Lingkaran Setan Efek Merokok, Bagaimana Peran Kampus?

Loading

Tren konsumen rokok di Indonesia meningkat. Di sisi lain, para perokok ini juga memiliki kesadaran untuk menghentikan aktivitas negatif yang merusak kesehatan. Namun, alasan candu dan minimnya dukungan dari lingkungan menjadi persoalan.

Ahmad Nursodik (22 tahun) sebenarnya sudah menyadari dan merasakan bahaya dari merokok. Mahasiswa program studi Sistem Informasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) itu sering mengeluh sesak napas, apalagi ketika mengonsumsi rokok secara berlebihan. Terlebih, menurut Ahmad, sejak di bangku sekolah dasar, dia memiliki riwayat radang paru-paru.

Sebelumnya, Ahmad mengaku mulai menjadi perokok aktif ketika menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Kebiasaan merokok itu Ahmad lakukan sejak di bangku SMP bersama teman-teman sebaya.

“Dulu sembunyi-sembunyi, sampai akhirnya kecanduan,” ujar Ahmad kepada reporter Poros pada Sabtu, 21 Januari 2022.

Sama seperti Ahmad, mahasiswi berinisial FA, mengaku menjadi perokok aktif dari rasa penasaran dan coba-coba sejak SMA. Mahasiswi program studi Perbankan Syariah UAD itu, juga menyadari bahaya merokok, tetapi keinginan pribadi untuk menjajal lintingan tembakau itu membuatnya menjadi perokok aktif.

“Tidak ada dorongan dari siapa pun karena kemauan diri sendiri untuk merokok,” katanya melalui pesan singkat pada Sabtu, 14 Januari 2022.

Ahmad dan FA adalah dua dari sekian juta perokok di Indonesia. Hasil survei Global Adults Tobacco Survey (GATS) di tahun 2021 menunjukan jumlah perokok di Indonesia mencapai 70 juta atau 34,5 persen dari keseluruhan penduduk. Dari jumlah ini, mayoritas perokok tembakau adalah laki-laki.

Temuan lain dari GATS juga menunjukan bahwa jumlah perokok di Indonesia mengalami penurunan, tetapi perokok dewasa meningkat hingga 8,8 juta jiwa dalam sepuluh tahun terakhir. Sebanyak 60,3 juta perokok dewasa pada 2011, meningkat menjadi 69,1 juta perokok dewasa pada 2021.

Selain rokok tembakau batangan, hasil survei GATS juga memperlihatkan terdapat 6,3 juta penduduk Indonesia yang menghisap rokok elektrik alias vape. Jumlah ini meroket 10 kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Dulu di tahun 2011 ada 0,3 persen, meningkat hingga 3 persen di tahun 2021.

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UAD, Nurul Kodriati, mengaku terbatas dalam mengobservasi perilaku merokok di lingkungan kampus. Namun sejauh ini dia jarang menemukan mahasiswa yang merokok atau sekadar membuang sisa puntung rokok di lingkungan kampus. Kendati demikian, dia yakin berdasarkan beberapa survei tentang perilaku perokok di Indonesia, ada banyak mahasiswa dan karyawan UAD yang merokok di luar lingkungan kampus.

“Kalau di luar kampus, itu di luar wewenang kami,” kata Nurul saat ditemui di kantornya pada Selasa, 24 Januari 2022.

 

Upaya untuk Berhenti Merokok

Ahmad dan FA, kini sudah sadar kalau aktivitas merokok yang kadung kelewat candu itu ternyata berdampak buruk bagi kesehatan. Ahmad mengaku lebih mudah lelah ketika beraktivitas dan sesak nafas ketika merokok secara berlebihan, apalagi sejak kecil dirinya sudah divonis menderita radang paru-paru. Sementara FA, mengaku mudah lelah ketika berolahraga atau sekadar naik tangga.

“Sudah mulai mengurangi rokok per harinya,” kata FA.

Kini FA juga sudah niat untuk berhenti atau mengurangi konsumsi rokok. Cerita FA, dulu dia bisa menghabiskan dua bungkus rokok per hari, tetapi sekarang hanya satu bungkus untuk tiga hari. Selain itu, FA juga melakukan aktivitas olahraga senam lantai sebagai upaya mengurangi konsumsi rokok.

Selain FA, Ahmad juga punya keinginan untuk berhenti merokok. Selain masalah kesehatan, pengeluaran untuk membeli rokok yang membuat Ahmad kecut. Tiap hari Ahmad harus mengeluarkan uang Rp27 ribu hanya untuk membeli rokok. Kalau diakumulasi dalam seminggu, dia bisa mengeluarkan uang sejumlah Rp189 ribu hanya untuk membeli rokok. Apalagi, cerita Ahmad, uang yang digunakan untuk membeli lintingan tembakau itu masih menggunakan uang dari orang tua. Fenomena ini juga dirasakan oleh FA.

