Stop Perdebatan Receh Tentang Mahasiswa Rebahan

Loading

Pernah saya mendengar pernyataan larangan yang berbunyi: Mahasiswa tugasnya belajar, bukan demo! Larangan yang disampaikan oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (MENRISTEKDIKTI) Mohamad Nasir pada tahun 2016 itu menuai kontroversi dari berbagai pihak. Bagi saya pernyataan itu seperti mengekang kebebasan dalam berekspresi dan berpendapat di muka umum. Jika seperti itu saya akan membuat pernyataan juga: tugas mahasiswa bukan belajar, tapi rebahan. Pantaskah?

Awal tahun 2020 ini hari ke hari, pekan ke pekan, pemberitaan media dihiasi dengan pernyataan-pernyataan konyol yang dilontarkan oleh pejabat publik. Mulai dari menteri hingga komisioner. Pelarangan memakai cadar dan celana cingkrang, melawan kemiskinan dengan menikahkan si miskin dan si kaya, dan yang paling menjadi trendi sekaligus absurd adalah pernyataan yang dilontarkan oleh komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tentang berenang bersama pasangan lawan jenis bisa hamil. Oh ya, tidak lupa pernyataan kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tentang salam Pancasila-nya ikut memeriahkan sekaligus melengkapi fenomena unik dan absurd di negeri tercinta ini.

Namun, apa yang mendasari fenomena ini terjadi? Jika dikaji dan dianalisis ulang, kekonyolan ini berangsur dalam rentan waktu yang sangat dekat dan terus menerus. Pemerintah seolah sedang menyembunyikan sesuatu yang genting. Jika bisa saya katakan fenomena konyol sekaligus lucu ini menjadi ajang pengalihan isu seperti kisah klasik lainnya.

Mahasiswa yang konon katanya kaum intelektual sudah seharusnya menjadi agen untuk mengkaji dan memberi penjelasan kepada masyarakat tentang situasi negeri ini sebenarnya sedang ‘kenapa’. Mahasiswa harus lebih teliti dan melihat dari sudut pandang lain untuk menghadapi cara klasik pemerintah memainkan suatu isu. Masyarakat butuh akses transparasi fakta perihal keadaan negara hari ini.

“Ah, ngapain sih ngurusin negara terus, toh tugasnya mahasiswa itu belajar yang benar biar dapat IPK bagus dan membanggakan orang tua, lagian kan kita bayar pakai biaya sendiri bukan negara. Ngapain sibuk-sibuk ngurusin negara apalagi sampai turun ke jalan ikut demonstrasi? Toh, belum tentu pendapat kita ditanggapi oleh pemerintah, kan?” ujar seorang teman saya dalam menanggapi bagaimana mahasiswa harusnya bersikap hari ini.

Keluhan seperti ujaran di atas saya rasa kita cukup, pernah, atau bahkan sering mendengarnya. Di sisi lain, beberapa hal dapat saya benarkan karena memang faktanya seperti itu, namun saya akan balik bertanya. Apakah reformasi yang kita rasakan sekarang buah dari sikap seperti ujaran di atas? Hari ini memang bukan zaman Orde Baru atau Orba lagi, tetapi injustice masih banyak dirasakan, bahkan lebih parah. Reformasi rasa Orba. Selama ketidakadilan masih dirasakan, tugas mahasiswa dan seluruh elemen lapisan masyarakat untuk menumpasnya.

Baca Juga:  Koruptor di Indonesia Sukar Dijerat Hukuman Mati

Greta Thunberg, seorang gadis berusia 17 tahun asal Swedia bahkan rela mengorbankan bangku sekolahnya saat duduk di kelas sembilan sampai pemilihan umum Swedia tahun 2018. Itu semua  demi mengkampanyekan isu-isu terkait pemanasan global dan perubahan iklim. Greta menuntut pemerintah Swedia untuk mengurangi emisi karbon sesuai dengan “Persetujuan Paris”. Setiap hari selama jam sekolah, Greta duduk di luar riksdag atau badan lembaga legislatif nasional dan badan pengambil keputusan tertinggi di Swedia dengan tanda skolstrejk for klimatet (mogok sekolah untuk iklim).

 Setelah pemilihan umum, ia terus melakukan mogok sekolah pada hari Jumat hingga menyita perhatian dunia, dan dia menginspirasi siswa sekolah di seluruh dunia dengan ikut menjadi bagian dalam mogok sekolah. Hingga pada Desember 2018, lebih dari 20.000 siswa telah melakukan pemogokan di sekitar 270 kota. Di bulan yang sama, Majalah Time menyebut Greta sebagai salah satu dari 25 remaja di dunia yang paling berpengaruh tahun 2018 dan beberapa pengharagaan lainnya ia dapatkan atas aksi beraninya.

Kita tidak harus menjadi Greta ataupun manusia hebat berani lainnya, tetaplah menjadi diri sendiri sebagai mahasiswa kaum rebahan yang mampu untuk berpikir kritis. Sebab, hal paling menarik dari rebahan adalah ketika bangkit. Apa yang akan kita lakukan tatkala bangkit, rebahan kembali? Saya harap tidak. Menjadi mahasiswa rebahan itu boleh saja, namun jangan sampai berakar kuadrat.

