LBH Pers Merespons Kekerasan terhadap Jurnalis dengan Meluncurkan Buku Protokol Keselamatan

Loading

Peluncuran buku Protokol Keselamatan dalam Meliput Isu Kejahatan Lingkungan hasil kerja sama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dengan Kemitraan merupakan respons atas memuncaknya kasus kekerasan pers pada 2020. Berdasarkan hasil riset yang diungkapkan oleh Ade Wahyudin Direktur Eksekutif LBH Pers, kekerasan terhadap jurnalis media arus utama ataupun pers mahasiswa mengalami titik puncaknya pada tahun lalu.

“Tahun 2020 itu mencapai titik kekerasan yang paling banyak setelah reformasi,” tutur Ade (24/3).

Hasil pemantauan LBH Pers dalam lima tahun terakhir (2016-2020), terdapat 413 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang sedang melakukan kerja-kerja pers. Bentuk kekerasan tersebut terdiri dari pengeroyokan, pemukulan, perusakan alat liputan, intimidasi psikis, ancaman serangan digital, hingga kekerasan seksual.

Menurut Ade, beberapa kasus yang ditemui LBH Pers, ada keengganan dari awak media untuk melakukan pembelaan atau menganggap tindakan yang dialami mereka hanya sebatas risiko pekerjaan. Hal itu terjadi karena tidak semua media memberikan perhatian yang sama terhadap jurnalisnya yang mengalami kekerasan.

“Padahal, efeknya itu sangat tidak baik. Efeknya adalah pembiaran terhadap pelaku-pelaku kekerasan sehingga kekerasan terus terulang,” ujar Ade.

Selain memuat edukasi tentang bagaimana seharusnya awak media menghadapi tindakan kekerasan, buku protokol yang ditulis oleh Ratna Ariyanti dan LBH Pers tersebut berisi lima bab pembahasan. Bab 1 menguraikan tentang mempersiapkan peliputan, bab 2 mendeskripsikan tentang keselamatan saat menjalankan tugas, bab 3 menerangkan tentang ancaman digital, bab 4 membahas tentang keselamatan pengerjaan karya jurnalistik, dan bab 5 menjelaskan tentang publikasi.

Kelima bab tersebut sudah memuat aspek hukum Indonesia yang mencakup sengketa pers dan hukum lain yang berkaitan dengan kerja-kerja jurnalistik. Aspek hukum tersebut yang belum ada dalam protokol keselamatan jurnalis yang sudah diterbitkan oleh organisasi internasional. Salah satunya yaitu oraganisasi nonpemerintah internasional yang bergerak di bidang kebebasan pers, Reporters Sans Frontieres (RSF).

Baca Juga:  Beauty Demo di Perpustakaan, Mahasiswa Adakan Dialog Terbuka

Peran Perusahaan Media dalam Menerapkan Protokol Keselamatan

 “Protokol keamanan ini sudah sangat komplet dan kami tunggu-tunggu,” kata Irna Gustiawati Pemimpin Redaksi Liputan6.com sekaligus Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) (24/3).

Irna mengatakan bahwa protokol keselamatan itu penting karena dapat mendorong perusahaan media dan jurnalis untuk melindung jurnalis dalam meliput isu lingkungan. Selama ini, pers mengalami kesenjangan antara peran jurnalis dengan risiko yang mengintai, terutama ketika mengulik isu kejahatan lingkungan.

Acara peluncuran buku protokol yang terlaksana selama dua jam tersebut juga mendiskusikan tentang peran perusahaan media dalam menerapkan protokol yang telah disusun. Tanpa adanya kerja sama antara media sekaligus pemahaman para jurnalis di dalamnya, protokol keselamatan tidak bisa diterapakan secara maksimal.

Protokol keselamatan jurnalis merupakan acuan bagi jurnalis maupun perusahaan media dalam hal perlindungan dan keamanan kegiatan-kegiatan jurnalistik. Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M. Syarif dalam pengantar buku protokol tersebut mengatakan bahwa perlindungan HAM bagi jurnalis merupakan bagian dari upaya penguatan demokrasi. Langkah itu dilakukan supaya dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.

“Kami berharap redaksi dan perusahaan media massa juga memiliki kesadaran untuk menyusun protokol. Redaksi dan perusahaan media massa pun harus terus meningkatkan pelaksanaan protokol keselamatan,” kata Ade dalam akhir pemaparannya.

Penulis            : Yosi Sulastri

Penyunting     : Yusuf