Sementara itu, berdasarkan statistik kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tahun 2022 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, rokok adalah jenis komoditas makanan yang berkontribusi besar terhadap pembentukan garis kemiskinan. Rokok menempati posisi kedua, setelah pengeluaran untuk beras. Di bawah rokok ada daging ayam ras, telur ayam ras, gula pasir, dan cabe rawit.

Baca Juga:  Jabatan Rektor Diperpanjang, Mahasiswa Menuntut

Kemudian, catatan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) tentang Efek Pemiskinan Akibat Konsumsi Tembakau di Indonesia pada 2022, rumah tangga perokok mengalokasikan 11 persen anggaran belanjanya untuk rokok dan sejenisnya. Fenomena ini oleh CISDI dianggap sebagai pengeluaran belanja yang mubazir karena beberapa alasan. Pertama, belanja rokok tidak berpengaruh pada pemenuhan kalori. Kedua, belanja rokok mengalihkan anggaran yang semestinya dapat dibelanjakan untuk kebutuhan bahan pokok lain. Ketiga, belanja rokok berisiko meningkatkan biaya kesehatan dan menurunkan produktivitas.

Selain itu, dalam analisis CISDI, belanja rokok dan biaya kesehatan untuk penyakit akibat rokok menjadi hilang dan tidak diperhitungkan dalam total pengeluaran, alhasil terdapat kemungkinan rumah tangga perokok jatuh ke garis kemiskinan.

Dampak ekonomi inilah yang juga menjadi salah satu alasan perokok untuk berhenti. Ahmad dan FA adalah dua dari 63,4 persen orang yang berniat berhenti merokok dari hasil survei GATS. Kendati, hanya 43,8 persen orang yang sungguh-sungguh melakukan upaya berhenti merokok.

Dosen FKM UAD, Nurul Kodriati, menjelaskan ketika ada seorang yang punya niatan berhenti merokok tidak bisa sepenuhnya langsung 100 persen. Menurutnya, kadang-kadang ada perokok yang sudah berhenti, tetapi sesekali masih mencoba untuk merokok. Oleh karena itu, titik tekannya bukan pada kegagalan berusaha berhenti merokok, tetapi seberapa sering dia ingin berhenti merokok.

“Semakin sering seseorang berusaha berhenti merokok, maka kemungkinan dia untuk benar-benar berhenti merokok itu semakin besar,” terang Nurul.

Kemudian, di kalangan mahasiswa, kegagalan untuk berhenti merokok kerap dilatarbelakangi oleh lingkaran pertemanan mereka. Terkadang, ketika ada salah satu teman ingin berhenti merokok, teman yang lain kerap meremehkan atau merendahkan dengan berbagai ujaran. Karena itu, menurut Nurul, penting sekali menciptakan lingkungan yang kondusif dan sehat bagi mahasiswa yang akan berhenti merokok.

Selain itu, Nurul menjelaskan kalau para calon mantan perokok ini terkadang salah memahami efek pasca mereka berhenti merokok. Efek yang dimaksud, Nurul menyebut sebagai nicotine withdrawal syndrome. Fenomena ini terjadi ketika Karbon dioksida (CO2) mengalir ke otak seorang saat melakukan aktivitas merokok. Kondisi ini kemudian, mengubah struktur kimiawi di otak untuk terbiasa menerima CO2.

“Kebiasaan otak menerima CO2 akhirnya memicu kontraksi ketika O2 (Oksigen-red) mengalir di sana,” kata Nurul.

Oleh karena itu, ketika orang berhenti merokok, mereka cenderung mudah stres atau pusing. Sebab, ketika O2 mengalir, struktur kimiawi di otak harus beradaptasi kembali. Fenomena ini yang sering menjadi kesalahpahaman dari para perokok yang ingin berhenti. Padahal, terang Nurul, apa yang terjadi di otak adalah pembentukan struktur kimiawi yang lebih baik.

Orang yang merokok, terang Nurul, justru lebih rentan stres. Selain masalah nicotine withdrawal syndrome, perokok dan nonperokok ketika dihadapkan dengan tekanan stres yang sama, orang nonperokok akan menganggap biasa. Namun, bagi perokok hal ini menjadi sesuatu yang tidak nyaman, sehingga merokok menjadi pilihannya.

“Jadi efeknya seperti lingkaran setan,” jelas Nurul.

Kendati ada efek berupa nicotine withdrawal syndrom seperti emosi tidak stabil, pusing, insomnia, dll, ketika berhenti merokok, saran Nurul, para perokok harus berupaya lolos pada tahap ini. Aktivitas yang bisa dilakukan untuk mendukung upaya berhenti merokok adalah mencari kegiatan yang lebih positif. Kalau biasanya jemari menggapit rokok, mereka harus mencari kegiatan lain, seperti menulis, melukis, atau melakukan kegiatan yang membuat tangan bergerak. Selain itu, mengomsumsi makanan ringan yang rendah kalori juga bisa menjadi alternatif, agar kebiasaan menghisap asap rokok tergantikan.

