Masyarakat Percaya kepada Kerajaan Baru karena Pemerintah Tidak Becus

Loading

Masyarakat Indonesia akhir-akhir ini tampaknya merindukan kehidupan bernegara yang hangat, terjamin sandang, pangan, dan papan. Meski kerinduan itu utopia. Utopia artinya suatu keadaan negara yang hanya indah di dalam pikiran. Asal-usul istilah utopia ini diambil dari buku Sir Thomas More berjudul “Utopia”. Buku fiksi itu menggambarkan dengan gaya satire bahwa ada kehidupan bernegara dan bermasyarakat serba baik tatanan politiknya, struktur sosial, tidak ada kecemasan, kekurangan, bahkan bau pun tidak ada. Pokoknya negara yang paripurna. Sekali lagi, keadaan serba baik itu hanya ada di dalam pikiran. Melalui gagasan Tomas More ini pula ideologi sosialisme muncul, serta memengaruhi kehidupan seorang filsuf sekaligus ekonom dari Jerman: Karl Marx.  

Untuk menguji argumentasi ini saya ajukan beberapa pertanyaan berikut ini: apakah saat ini ada pemimpin yang serius memperjuangkan kesejahteraan rakyat, atau apakah ada pada 2020 ini pemimpin yang tidak menindas rakyat dengan sepatu bernama kekuasaan, atau apakah ada justice yang disirkulasikan pemerintah? Apakah ada pemimpin yang saat ini mengerti falsafah Sri Sultan Hemengkubuwono IX ‘Tahta untuk Rakyat?” Bahkan, apakah saat ini ada pemimpin yang mengerti cerita Hyang Ismoyo menjelma menjadi Kiai Semar dan menciptakan Gareng, Petruk, dan Bagong dilatarbelakangi persoalan dan polemik apa?

Saya jawab dengan telak bahwa hal itu tidak ada. Fenomena bernegara akhir-akhir ini tidak menunjukkan ada semacam pemahaman yang utuh terkait pertanyaan saya di atas.

Kerinduan masyarakat yang tak bertepi untuk berjumpa dengan justice dan kesejahteraan dapat kita saksikan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan munculnya kerajaan baru. Akan tetapi, isu yang menurut Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal Budi Gunawan pihaknya telah lama mendeteksi keberadaan kerajaan-kerajaan baru, tapi malah baru dibuka beberapa pekan kemarin. Beberapa pengamat menilai jika naiknya isu ini sebagai upaya untuk mengalihkan isu, seperti Jiwasraya, Natuna, OTT KPK, dan isu sensitif lainnya.

Di Tasikmalaya muncul Kerajaan Selacau yang konon didirikan generasi kesembilan Raja Surawisesa. Di Jawa Tengah, tepatnya di Purworejo muncul Keraton agung Sejagad. Adapun di Bandung Jawa Barat muncul Sunda Empire. Dari kerjaan-kerjaan yang kemarin muncul ini pun menjanjikan hal-hal yang diharapkan masyarakat saat ini: kebebasan dari malapetaka, perubahan nasib lebih baik, kesejahteraan, dan ingin menguasai dunia

Dari alasan-alasan yang melatarbelakangi munculnya kerajaan-kerjaan ini para akademisi, seperti pengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) Achmad Wahid di dalam artikelnya yang terbit di Koran Kompas (23/01) menuliskan jika fenomena ini sebagai gejala betapa masyarakat kita sedang sakit. Selain itu, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya ini menjelaskan jika peristiwa tersebut terjadi karena tidak efektif pelajaran-pelajaran terkait sejarah di sekolah.

Baca Juga:  Ruang Terbuka Hijau Kota Yogyakarta Belum Saling Terhubung

Selain itu, Guru Besar Fakultas Psikologi UGM prof. Koentjoro, seperti yang diberitakan tirto.id, menjelaskan jika kerajaan-kerajaan ini muncul karena salah dua faktornya adalah persoalan ekonomi dan kurangnya sentuhan kasih sayang orang tua.

Literatur yang saya baca, argumentasi yang muncul sekaligus mengisi wacana publik adalah menyalahkan raja-raja itu dan menempatkan pengikut raja sebagai orang yang kurang pendidikan dan tidak tahu sejarah. Sehingga, saran dari prof. Koentjoro adalah meningkatkan daya kritis masyarakat melalui pendidikan. Ya, perilaku para raja-raja salah, tapi tidak dengan ‘ide’-nya. Masyarakat memang sakit, lantaran disakiti pemerintah yang tidak becus mensirkulasikan keadilan dan kesejahteraan. Padahal, politik ‘idealnya’ harus berorientasi pada keadilan. Jika terjadi sebaliknya, pasti ada yang konslet.

Ya, memang seharusnya begitu seorang akademisi menilai. Namun, apakah presisi dan komprehensif alasan tersebut? Apakah benar peristiwa ini tidak normal dan merupakan gejala masyarakat Indonesia sakit?

