Konektivitas SDM dengan Lemahnya Perekonomian Indonesia

Loading

Peran Sumber Daya Manusia (SDM) sangat penting untuk memajukan perekonomian suatu negara.  Sebab, majunya suatu negara tergantung dari kualitas SDM-nya. Melemahnya SDM terjadi karena kurang adanya kesadaran dari manusia itu sendiri. Jika hal ini terjadi di Indonesia, akan membuat ekonomi negara menjadi terhambat. Selain itu, politik di negara ini yang tidak berfungsi secara optimal dalam persoalan ini.

Dari data yang dikeluarkan oleh Bank Dunia bahwa pada tahun 2018 kualitas SDM di Indonesia berada di peringkat 87 dari 157 negara. Ditambah lagi dengan masalah ekspor impor. Rendahnya ekspor dan tingginya impor ini menjadi salah satu penyebab melemahnya kondisi perekonomian Indonesia. Pemerintah hingga saat ini belum mendapatkan solusi terbaik untuk masalah ini, ditambah lagi dengan perilaku dan sikap masyarakat yang seakan tidak peduli dengan gentingnya permasalahan ini.

Di era industri 4.0 teknologi merupakan hal yang sangat krusial. Pemanfaatan teknologi ini akan berjalan baik sejalan dengan unggulnya kualitas SDM suatu negara. Adapun kurangnya kualitas pendidikan adalah salah satu batu yang menghalang bergeraknya revolusi industri di negeri yang kita cintai ini.

Pendidikan adalah organ vital yang akan berdampak pada kesuksesan dan unggulnya SDM di suatu negara. SDM yang bermutu akan melahirkan terobosan-terobosan baru pula dalam pengembangkan sektor ekonomi bangsa. Teknologi yang akan menjadi dua mata pisau bagi bangsa, akan dapat dikendalikan oleh anak-anak negeri jika kapasitas mereka pantas untuk mengelola teknologi dalam memajukan ekonomi.

Pentingnya peran pemerintah untuk lebih sering menyerukan diri dalam hal pembenaran sistem pendidikan adalah langkah awal yang harus sesegera mungkin dilakukan. Kemudian, setelah pemupukan SDM yang bermutu telah dilakukan, Indonesia memiliki harapan, agar dapat bersaing di era super power ini.

Baca Juga:  Saatnya Sastra Hadir untuk Merestorasi Kondisi

Dilansir dari cnnindonesia.com, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2019 tumbuh 5 persen, sedangkan pada tahun 2018 tumbuh 5,7 persen. Sehingga, neraca perdaganggan Indonesia tahun 2019 mengalami penurunan. Sementara itu, untuk ekspor industri pengolahan turun 3,51 persen menjadi US$10,85 miliar, sedangkan ekspor pertambangan lainnya naik 13,03 persen menjadi US$2,06 miliar.

Secara kumulatif, nilai ekspor Januari-September 2019 tercatat sebesar US$124,17 miliar. Angkanya menurun dari posisi Januari-September 2018 sebesar US$134,96 miliar.

Dari sisi impor, khusus untuk migas senilai US$1,59 miliar atau turun dari bulan sebelumnya US$1,63 miliar. Sementara itu, impor non migas sebesar US$12,67 miliar atau naik 1,02 persen dari US$12,54 miliar.

Dari data-data di atas, setidaknya dapat ditarik inti yang krusial yang menjadi polemik karena rendahnya tingkat perekonomian negara ini.  Salah satunya adalah Indonesia terlalu banyak melakukan impor barang ketimbang melakukan ekspor. Lantas, apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Hal ini sudah sejak lama terjadi, tetapi di waktu-waktu dekat ini frekuensinya semakin sering dan jumlahnya semakin banyak. Sebagai salah satu contoh adalah tempe yang menjadi makanan khas dan autentik dari Indonesia. Akan tetapi, ternyata dalam pembuatannya tidak murni menggunakan bahan-bahan dasar dari negara ini, melainkan hasil kedelai impor dari negeri Paman Sam yaitu Amerika.

Hal ini tentu tidak akan terjadi jika pemerintah memberi perhatian lebih terhadap petani-petani kedelai di Indonesia sekaligus ikut dalam memberi pembinaan bagi industri-industri rumahan. Tentu, industri-industri rumahan ini akan memberi energi positif kepada masyarakat dalam mengembangkan usaha-usaha rumahan mereka. Paling tidak hal ini dapat membantu membangun perekonomian masyarakat kecil yang sampai saat ini masih banyak yang hidup dalam garis kemiskinan.

Baca Juga:  Badut Teriak Badut: Kritik Terhadap Tulisan Robohnya Demokrasi Kita

Lebih rinci, data dari cnnindonesia.com menunjukkan kenaikan impor non migas terjadi pada barang konsumsi mencapai 3,13 persen menjadi US$1,41 miliar, barang baku/penolong melorot 0,7 persen menjadi US$10,26 miliar, dan barang modal naik 4,8 persen menjadi US$2,59 miliar.

Seharusnya, kita dapat mencontoh negara tetangga seperti Singapura. Singapura adalah negara kecil namun termasuk salah satu negara maju di kawasan Asia Tenggara dan dunia. Singapura menjadi seperti ini karena mereka berhasil beradaptasi dengan kemajuan zaman. Hal ini merupakan bentuk memanfaatkan segala kemajuan di zaman modern dan mengaplikasikannya ke segala sektor, baik ekonomi maupun yang lainnya.

Semestinya, kita sebagai negara yang tergolong memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah dapat memanfaatkan untuk terobosan bagi perekonomian Indonesia dan tidak menutup kemungkinan dunia. Minimnya pemanfaatan sumber daya alam ini bukanlah suatu polemik baru di Indonesia. Masalah ini dirasa sebagai hal yang lumrah adanya dan diketahui hampir seluruh warga negara. Namun, hal ini pula yang selalu menjadi ancaman besar bagi perekonomian negara.

Beberapa resolusi yang baik dilakukan adalah diawali dengan peningkatan kualitas SDM yang dilakukan melalui pendidikan, kepekaan pemerintah agar lebih fokus pada akar-akar permasalahan yang terlihat sederhana tetapi sangat genting. Hal ini dilakukan agar pemerintah tidak selalu melakukan gigantisme dalam pertumbuhan ekonomi, tetapi juga gigantisme dalam kualitas SDM yang dapat bersaing dan membentuk era perekonomian yang lebih terdepan.

Penulis: Liena Windyawati (Mahasiswa Sistem Informasi)

Penyunting: Adil

Persma Poros
Menyibak Realita