Sekali lagi, kita tidak perlu menjadi diri orang lain, tetapi kita coba tanya kembali dan merenungkan apa yang sudah kita perbuat di usia yang semakin dewasa ini? Hal apa yang sudah kita lakukan untuk lingkungan sekitar? Jangan sampai orang lain men-judge jika mahasiswa sebagai agent of change benar-benar menjadi agent of rebahan without change.

Kembali lagi, di manakah peran mahasiswa dalam menghadapi kebijakan-kebijakan pemerintah yang hanya mencari keuntungan bagi sebagian kalangan elite? Lalu rakyat menjadi korban atas perjudian kebijakan?

Ada mahasiswa kutu buku dan ada juga mahasiswa yang hobinya turun aksi ke jalan (demonstrasi), dua hal ini sangat kontras jika dilihat, banyak  sekali menuai kontroversi dikalangan mahasiswa sendiri. Seolah-olah saling menyalahkan, dan memperebutkan siapa yang paling benar. Ayolah, Kawan-kawan, hari ini bukan itu yang harus menjadi perdebatan, bukan rebahan atau tidak, siapa yang benar dan siapa yang salah.

Baca Juga:  Konektivitas SDM dengan Lemahnya Perekonomian Indonesia

Fenomena ini pernah disebutkan oleh seorang tokoh pendidikan Brazil dan teoretikus pendidikan, Paulo Freire. Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas, Freire mengatakan jika pendidikan memiliki dua aspek paling penting; aksi dan refleksi. Menurutnya, aksi tanpa refleksi hanya akan menghasilkan aktivisme, dan sebaliknya refleksi tanpa aksi hanya akan menjadi verbalisme. Saya rasa Freire sudah lama menjawab perihal fenomena ini.

Mahasiswa rebahan dan kupu-kupu sering sekali mendapatkan nyinyiran dari teman sejawatnya, seolah-olah mahasiswa seperti ini  tidak mampu bersosialiasi dengan baik. Hal ini pula yang saya rasakan. Saya memang senang rebahan dan selepas perkuliahan saya paling malas untuk hangout atau berkecimpung dalam organisasi. Namun, apakah hal ini salah? Saya akan jawab dengan tegas, tidak! Mahasiswa memiliki caranya tersendiri untuk menjalani perkuliahnya, hal ini tidak semata-mata kaum rebahan dan kupu-kupu dipandang negatif.

Beberapa aksi demonstrasi yang saya ikuti justru banyak pula mahasiswa kaum rebahan turun ke jalan, saya pikir hari ini kita harus sudah mulai melenyapkan perdebatan receh seperti ini, dan lebih menyoroti kepentingan bersama demi berlangsungnya kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Mahasiswa harus menjadi garda terdepan dalam mengawal kebijakan pemerintah.

#gejayanmemanggillagi menjadi trending topik seharian di sosial media, Twitter, dan media online lainnya. Seluruh lapisan mahasiswa meredamkan kepentingan pribadinya demi membela kepentingan bersama yang lebih adil. Aksi demonstrasi seperti ini sudah dijamin dalam konstitusi, dan sudah melalui tahapan kajian akademik. Tugas mahasiswa bukan hanya belajar, tetapi sebagai agen check and balance atas kebijakan pemerintah.

Mengapa sekolah diyakini menjadi sarana satu-satunya mencari ilmu pengetahuan? Mengapa mereka yang tidak mengeyam sekolah dianggap terbelakang? Ya, saya setuju apabila pendidikan menjadi salah satu upaya mulia dalam menumpas kebodohan dan memanusiakan manusia. Benar sesuai apa yang dikatakan Immanuel Kant, manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan.

Akan tetapi, fenomena hari ini berkata lain, fungsi sekolah sudah bergeser dari nilai-nilai keluhurannya tatkala sekolah menjadi komoditas. Pengetahuan dikemas dan dijajakan, sekolah menjadi ruang dehumanisasi atau proses penurunan martabat manusia.

Ivan Illich dalam bukunya Deschooling Society berpendapat bahwa sekolah tak ubahnya seperti jalan tol, siapa yang mampu membayar, maka ia leluasa menikmatinya. Di samping itu, pendidikan hari ini sudah banyak sekali ditunggangi oleh kekuatan politik.

Terakhir, pesan saya, tugas mahasiswa sudah seharusnya menjadi agent of rebahan with change. Bukan hanya mengkhawatirkan nilai mata kuliah, namun yang terpenting adalah lebih mengkhawatirkan mau dibawa ke mana arah negeri ini? Jurang atau nirwana? Semuanya tergantung apa yang kita lakukan hari ini. Masa lalu adalah pembelajaran, hari esok adalah misteri, dan hari ini adalah bonus dari Tuhan untuk berjuang demi kebaikan dan keadilan bersama.

Penulis: Wisnu (magang)

Penyunting: Adil

Persma Poros
Menyibak Realita