 

Kawasan Tanpa Rokok dan Peran Kampus

Tempat proses belajar mengajar seperti kampus, sekolah, balai pendidikan, balai latihan kerja, bimbingan belajar, tempat kurus, dan kawasan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) masuk dalam Kawasan Tanpa Asap Rokok. Selain itu, termuat fasilitas kesehatan, tempat bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat umum, dan tempat kerja yang masuk di dalamnya.

Baca Juga:  Kronologis Pembredelan Pers Mahasiswa Poros

Kawasan Tanpa Rokok atau KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan dan/atau mempromosikan produk tembakau.

Di UAD sudah tegas mengatur tentang kawasan bebas asap rokok. Setidaknya, sejauh ini ada dua aturan yang dijadikan rujukan. Pertama, Peraturan Rektor Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pedoman Kampus Islami pada bagian aspek akhlak. Bagian akhlak poin enam disebutkan bahwa kampus menghimbau untuk menghindari rokok dan penggunaan napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif) di lingkungan kampus.

Jauh sebelum aturan itu, UAD juga pernah menerbitkan Surat Keputusan Rektor Tahun 1999 tentang Tata Tertib Mahasiswa di Kampus UAD. Di aturan ini dijelaskan bahwa mahasiswa dilarang merokok di ruang kelas, ruang praktikum, dan ruang kantor.

Selain itu, Muhammadiyah yang menaungi UAD sebagai salah satu Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah telah mengeluarkan fatwa tentang hukum merokok pada 2010 silam. Setelah menelaah manfaat dan mudarat rokok, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid menilai bahwa merokok secara syariat Islam masuk dalam kategori haram. Bahkan, di tahun 2020, Muhammadiyah juga mengeluarkan fatwa tentang rokok elektrik yang dinilai haram. Fatwa itu tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 01/PER/l.1/2020 tentang Hukum dari e-cigarette (Rokok Elektrik).

Sementara itu, KTR di Indonesia diatur melalui rujukan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2019 tentang Kesehatan, yang mengamanatkan pemerintah daerah wajib mengatur dan menetapkan KTR. Tujuannya untuk mencegah dan mengatasi dampak buruk dari asap rokok. Selain itu, regulasi KTR juga termuat pada Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Kota Yogyakarta juga telah memiliki Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Aturan ini diundangkan pada 20 Maret 2017 yang ditandatangani oleh Walikota Yogyakarta, Pj. Sulistiyo, dan Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta, Titik Sulastri.

Lingkaran Setan Efek Merokok, Bagaimana Peran Kampus?

Rangkaian aturan ini harusnya membantu para perokok untuk segera berhenti. Namun, bagi Ahmad, di lingkungan kampus semestinya tidak sekadar melakukan pelarangan merokok, tetapi menyediakan layanan konseling untuk para mahasiswa atau karyawan UAD yang ingin berhenti merokok. Sebab, pengalaman Ahmad, selain layanan konseling penting, keinginan untuk berhenti itu selalu ada, tetapi sulit harus berbuat seperti apa.

“Kalau ada saya bakal ke sana,” jelas Ahmad.

Sejalan dengan itu, Nurul Kodriati juga menganggap layanan konseling ini penting diadakan. Sebab, bagi Nurul, ketika ada mahasiswa yang ingin berhenti merokok, minimal mereka tahu akan pergi ke mana.

Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UAD, Rusydi Umar, mengatakan belum mengetahui tentang adanya layanan konseling berhenti merokok bagi mahasiswa atau karyawan di UAD. Namun, dia juga mengafirmasi kalau rokok memang punya banyak dampak negatif terhadap kesehatan, waktu, kebersihan, kenyamanan, dan ekonomi.

“Sebaiknya, rokok itu dihindari,” katanya saat ditemui di kantor rektorat pada Rabu, 8 Februari 2022.

Sebagai kampus milik Muhammadiyah, lanjut Rusydi, UAD tidak menyediakan ruang untuk merokok di kampus, karena fatwa Muhammadiyah mengharamkan rokok. Kalau ingin merokok, kata Rusydi, silakan di luar pagar.

“Masa (di UAD-red) dibolehkan?” ujarnya.

Selain itu, dengan tidak adanya ruang untuk merokok di lingkungan kampus, pihak kampus menilai bisa membantu para perokok untuk berhenti. Sebab, kebijakan ini otomatis akan membuat efek psikologis bagi perokok untuk berhenti. Membantu mereka untuk berhenti merokok dengan memberikan lingkup yang sempit, otomatis akan membuat efek psikologis untuk berhenti merokok.

“Karena kita di bawah Muhammadiyah,” katanya.

 

Reporter dan penulis: Adil Al Hasan

Penyunting: Agidio

Ilustrator: Sholichah

Persma Poros
Menyibak Realita