Melihat Pengaruh BEMU dari Fenomena Kekosongan Kekuasaan Eksekutif di UAD

Loading

            Kekuasaan eksekutif mahasiswa tingkat universitas di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) sempat mengalami kekosongan, terhitung sejak Agustus sampai pertengahan Oktober 2019. Hal tersebut dikarenakan hasil Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa) pertama tidak memenuhi persyaratan perundang-undangan tentang hasil pemilwa, sehingga perlu diadakan pemilwa tahap kedua.

            Menanggapi hal tersebut, Ulfiana Nurul Hikmah, mahasiswa program studi (prodi) Pendidikan Fisika, mengaku tidak merasakan dampak dari absennya Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEMU). “Karena mungkin saya tidak ikut campur atau tidak ada hubungannya dengan kekuasaan eksekutif mahasiswa,” ucap mahasiswi angkatan 2018 itu.

            Hal serupa disampaikan Oky, mahasiswa Ilmu Komunikasi. Menurutnya tidak ada dampak signifikan yang dirasakannya sebagai mahasiswa saat kekuasaan eksekutif mahasiswa kosong. “Ketika aku kuliah atau pun aku jadi mahasiswa di UAD, menjadi mahasiswa umum, aku enggak terlalu merasakan apa gitu, karena mungkin jauh, ya, karena itu Presma (Presiden Mahasiswa-red) gitu. Jadi aku kurang dapat dampak baik positif maupun negatif dari kekosongan tersebut,” ungkapnya.

            Hanya saja, Oky dan Ulfiana menyoroti tentang keikutsertaan UAD dalam aksi Alinasi Rakyat Bergerak yang dimulai tanggal 24 lalu. Menurut keduanya, UAD saat itu menjadi kampus yang tidak kompak karena tidak ada yang menggerakkan, sementara kampus lain terlihat kompak karena dipimpin masing-masing Presma. “Tapi kita seolah-olah enggak ada koordinator,” ujar Oky. 

            Kepala Bidang Kebijakan Publik Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) UAD, Qois menyampaikan hal yang sama terkait dampak yang dirasakan ketika kekuasaan eksekutif universitas kosong. “Enggak ada. Enggak terlalu ada (dampak kekosongan kekuasaan BEMU-red),” ujar Qois.

            Menurutnya hal tersebut dikarenakan kepengurusan BEMU sendiri tidak memiliki daya tawar, sehingga dengan ketidakhadirannya pun tidak begitu berpengaruh terhadap diri mahasiswa.  

            Qois melanjutkan, BEMU tidak memiliki daya tawar karena selama ini menurutnya kegiatan yang dilakukan BEMU tidak berdasarkan pada kegelisahan mahasiswa. Hal tersebut barangkali, menurutnya karena kekuasaan eksekutif mahasiswa selama ini hanya dikuasai oleh organ yang berlatar belakang itu-itu saja.

            “Jadi mungkin jenuh, sehingga tidak bisa merasakan keresahan mahasiswa sebenarnya apa, sih?” ujar mahasiswa angkatan 2017 tersebut.

            KAMMI mencatat beberapa evaluasi atas kinerja BEMU periode sebelumnya. Salah satunya terkait dengan tranparansi dana kegiatan-kegiatan besar seperti Milad UAD. Qois meragukan dana yang dikeluarkan BEM itu memberikan feedback terhadap mahasiswa.

            “Misalnya uang satu juta itu apa benar-benar memberi manfaat sebesar satu juta, bisa jadi satu juta itu hanya dimanfaatkan, pertama, untuk nilai yang tidak ada manfaatnnya atau hanya memuaskan jiwa-jiwa hedon mereka,” paparnya.

            Lebih lanjut, Qois memberikan catatan, apakah dengan dana besar yang dikeluarkan BEMU itu meningkatkan partisipasi mahasiswa atau tidak,“Kalau dalam alokasi dana itu makin buruk, buat apa kita bayar mahal-mahal kalau dialokasikan dengan yang kurang bermanfaat, mending kita ganti aja, lah,” pungkas Qois.

