Melindungi Kebebasan Berpendapat

Istilah “hak” memiliki banyak arti, hak dapat diartikan sebagai sesuatu kewenangan, kekuasaan untuk berbuat dan bertindak sesuatu, atau kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu.

Demikian juga dengan kata “asasi” mempunyai banyak arti. Antara lain dapat dipahami sebagai suatu yang pokok, mutlak, dan fundamental. Sehingga Hak Asasi Manusia (HAM) dapat dimaknai sebagai “Sunnatullah” yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena sifatnya yang dasar dan pokok ini, HAM sering dianggap sebagai hak yang tidak dapat dicabut, atau dihilangkan.Dan negara wajib melindunginya.

Sebagai bagian integral dari human security, isu HAM semakin mendapat perhatian dunia, terdapat banyak konvensi internasional tentang perlindungan HAM. Sejak ditandatanganinya Deklarasi Wina dan Rencana Aksi pada tahun 1993 oleh 177 negara, deklarasi ini menjadi momentum baru dalam status dan pemajuan HAM dunia, di mana negara-negara di dunia menyepakati bahwa HAM bersifat universal, indivisible, interdependent dan interrelated. Karena itu, setiap negara di dunia ini, terlepas dari sistem politik dan arah kebijakan ekonominya, harus menghormati sekaligus melindungi HAM setiap warganya tanpa terkecuali.

Fakta Empiris

Sebagaimana yang telah dirumuskan dalam naskah perubahan kedua UUD 1945, ketentuan mengenai HAM di Indonesia telah mendapat jaminan konstitusional yang sangat kuat. Ketentuan yang memberikan jaminan konstitusionalitas terhadap HAM dan bahkan merupakan salah satu ciri pokok negara hukum (Jimly Asshiddiqie: 2014).

Namun patut disayangkan belakangan ancaman terhadap kebebasan sipil justru meningkat. Hal tersebut tentulah sangat kontra produktif dengan amanat konstitusi. Terlihat dari hasil jajak pendapat Saiful Mujani Research Center (SMRC) Mei-Juni 2019 menunjukkan, 43 persen responden menyatakan takut menyampaikan pendapat. Jumlah tersebut naik signifikan dibandingkan tahun 2014 yang hanya mencapai 24 persen. SMRC juga mengungkapkan tedapat 38 persen responden takut akan penangkapan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum (Suparman Marzuki, Kompas : 2019).

Baca Juga:  RUU Pertanahan Akan Diskriminasi Warga Urut Sewu dan Daerah Lain

Survei yang dirilis oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 3 November 2019 menunjukkan hal serupa, masyarakat takut berbicara politik semakin meningkat yakni 43 persen naik signifikan dibandingkan tahun 2014 yang hanya 17 persen. Adapun, warga yang takut ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum naik dari 24 persen naik tajam angka 38 persen di 2019.

Dilansir dari kompas.com Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia pada 22 Oktober mengungkapkan 6.128 orang jadi korban pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat di muka umum.

Melindungi

Tindakan represif negara belakangan ini tidak hanya dipertontonkan melalui aparat penegak hukum, tetapi juga dilakukan melalui pelbagai instrumen hukum. Seperti  kasus penerapan beberapa pasal yang berpotensi mengancam hak berekspresi, khususnya hak menyampaikan pendapat baik lisan maupun tulisan. Pasal-pasal tersebut antara lain, pasal makar, pasal pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Meskipun konvensi Hak-Hak Sipil Politik (ICPPR)  secara eksplisit dijelaskan bahwa dimungkinkannya suatu pembatasan terhadap hak sipil yang kategorikan Derogable Rights, seperti hak berpendapat, hal ini haruslah memenuhi syarat. Seperti terjadi gangguan dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya. Hal semacam ini telah diumumkan secara resmi, tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial. Selama syarat pembatasan yang ditentukan dalam ICPPR tidak terpenuhi, maka dalam keadaan apapun dan bagaimanapun negara tidak boleh membatasi atau memberangus hak-hak sipil warga negara yang telah dijamin baik oleh hukum nasional maupun internasional.

Perlindungan terhadap hak berpendapat dapat dimasyarakatkan secara masif dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan HAM sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis. Jika dalam suatu negara hak untuk menyampaikan pendapat terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang timbul tidak dapat diatasi secara adil, negara tersebut tidak dapat dikatakan sebagai Negara Hukum yang sesungguhnya.

Baca Juga:  Yang Harus Dibabat, yang Harus Disokong

Penulis: Akbar Asmar (Mahasiswa Fakultas Hukum 2017, Kader IMM FH UAD, dan Direktur LLC FH UAD)

Penyunting: Adil

Persma Poros
Menyibak Realita