan ada pula yang berteduh. Di bawah hujan sore itu, orasi tetap dilanjutkan. Adapun massa aksi lain meloncat-loncat, berputar-putar main air hujan.

 Hingga pukul 17.40, pembacaan pernyataan sikap dari AMPUH dimulai. Namun, di tengah pembacaan, mesin pelantang mati. Pembacaan pernyataan sikap tetap dilanjutkan hingga tuntas. Sampai pada akhirnya, aksi memperingati Hari HAM Internasional pun ditutup.

“Wasalamualaikum warahmatullahi wabakatuh,” tutup massa aksi yang berdiri di atas mobil komando sembari memegang pelantang berwarna merah.

Penulis: Adil

Penyunting: Yosi

Persma Poros
Menyibak Realita