Baca Juga:  Pemilu 2024 Sisakan Permasalahan Lingkungan, Turut Sumbang Ratusan Ton Emisi Karbon

            Setelah melalui hasil kajian, KAMMI mengatakan jika dipresentasikan, pengaruh BEM Universitas dari 100 persen, “Bisa hanya 40 persen 60 persennya, harus jadi perbaikan BEM selanjutnya.”

Dampak Kekosongan Kekuasaan Eksekutif Mahasiswa

            Berbeda dengan KAMMI dan Ulfiana, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) UAD justru merasakan dampak dari kekosongan kekuasaan eksekutif mahasiswa tingkat universitas.  Hal tersebut, menurut Ketua IMM UAD Hasbi, dikarenakan IMM sangat bersinergi dengan organisasi mahasiswa (ormawa) maupun organisasi-organisasi lainnya.

            Hasbi mengatakan bahwa meski tidak berdampak secara langsung, lamanya proses pemilwa menghambat pembuatan program kerja IMM. “Contoh hari pemilihan, harusnya kita yang punya program atau teman-teman organisasi punya program ternyata kita harus mengosongkan untuk pemilihan dan lain sebagainya, itu, kan termasuk juga bentuk penghambatan,” kata Hasbi.

            Hasbi melanjutkan, dalam pelaksanaan program kerja pun, IMM terhambat karena dalam pelaksanaannya IMM selalu bersinergi dengan organisasi mahasiswa (ormawa). “Tapi ketika sinergi IMM harus dengan BEM …, itu, kan jelas menghambat, bagaimana satu sama lain saling berangkat bersama,” ujarnya.

            Menyoroti acara Program Pengenal Kampus (P2K) dan Masa Ta’aruf (Masta), menurut Hasbi ketidakhadiran BEMU membuat kedua agenda tersebut menjadi tidak terkoordinasi dengan baik. Mahasiswa baru khususnya. “Harusnya mereka sudah mengerti apa namanya jabatan-jabatan yang ada di kampus, mereka belum mengenal itu,” ujar Ketua IMM UAD.

            Namun begitu, Hasbi menuturkan bahwa kejadian kekosongan kekuasaan eksekutif mahasiswa kemarin mesti menjadi momentum untuk perbaikan, “Jangan sampai kita memandang lagi hanya satu kepentingan organisasi, tapi ini KBM (Keluarga Besar Mahasiswa-red) kita bagaimana? Karena ketika satu KBM tidak ada, satu organisasi belum bersiap, akan berpengaruh ke yang lain,” pungkasnya.

            Dampak kekosongan kekuasaan eksekutif mahasiswa UAD juga dirasakan secara langsung oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPMU). Dirga Sena selaku Ketua DPMU menyesalkan absennya BEMU beberapa waktu lalu. Hal itu menurutnya memecahkan fokus pihak DPMU karena perlu memikirkan hal-hal yang bersifat eksekusi, padahal DPMU adalah badan legislatif.

            “Ada beberapa yang konsultasi menanyakan program BEM itu ke DPM. Kapan, sih acara Amazing Orange dilakukan? Sementara itu fungsinya di BEM, bukan DPM,” ujarnya saat diwawancarai Poros (18/10).

            Menurut Ketua DPMU yang baru dilantik pada Kongres KBM Agustus lalu itu, fungsi Komisi B DPMU juga belum bisa bekerja maksimal karena fungsinya sebagai controlling BEMU tidak bisa dilaksanakan karena kekosongan kekuasaan eksekutif.

            Dirga juga menyoroti tentang kurangnya pemasifan informasi karena tidak adanya BEMU. “Seperti kemarin ini kita mau bergabung dengan semacam aliansi rakyat bergerak, kita disuruh membuat komite, tapi kurangnya kita tidak ada yang mengakomodir anak BEM-BEM yang ada di tingkat fakultas,” keluh mahasiswa angkatan 2017 tersebut.

Baca Juga:  Kajian dan Pernyataan Sikap BAKAD UAD terkait TWK dan Penonaktifan 75 Pegawai KPK.

            Dirga melanjutkan, dalam menanggapi isu-isu nasional yang terjadi belakangan di Indonesia, seperti aksi-aksi yang serempak dilakukan mahasiswa di seluruh Indonesia sejak tanggal 24 September 2019, mahasiswa UAD mengatasnamakan KBM karena tidak ada BEMU.

