Membongkar Fenomena Klitih di Yogyakarta

Loading

Akhir-akhir ini masyarakat Yogyakarta dibuat jengkel sekaligus was-was jika keluar malam sendiri atau bareng-bareng. Termasuk saya sendiri, setiap pulang lewat tengah malam harus berkali-kali melihat kaca spion. Bukan karena setan gentayangan tapi ada hal lain yang lebih menakutkan. Ya, klitih makhluk sekaligus biang  bin keroknya. Memang, secara terminologi klitih oleh orang Yogyakarta diartikan sebagai jalan-jalan menghabiskan waktu, mencari angin, atau sekadar main-main. Tapi, lima tahun terakhir ini ada transformasi definisi dan perilaku dari istilah klitih.

Istilah klitih dari main-main atau menghabiskan waktu luang menjadi komplotan penjahat. Burkan Rudy Direktur Reserse Kriminal Umum Polisi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam sebuah diskusi kala itu  menjelaskan hal ini terjadi karena ulah media massa dalam mengungkap isu ini. Sekarang, klitih diartikan sebagai geng atau komplotan yang melakukan tindakan kriminal: membacok, mementung, menyabetkan gir, rantai, dan akhir-akhir ini menggunakan batu.

Saat ini, klitih menjadi momok yang menakutkan bagi warga Yogyakarta tulen maupun pendatang. Siapa pun langsung tutup telinga dan hati merasa terisis ketika klitih masuk ke telinga. Saya juga demikian.

Burkan Rudy kala itu juga mengutarakan hasil olah tempat kejadian perkara korban klitih 2014 silam. Hasil tersebut membuat saya meringis: pelaku klitih sedang galau lantaran putus cinta, karena risau dan mumet pelaku keluar membawa senjata tajam dan melampiaskan dengan menyabetkan ke orang lain. Fenomena suram sekaligus menggelitik ini ini terjadi di sekitar Stadion Maguwoharjo. Sehingga, benang merahnya demikian: klitih bermula dari putus cinta.

Tapi, semakin ke sini, motif dari tindakan kriminal ini mulai bergeser. Menurut Reserse Kriminal Umum ini motif pelaku klitih adalah kebanggan karena telah menunjukan eksistensi. Motif lain adalah dendam karena sebelumnya menjadi korban klitih.

Nah, saking bangga tak ketulungan pelaku klitih sering mengunggah di cerita Instagram, atau Facebook, dan Twitter. “Sehingga kepolisian semakin gampang membekuk pelaku,” demikian Burkan Rudy menerangkan sekaligus berkelakar.

Baca Juga:  KPUM FAKULTAS HUKUM TIDAK NETRAL?

Tidak kalah dengan Apatur Sipil Negara, jurnalis, dan Ddokter, menurut Reserse Kriminal Umum berpangkat AKBP ini juga menjelaskan jika komplotan ini memiliki Kode Etik untuk anggotanya. Adapun Kode etik di antaranya tidak menyerang orang dewasa (25 tahun ke atas), orang pacaran, dan pantang menyerang bukan lawan kelompok. Biasanya, sebelum beraksi pelaku klitih mengajukan pertanyaan koe bocah ngendi? Jika kita menjawab salah satu sekolah atau geng yang menjadi musuhnya, pelaku tidak segan-segan mengalungkan celurit di leher. Akan tetapi, jika mengaku sekolah atau geng yang bukan musuh, kita akan aman. Adapun ternyata sekolah-sekolah swasta yang menjadi musuh komplotan ini.

Dalam melakukan aksi klitih tidak sendirian, bukan karena truk gandengan sehingga dia harus gandengan. Namun, ada pembagian tugas masing-masing. Klitih biasanya minimal berdua, satu menyetir satunya lagi pengeksekusi. Perempatan, persimpangan, dan di pertigaan menjadi lokasi favorit, agar pelaku bisa langsung lari tunggang langgang dan sulit untuk dikejar.

Setelah Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti mengusulkan penilaian dalam bentuk Key Performance Indicator (KPI) bagi kepala sekolah tingkat SMA/SMK untuk mencegah terjadinya tawuran fenomena klitih menurun. Data dari Reserse Kriminal Umum Polisi Daerah  Istimewa Yogyakarta menunjukkan jika 2017 ada sekitar 154 kasus, 2018 144 kasus, dan 2019 66 kasus. Data tersebut hasil dari laporan Polisi Resor di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta.

Soeprapto Dosen Sosiolog Kriminal dari Universitas Gadjah Mada dalam sebuah diskusi kala itu menjelaskan hasil penelitiannya mengenai klitih ini. Hasil penelitian begini: klitih memiliki sturktur: Ketua, wakil, pemberi doktrin/pencuci otak, pencari musuh, eksekutor, dan anggota biasa. Aktivitas mereka biasanya adalah kumpul di angkringan atau burjo, bahkan akhir-akhir ini di kafe. Jika komplotan ini sudah terbentuk, akan ada doktrinasi/pencucian otak dengan dalih solidaritas almamater dan komplotan, lantas ada pelatihan fisik: tangan kosong maupun dengan senjata tajam. Latihan awal biasanya uji nyali dengan moncorat-coret tombok atau gapura. Jika objek yang dicoret dekat dengan pos satpam maka nilainya semakin tinggi.

Baca Juga:  Feodalistisnya Pendidikan di Indonesia

Menurut Soeprapto geng-geng veteran tahun 1980-1990-an memiliki misi yang jelas, yaitu ekonomi dan penguasaan wilayah. Namun, komplotan anak-anak Sekolah Menengah Petama dan Atas ini tidak memilki misi yang jelas.

Dosen Sosiolog Kriminal ini menawarkan teori kontrol sosial untuk mengenali penyebab anak-anak  sekolah mengklitih. Substansi Ide tentang teori kontrol sosial bahwa penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Hal ini, akan menimbulkan penyimpangan-penyimapangan lantaran kontrol yang lemah, bahkan kosong.

Menurut Burkan Rudy Pelaku ini adalah korban dari keluarga. Sebab, pada masa anak-anak Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas kecenderungan mereka mencari teman. Jika keluarganya tidak bisa menjadi teman yang baik sekaligus melindungi dirinya, anak ini akan mencari teman keluar. Dengan demikian, jika anak sudah krasan di luar, tamat sudah ceritanya.

Berbeda dengan Burkan Rudi. Dalam sebuah diskusi publik mengenai klitih, mahasiswa lulusan Sekolah Menengah Kejuruan sekaligus pernah ikut dalam komplotan ini menjelaskan jika anak-anak yang menjadi pelaku klitih adalah korban dari diskriminasi guru kepada murid. Sehingga, anak merasa dikucilkan dan akhirnya menunjukan eksistensinya di luar kelas: nglitih.

Demikianlah klitih yang semula menjadi hal yang tidak positif-positif amat: buang-buang waktu, lantas menjadi klitih yang menakutkan.

Penulis: Adil

Penyunting: Yosi

Persma Poros
Menyibak Realita