Ketidaksetaraan Gender Masih Terjadi di kampus

Loading

Apakah kalian merasa bahwa agama sedang ditunggangi oleh kepentingan sepihak?

Akhir-akhir ini, banyak sekali kejadian yang tercuar di media massa ihwal peristiwa yang disambung-sambungkan dengan agama. Ya, memang boleh kalau agama dijadikan sebagai patokan atau alat kontrol untuk segala tindak laku. Tetapi, akhir-akhir ini, agama malah ditunggangi oleh kepentingan sepihak, baik politik, patriarkis gender, bahkan bisnis.

Beberapa hari lalu, ramai di kanal Twitter dan Instagram mengenai unggahan foto birokrasi kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di salah satu kampus di Jakarta. Unggahan tersebut jadi ramai diperbincangkan karena wajah para perempuan pengurus BEM  diblur atau diganti animasi. Kita terang-terangan bisa melihat menggunakan mata telanjang bahwasanya hal tersebut merupakan segregasi pihak perempuan.

Kontras dengan hal di atas, para pengurus laki-laki justru terlihat jelas mengenakan setelan pakaian yang necis berhiaskan senyum sumringah. Bak melambangkan semangat dan kebebasan dalam dirinya. Bahkan, terselip arti bahwa kaum lelakilah yang berkuasa; kuat; menjadi pemimpin.

Sedangkan kaum ukhti, sebutan perempuan di media massa yang diserap dari bahasa Arab, malah diblur bahkan diganti dengan animasi. Sungguh tega bukan? Padahal mereka ingin tampil sebagai perempuan dengan berpenampilan apik dan necis juga sama dengan kaum laki-laki.

Disadur dari kanal website suara.com bahwa organisasi tersebut menampik pembluran foto perempuan dan meluruskan bahwa yang terjadi terhadap foto perempuan tersebut adalah penurunan opacity pada foto, bukan memblurkan. Saya agak tergelitik malah membaca pernyataan tersebut.

Bagaimana tidak, maksudnya apa coba menurunkan opacity foto perempuan? Kalau niatnya emang karena aurat, lalu jalan ninja yang ditempuh adalah dengan cara tak wajar, yaitu menurunkan opacity-nya. Ya masih kelihatan toh bentuk perempuannya? Kentara sekali, bukan? Bahwa memang hal tersebut dilakukan ialah untuk menghilangkan eksistensi kaum perempuan di dalam sebuah organisasi mahasiswa.

Pun pernyataan lain yang dipaparkan suara.com ialah hal tersebut juga terjadi berkat kesepakatan antara pihak perempuan dengan seluruh anggota organisasi dikarenakan permintaan sang perempuan.

Baca Juga:  Enigma Tukang Recok Abadi

Namun, menurut laman vice.com hal tersebut juga merupakan tradisi turun temurun dari kampus “ternama” tersebut untuk memblur atau menurunkan opacity foto dan menggantikan foto perempuan dengan animasi. Apakah kalian merasakan atau memikirkan sesuatu yang ganjal mengenai persoalan ini?

Duduk persoalan di salah satu kampus negeri di bilangan Jakarta ini pasti ada alasan spesifiknya selain kesepakatan bersama di dalam organisasi tersebut. Entah memang dari dulunya kaum perempuan di kampus tersebut memang sudah terpinggirkan sehingga membuat kaum perempuan beranggapan bahwa ya sudah pasrah bahwa foto mereka tidak paralel dengan kaum laki-laki karena sudah turun-temurun.

Kalau kisahnya seperti itu, bisa dibilang memang segregasi dan penghilangan eksistensi dari perempuan memang masih bertebaran di kampus. Sehingga, kaum perempuan menjadikan agama sebagai alat dan dalih untuk menyelamatkan mereka dari dinasti perempuan yang dimarginalkan dalam sebuah organisasi mahasiswa.

Kalau pun memang iya hal tersebut beralaskan karena kesepakatan bersama, ya berarti memang benar bahwa kampus tersebut sudah memiliki dinasti penyingkiran, menghilangkan eksistensi, dan segregasi terhadap kaum perempuan dalam organisasi dengan agama sebagai tunggangannya.

