Mendambakan Ruang Aksesibel bagi Difabel

Loading

“Difabel tetap dikecualikan dari pembangunan, pada penelitian, kebijakan dan tingkat program, dan pendapat
orang miskin difabel di negara-negara berkembang sebagian besar tetap tak terdengar,” tulis Shaun Grech
dalam bukunya berjudul Disability and Poverty in The Global South.

Senada dengan Grech, Demartoto dalam bukunya berjudul Menyibak Sensitifitas Gender dalam Keluarga Difabel juga menyebutkan bahwa pandangan masyarakat yang negatif terhadap difabel juga menyebabkan kelompok ini sulit untuk mendapatkan kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama dengan masyarakat lainnya di segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Kementerian Sosial melalui Badan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial menyadari adanya ketimpangan sosial yang dialami kelompok difabel. Dalam dokumen acuan kerjanya, disebutkan bahwa pengembangan dan pembangunan saat ini seperti taman, tempat olah raga, dan tempat wisata dibuat tanpa memikirkan aktivitas kaum difabel.

Lebih lanjut, dalam dokumen yang sama, disebutkan pengembangan dan pembangunan diri kaum difabel sangat penting. Namun hal ini tidak didorong dengan fasilitas penunjang bagi difabel seperti jalan, tangga naik kamar mandi, dan fasilitas lainnya.

Apa yang terjadi di Indonesia masih jauh dengan yang ada di Inggris. Negara itu sudah selesai dengan penyediaan fasilitas bagi difabel. Bahkan langkah untuk berupaya adil terhadap kelompok difabel sudah masuk dalam kurikulum sekolah. Siswa sekolah dasar di negara itu sudah diajarkan cara untuk menghargai dan memperlakukan difabel, seperti yang tercantum dalam buku mata pelajaran Learning Ability. Dalam buku pegangan siswa berjudul Its About Ability Learning diterangkan bahwa setiap orang memiliki perbedaan, entah itu perbedaan warna kulit, kelamin, tinggi, wajah, agama, kebangsaan dan sebagainya.

Lebih lanjut buku itu menjelaskan bahwa difabel bukanlah perbedaan. Difabel hanya keterbatasan seseorang dalam beraktivitas atau keterbatasan dalam mendengar, melihat, merasa atau mencium. Tapi itu semua tidak membatasi kemampuan dan kelebihan orang difabel. Perbedaan adalah barang berharga. Dari perbedaan itulah kreativitas dan ide baru berasal.

Saat ini di Kota Yogyakarta masih terdapat fasilitas umum yang belum terjangkau oleh difabel. Seperti Guiding block atau blok pemandu yang ditandai dengan tegel warna kuning di sepanjang trotoar. Hingga kini blok pemandu tersebut belum difungsikan secara optimal karena di beberapa tempat digunakan sebagai lapak pedagang kaki lima.

Baca Juga:  2 Tahun Shelter Trans Jogja UAD tak Beroperasi

Bahkan blok pemandu yang ada di trotoar Malioboro dinilai menyalahi aturan blok pemandu internasional yang harus berwarna kuning. Guiding block yang ada di trotoar Malioboro berwarna silver, persis dengan warna trotoar. Padahal, blok pemandu diberi warna kuning supaya pengguna jalan yang low vision (penglihatan rendah) masih bisa melihat jalan yang dilalui karena adanya perbedaan warna mencolok antara blok pemandu dan trotoar.

Edy Muhammad, kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta, mengakui adanya kekeliruan warna blok pemandu di jalan Malioboro. Namun yang terpenting menurutnya adalah garis timbul di blok pemandu tersebut dapat dikenali oleh tongkat difabel tuna netra.

Di samping itu, rumah ibadah juga menjadi sorotan Edy. Di Yogyakarta, menurutnya, masih banyak rumah ibadah yang belum aksesibel bagi difabel. Salah satunya adalah Masjid Gede Kraton yang ada di alun-alun utara. Masjid yang menjadi ikon Kota Yogyakarta tersebut belum memfasilitasi rampa atau jalan landai bagi difabel tuna daksa.

Di ranah transportasi publik kondisinya juga tidak jauh berbeda. Bus Trans Jogja yang merupakan alat transportasi publik masih banyak yang belum aksesibel bagi difabel, seperti rampa yang terlalu tinggi di halte. Akibatnya difabel pengguna kursi roda kesulitan menaiki halte.