Untuk menjawab pertanyaan itu, metodologi yang ditempuh adalah argumentasi yang dikeluarkan langsung dari mulut korban. Orang-orang yang dinilai menjadi korban inilah yang mesti merumuskan alasan dan unek-unek mereka. Bukan para pakar, akademisi, atau pejabat publik yang tidak pernah merasakan penderitaan, kesengsaraan; sehingga, kita dapatkan apa yang sebenarnya didambakan masyarakat.

Melihat fenomena ini terjadi, terlepas dari agenda penipuan raja abal-abal, saya yang hidup sewilayah dengan masyarakat yang mendambakan kehidupan yang lebih baik ini menemukan ada kejengkalan dan keputusasan dari penyelenggara negara: pemerintah. Sebab selama 20 tahun ini pemerintah belum bisa menjamin kehidupan warga negara, seperti keamanan, sandang, pangan, papan, bahkan kehangatan dalam bernegara.

Dengan demikian, wajar-wajar saja kerajaan-kerajaan baru ini muncul dengan pengikutnya yang tidak sedikit itu percaya bahwa kerajaan baru ini akan memperbaiki kehidupan. Kendati masyarakat tidak dapat lagi mengandalkan pemerintah untuk memperbaiki kehidupan. Latar belakang seperti inilah yang mestinya mengisi wacana publik, agar sama-sama mengetahui jika kondisi Indonesia saat ini tidak sedang baik alias perlu ada perubahan. Dan ‘ide’ perubahan itu disodorkan oleh raja abal-abal.

Baca Juga:  KURSI  

Di cakruk-cakruk atau di angkringan sering saya temui orang-orang nggerundel dengan pemerintah, khususon birokratisasinya yang hanya merepotkan hidup. Bagaimana tidak, untuk memilki Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja mereka harus antre berjam-berjam, padahal jika pemerintah serius terhadap melayani rakyat, seharusnya para pekerja di Dispenduk menghampiri ke rumah-rumah masyarakat. Bukan sebaliknya. Bayangkan jika penghasilan satu hari 60 ribu, demi KTP nglibur kerja, anak dan istri di rumah makan apa? Pemerintah mau kasih makan?

Contoh lain, untuk mendapat jaminan kesehatan pun masyarakat harus iuran sendiri. Iuran pun naik 100 persen. Mehong. Mencekik. Bahkan, di negara yang gemah ripah loh jinawi ini pun air harus beli. Benar-benar jauh dari upaya menyirkulasikan keadilan dan kesejahteraan.

Fenomena serba terbalik inilah yang juga ditulis Emha Ainun Nadjib tahun 1991. di dalam bukunya berjudul Arus Bawah itu diterangkan, seperti ini:

“Kiai Semar itu rakyat kecil dan Dewa sekaligus. Bahkan, Semar adalah Dewa segala Dewa. Ia sesepuh semua Dewa. Batara Guru pengurus alam semesta pun patuh kepadanya. Kiai Semar atau Hyang Ismoyo itu Dewa Tertinggi, di atasnya hanya ada satu: yakni Sang Hyang Wenang itu sendiri. Dan, kamu tahu Dewa Tertinggi itu rakyat biasa. Karena memang, rakyatlah Dewa Tertinggi. Batara Guru atau Hyang Manikmoyo, serta apalagi para Pamong dari Karang Kedempel, tak lebih dari petugas-petugas sejarah seperti juga Kiai Semar yang mengambil perannya untuk bertakhta di hati nurani rakyat.”

Meksi ditulis puluhan tahun lalu, tapi fenomena inilah yang kita jumpai akhir-akhir ini.

Selain itu, jika dibandingkan, kita bisa melihat sejarah beberapa abad ke belakang. Kerajaan-kerajaan di Indonesia, seperti Majapahit, Sriwijaya, Mataram, Kutai hampir menguasi beberapa wilayah di Asia Tenggara. Bukan hanya wilayah teritorial, tapi militer, ekonomi, dan maritim pun dikuasai. Bahkan, cerita-cerita kehebatan kerajaan-kerajaan di Indonesia (dulu Nusantara) ini, seperti diceritakan dalam buku “Arus Balik” karya Pramoedya Ananta Toer, terdengar hingga senatero jagad. Sehingga, cerita-cerita ini mengundang orang-orang eropa datang ke Nusantara melalui pesisir utara. Meski mulai abad ke 15-16, sejak raksasa dunia bernama Portugis masuk, perlahan namun pasti Nusantara mulai dieksplotiasi. Bahkan, peristiwa ini terjadi hingga saat ini.

Jika menggunakan terminologi utopia di awal, kesejahteraan, keadilan, pancasila, dan hal-hal baik yang selama ini digaungkan pemerintah juga utopia. Jadi selama 74 tahun, sejak 1945 hingga 2020 kita hidup di dalam utopia. Namun, kita semua berharap utopia itu secepat mungkin menjelma menjadi suatu tatanan bernegara yang konkret. Ya, terlihat mustahil memang, seperti hendak mencium siku sendiri. Atau kita akan menunggu sampai matahari terbit dari barat.***

Penulis : Adil

Penyunting : Yosi

Persma Poros
Menyibak Realita