Kenapa masih ada saja intervensi dalam otoritas tubuh perempuan? Apakah memang patriarkis belum khatam di kampus? Melihat kejadian seperti itu, maknanya kita harus menilai sesuatu itu dari berbagai sudut pandang yang jelas, konkret, dan jangan setengah-setengah. Lihatlah kontekstualnya, misal, di mana harusnya suatu dalil atau hukum dapat diterapkan, dipergunakan, dan dijalankan. Jangan pukul rata semua adalah hal sama dan mempunyai parameter yang sama pula.

Biasanya,  dalih wajah adalah aurat bagi seorang perempuan lah yang melatarbelakangi  foto mereka diblur atau diturunkan opacitynya dan digantikan animasi. Takut jika nanti kalau fotonya disimpan oknum akan menjadi dosa jariyah bagi sang perempuan.  Oke, dengan dalih begitu memang banyak wanita yang memilih menggunakan cadar bahkan niqab untuk menjaga “martabatnya”.

Baca Juga:  Membongkar Fenomena Klitih di Yogyakarta

Tapi, alih-alih menjaga martabat, kaum perempuan yang seluruh tubuhnya dibalut kain untuk menutup auratnya malah dibilang teroris dan ikut aliran ini-itu, lah. Jadi, perempuan kudu piye? Bahwa pikiran laki-laki sendirilah yang membuat semua jadi salah kaprah. Foto dengan setelan baju dan jilbab yang rapi malah diblur, giliran foto menggunakan cadar dan niqab dibilang teroris. Sudah gitu masih saja menyalahkan perempuan sebagai sumber kemaksiatan?

Ayo kita telisik lagi deh. Lah yha, Berarti kan yang menyimpan foto-foto ukhti tadi untuk hal yang tidak seharusnya dan malah menjadi dosa jariyahnya ya para lelaki, toh? Oke deh, kalau tidak mau disalahkan kita pakai analogi premis yang lain. Contoh, laki-laki bisa saja kok memiliki dosa jariyah layaknya perempuan yang mengumbar wajahnya di foto dan di publikasikan di media sosial.

Yaitu, foto laki-laki yang disimpan perempuan dan dipandangi terus olehnya, hal tersebut sudah bisa dikatakan sebagai dosa jariyah, kan? Jika memang yang dijadikan parameter untuk mengeblurkan foto. Kalau memang gitu, ya sekalian saja semua foto, baik laki-laki maupun perempuan dibikin animasi saja biar tidak ada kemaksiatan di antara kita semua.

Gitu, kok bilangnya untuk menjaga martabat seorang perempuan? Di mana letak menjaganya, ya? Mungkin mereka menganggap bahwa perempuan itu lemah dan mudah ditipu daya, ya? Sehingga, mereka dengan seenak jidat merendahkan perempuan dan mengganggap bahwa merekalah yang patut menjadi contoh; acuan; pemimpin. Tetapi, saya tahu bahwa itu adalah pemikiran cetek ala laki-laki yang tidak mengerti apa itu gender equality, halusnya lagi bisa saja saya sebut dengan terminologi “oknum”.

Namun, bisa kita lihat baru-baru ini bahwa unggahan terbaru di kanal Instagram dari organisasi mahasiswa tersebut memperlihatkan seluruh anggotanya, baik perempuan maupun laki-laki tanpa ada yang di ‘sensor’. Syukurlah, mungkin karena beritanya sudah banyak mencuat di media massa dan banyak yang mencerca, terlebih lagi untuk menjaga nama baik kampus hal itu pun dilakukan.

Melihat masih terjadinya atau bahkan masih maraknya patriarki, menunggangi agama dengan kepentingan sepihak, bahkan menjaga nama baik kampus. Jadi, apakah kampus sekarang ini sudah diakatakan merdeka? Atau kita memang harus merestorasi lagi kampus yang layak disebut sebagai kampus yang merdeka? Silakan kalian memilih, karena hidup ini adalah pilihan. Hiyahh hiyahh~~

Penulis : Wanda

Editor : Yosi

Persma Poros
Menyibak Realita