Penyebab Kekosongan Kekuasaan Eksekutif Mahasiswa

            Seperti yang diketahui, 8 Agustus 2019 lalu Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Pemilwa Putaran Kedua. Sehari setelahnya, yaitu 9 Agustus 2019, pasangan calon (paslon) 01, Muh. Rifky Rachel Pondiu dan Dwi Nur Herdi Subrantas, melalui kuasa hukumnya menyampaikan gugatan yang diajukan   kepada Mahkamah Konstitusi Mahasiswa Universitas (MKMU) atas putusan KPUM yang akan melakukan pemilwa putaran kedua.

            Proses itulah yang mengakibatkan kekosongan kekuasaan eksekutif mahasiswa tingkat universitas di UAD. Namun begitu, Dirga mengaku menghargai proses tersebut karena juga merupakan tahapan demokrasi dan pendewasaan untuk mahasiswa.

            Hanya saja, Dirga mencatat beberapa poin atas kelambatan MKMU dalam menangani gugatan-gugatan. Menurutnya, sudah sejak Kongres permohonan masuk ke MKMU, tetapi setelah satu bulan lebih baru dilakukan sidang untuk menindaklanjuti permohonon tersebut. Hal itu yang menurut Dirga membuat kekosongan lama sehingga tidak ada Presma dan hilang koordinasi. Belum lagi, “Karena MKMU hampir mengundurkan diri dan sudah memberikan surat kepada DPM,” ujarnya.

            Selanjutnya, menurut Dirga, penyebab kekosongan kekuasaan eksekutif mahasiswa itu karena juga Aturan Dasar dan Aturan Rumah Tangga (AD/ART)  yang menyebutkan bahwa jabatan lembaga legislatif, eksekutif, dan juga yudikatif adalah satu periode satu tahun. Aturan tersebut yang kemudian mengharuskan Kongres segera dilakukan Agustus lalu, karena BEM saat itu sudah menjabat satu tahun bahkan lebih. “Makanya itu yang memaksa kita harus segera Kongres, ketika BEM yang kemarin masih bekerja untuk sekarang tetap ada, itu sudah menyalahi AD-ART,” paparnya.

            Seharusnya, menurut ketua DPMU, saat Kongres dilakukan, Presma terpilih sudah ada untuk mengisi kekuasaan, “tetapi kemarin tetap berlangsung (Kongres-red), karena DPM sudah ada dan mesti dilantik, karena ketika tidak dilantik mereka menyalahi aturan di AD-ART,” ucapnya.

            Untuk mengantisipasi absennya kekuasaan eksekutif mahasiswa, ke depan DPMU akan melakukan persiapan yang matang untuk menyambut Pemilwa bersama dengan BEMU. Mulai dari pembentukan KPUM, Komisi Pengawas Pemilwa (Kompaswa), dan memperjelas sosialisasi mengenai pemilwa.

DPMU juga akan melakukan pembenahan redaksi kata yang masih rancu dan multitafsir pada Undang-undang No. 7 Tahun 2018 Tentang Pemilwa Pasal 12 Poin 3 dan Undang-Undang No. 3 Tentang Pemerintahan BEM Pasal 83 Poin 1.

Undang-undang No. 7 Tahun 2018 Tentang Pemilwa Pasal 12 Poin (3) berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden harus mendapatkan suara 20% (dua puluh persen) dari jumlah mahasiswa pemegang hak pilih dalam pemilihan umum mahasiswa”. Sementara itu, Undang-Undang No. 3 Tentang Pemerintahan BEM Pasal 83 Poin (1) berbunyi, “Penetapan calon terpilih Presma dan Wapresma, didasarkan pada nama calon yang memperoleh suara 20% atau lebih dari jumlah mahasiswa yang menggunakan hak pilih.”

Undang-undang tersebut akan dibenahi oleh DPMU agar tidak kembali menghambat proses pemilwa kedepannya. “Itu kemarin yang menjadi hambatan, sehingga sempat terjadi sengketa dan kokosongan (kekuasaan eksekutif-red)” pungkas Dirga.

Reporter : Royyan, Hida , Pipit

Penulis : Royyan, Hida

Persma Poros
Menyibak Realita