Selain itu minimnya jumlah bus baru yang menggunakan running text (teks berjalan) juga menjadi kendala bagi difabel Tuli dan tuna wicara. Padahal running text pada bus bisa memudahkan mereka mengetahui halte tujuan berikutnya.

Wirawan Hario Yudo, Kepala Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, mengamini bahwa fasilitas transportasi publik saat ini masih belum maksimal. Namun, kata dia, instansinya akan menambahkan jumlah armada bus dan fasilitas di halte.

Saat ini, jumlah halte bus Trans Jogja ada 117. Semua halte sudah terpasang rampa, kecuali pada halte portable, yakni halte yang digunakan sebagai tempat pemberhentian sementara penumpang dan dapat dipindahkan suatu waktu.

Kementerian Pekerjaan Umum pada 2006 silam telah mengeluarkan aturan No.30/PRT/M/2006 yang mengatur tentang ketentua n bangunan gedung yang meliputi fungsi, persyaratan, penyelenggaraan dan pembinaan. Dengan hadirnya peraturan ini pemerintah daerah seharusnya memperhatikan beberapa aspek dalam penyediaan fasilitas publik. Pertama, Kemudahan. Semua orang dapat mencapai semua tempat. Kedua, Kegunaan. Setiap orang dapat menggunakan semua tempat. Ketiga, Keselamatan. Setiap bangunan dan lingkungan harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang.

Baca Juga:  DPRD DIY Tuntut Jokowi Keluarkan Perpu untuk Batalkan UU Ciptaker

Sudut Pandang Orang Normal

Fasilitas publik yang ada saat ini masih mengarah pada ideologi kenormalan. Hal ini dijelaskan Galih Hapsari Putri dalam skripsinya berjudul Aksesibilitas Difabel Dalam Ruang Publik. Ideologi kenormalan beranggapan bahwa orang yang mempunyai organ tubuh lengkap dan berfungsi dengan baik disebut manusia normal. Sebaliknya, orang yang anggota tubuhnya ada yang tidak berfungsi disebut cacat atau difabel.

Berangkat dari ideologi ini, semua fasilitas publik seperti jalan dan bangunan, diformulasikan untuk mereka yang ‘normal’. Padahal pada hakikatnya semua manusia terlahir dengan memiliki kelebihan dan kekurangan tertentu.

Minimnya perhatian masyarakat atau pemerintah pada difabel bisa dilihat dari konstruksi bangunan rumah ibadah di Kota Yogyakarta. Berdasarkan data yang dihimpun dari Dria Manunggal, saat ini ada beberapa rumah ibadah inklusi di provinsi DIY.

Rumah ibadah tersebut adalah: (1) Masjid Baitul Makmur Dusun Sidorejo Ngestiharjo Kasihan Bantul; (2) Sanggar Penghayat “Sumarah” Wirobrajan, (3) Gereja Kristen Jawa Wirobrajan; (4) Gereja Katholik Kemetiran, dan (5) Pura Jagatnata banguntapan.

Dria Manunggal adalah lembaga yang fokus pada kajian dan penelitian tentang difabel. Salah satu upaya yang dilakukan lembaga ini adalah mewujudkan fasilitas hak-hak difabel dalam mengakses rumah ibadah. Buah dari perjuangannya adalah Kanwil Kemenag DIY menerbitkan surat edaran yang menyerukan perwujudan rumah iba[1]dah aksesibel bagi difabel di DIY. MUI DIY juga menyerukan agar masjid dan mushola memasang fasilitas bagi difabel. Begitu juga dengan kevikepan Gereja Katolik DIY.

Pemerintah seharusnya melakukan hal serupa dengan Dria Manunggal dalam mewujudkan ruang aksesibel bagi difabel. Galih Hapsari Putri dalam skripsinya itu menekankan bahwa aksesibilitas merupakan bagian dari kehidupan manusia dalam kehidupannya.

Penulis: Lalu Bintang Wahyu Putra/POROS

Ilustrator: Ilham Lazuardi/POROS

Artikel ini pertama kali terbit di Majalah Lembaga Pers Mahasiswa POROS edisi X/2017 dengan Judul Mendambakan Ruang Aksesibel bagi Difabel.

Persma Poros
Menyibak Realita