Cyntha Hariadi dalam acara Sabtu Buku Virtual menceritakan novelnya berjudul Kokokan Mencari Arumbawangi merupakan novel yang berlatar di Bali. Sebelumnya, Cyntha menceritakan bahwa awalnya ia pindah dari Jakarta ke Bali karena merasa terusik lantaran sawah di Bali, khususnya di Ubud sedikit.
“Ubud yang dulu saya kenal, tidak tidak seperti Ubud sekarang yang terlihat seperti Jakarta Pusat,” ujarnya.
Sabtu (20/03), Klub Buku Narasi kembali mengadakan Sabtu Buku Virtual bertajuk Ruang Kreatif Perempuan dalam Buku yang kali ini dalam rangka meramaikan Hari Perempuan Internasional 2021. Acara itu dipandu oleh Fenty Effendi dan menghadirkan Cyntha Hariadi sebagai pembicara.
Dalam diskusi virtual itu Chynta selaku pembicara membahas novel barunya berjudul Kokokan Mencari Arumbawangi. Novel yang terbit tahun 2020 ini juga masuk dalam nominasi lima karya prosa dan puisi terbaik sebagai buku sastra pilihan Tempo 2020. Meskipun hanya masuk ke dalam nominasi, sebenarnya Cyntha juga tidak menyangka akan hal tersebut. Pasalnya, novel perdananya ini terbit saat masa pandemi berlangsung. Ia menuturkan bahwa saat itu ia hanya bisa pasrah, tetapi tetap memiliki harapan jika bukunya nanti tetap ada yang membaca.
Kemudian, dalam proses penggarapan novel Kokokan Mencari Arumbawangi, Chynta mendapat inspirasi ketika dirinya diajak pergi ke sawah yang ada di dekat tempat tinggalnya. Di sana Cyntha melihat gedung yang terbengkalai, ia tidak yakin apakah itu sebuah hotel atau rumah sakit. Selanjutnya, Cyntha melihat dua anak kecil, yang ia ungkapkan jika ia tidak begitu yakin apakah itu memang dua anak yang tak sengaja muncul di hadapannya atau anak yang muncul dalam imajinasinya. Setelah kemunculan anak, ia pun berpikir akan ada sosok ibu yang mendampingi kedua anak itu. Pertemuan dengan dua anak itu membayang-bayangi Cyntha yang saat itu sedang menulis puisi. Namun, pikiran Cyntha terus menerus terpaku pada dua anak, bangunan, dan gedung yang terbengkalai. Sejak itu, ia memutuskan untuk menulis kisah dua anak kecil ini.
Cyntha menuturkan jika dirinya kemudian berpikir bahwa ia harus menulis fenomena ini agar bisa dibaca oleh anak-anak sekaligus bisa mencintai tanah mereka. Selama ini, menurutnya, anak-anak hanya tahu makanan yang didapatkan dari supermarket, bukan dari tanah. Dalam bukunya, Cyntha menuliskan, “Bahwa sayuran berasal dari sebuah tubuh yang hidup di tanah, bukan di supermarket yang dilabeli harga.”
Usai membahas tentang buku, Fenty Effendi sebagai pemandu acara, mengajukan pertanyaan lain. Pertanyaan ini terkait pentingnya menulis catatan tentang apa yang terlintas di pikiran sebagai ide cerita. Cyntha menanggapi pertanyaan ini dengan membuat pengandaian bahwa ide itu ibaratnya bibit yang ditaruh di tanah, perlu dihujani dan disirami matahari agar tumbuh.
“Harus melakukan riset juga,” ungkapnya.
Lebih lanjut, menurutnya, untuk menjadi pertimbangan apakah sebuah ide perlu adanya penilaian. Penilaian yang digunakan Chynta bisa adalah dengan mengajukan pertanyaan, seperti Jika ide ini dituliskan, apakah memang benar-benar layak untuk dituliskan untuk diri sendiri dan pembaca; apakah sepenting itu harus dituliskan sehingga mengurani waktu tidur; apakah layak untuk menyiksa diri untuk menulis ini.
Acara yang berlangsung sekitar 90 menit itu ditutup dengan foto bersama dan para peserta diminta untuk mengisi kuesioner untuk evaluasi dan masukan terhadap acara Sabtu Buku Virtual.
Penulis: Dilla S. Kinari
Penyunting: Dyah
Menyibak Realita
Leave a Reply