Tujuan tulisan ini dibuat sederhana saja: sebagai budaya adu pendapat yang sehat antara mahasiswa dan dosen. Sebab, meminjam kalimat Soe Hok Gie, Guru (dosen-red) yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah: Dosen bukan dewa dan selalu benar, dan murid (mahasiswa-red) bukan kerbau.
Tulisan Prayudha yang bertajuk Keculasan Yang Mengabaikan Hati Nurani: Tanggapan Terhadap Berita dan Catatan Redaksi Poros, sungguh, belum benar-benar klir. Pertama, Yudha bukan orang yang terlibat dalam proses reportase berita yang dipaksa ditarik dari semua kanal media daring Pers Mahasiswa Poros. Lebih lagi, Prayudha bukan satu-satunya orang yang berada di ruang rapat Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI) yang menyaksikan dan terlibat langsung dalam serangkaian jalannya pertemuan yang konon disebut sebagai tabayun itu. Saya adalah salah seorang awak Poros yang turut menghadiri undangan tabayun dan turut mengawal berita yang dipersoalkan.
Baiklah, tampaknya Prayudha memosisikan diri pada komentarnya terhadap berita yang ditarik Poros seolah-olah Prayudha adalah orang yang tahu betul mengenai duduk perkaranya. Padahal, jika pembaca memiliki salinan naskah berita yang ditarik Poros, pembaca bisa menilai sendiri, siapa yang sedang melakukan pembelaan, siapa yang sedang melancarkan keculasannya di hadapan publik?
Sebelumnya, ada kutipan menarik dari George Orwell di buku 1984-nya, “The big brother is watching you”. Kondisi inilah yang mungkin dialami Prayudha: diawasi bos besar. Oleh karena itu, tampak di dalam tulisannya, dia tidak menyinggung LPSI sama sekali. Padahal, kan?
Perlu ditekankan, Prayudha itu sekadar pembina Poros. Orang yang paling diharamkan keterlibatannya dalam setiap proses kreatif Poros dalam menghasilkan produk-produk jurnalistik. Oleh karenanya, tulisan ini tidak sedang melakukan pembelaan terhadap Poros. Pyur, sebagai argumentasi tandingan dari apa yang sudah Prayudha tulis. Tidak ada sedikit pun niat dari penulis untuk mencaci-maki Prayuda dalam tulisan ini. Silakan, sidang pembaca bisa menilai argumentasi siapa yang beranjak dari fakta-fakta di lapangan, argumentasi siapa yang beranjak dari mulut ke mulut alias cuman modal dengar atau argumen dari seorang pegawai di dalam sebuah sistem?
Prayudha selalu menyebut-nyebut Isu yang diangkat Poros sebagai suatu peristiwa yang baru sekadar ‘dugaan’ atau hasil dari perbuatan menduga-duga alias menyangka ataupun memperkirakan sesuatu peristiwa bakal terjadi. Prayudha, menuliskan kecacatan berita yang ditarik Poros. Menurutnya, berita yang diangkat Poros soal dosen yang mewajibkan membeli buku dengan imbalan nilai itu adalah berita yang tidak melalui proses verifikasi mendalam. Juga menurutnya, berita Poros tidaklah aktual karena muncul relatif lama setelah sesuatu terjadi, dan berita Poros tidak memberikan value apa pun.
Pertama, inilah yang saya sebut-sebut sebagai argumentasi yang beranjak dari mulut ke mulut alias cuman modal mendengar: Prayudha selalu menyebut-nyebut isu yang diangkat Poros sebagai suatu peristiwa yang baru sekadar ‘dugaan’. Padahal, jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘dugaan’ adalah hasil dari perbuatan menduga-duga alias menyangka ataupun memperkirakan sesuatu peristiwa yang bakal terjadi. Saya yakin, Prayuda menuliskan frasa ‘dugaan’ dengan penuh kesadaran, tidak sedang teler, mabuk, ataupun linglung.
Pernyataan Prayudha soal ‘dugaan’ salah besar. Sebab, peristiwa itu benar terjadi, dosen terkait secara sadar mengatakan melalui pesan ketik–ingat pesan ketik–bukan omongan langsung– “150 dapat A, nggak beli dapat C gimana? Soalnya sudah dicetak UAD sebanyak mahasiswanya,” tulis Dosen terkait di pesan WhatsApp Grup (1/8). Bahkan, kebenaran kejadian itu dikonfirmasi langsung oleh empunya program, yaitu Kepala Bidang Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK), Rahmadi Wibowo Suwarno. Rahmadi mengatakan dirinya sudah meminta klarifikasi dari dosen tersebut, MN maksudnya. Kemudian, MN membenarkan pernyataan dia di WhatsApp grup itu.
Memang benar peristiwa pembelian buku dapat nilai A belum terjadi, tapi dosen terkait sudah mengatakan “150 dapat A, nggak beli dapat C gimana?”. Jadi, salah besar, ngawur, bahkan ngelantur tulisan si Prayudha yang menyatakan bahwa peristiwa dosen yang mengatakan jika membeli buku bisa mempengaruhi nilai akademiknya belum pernah terjadi. Ya, mbok, diverifikasi, Yud!
Lebih lagi, tuduhan serius Yudha mengenai “…apa yang disebut Poros sebagai ‘pemaksaan’ pembelian buku tak pernah menjadi hal yang nyata terjadi..” menunjukkan bahwa Prayudha adalah pembaca yang gagal, atau, kalau tidak, kemampuan merekam dan memahami tulisan sungguh buruk. Sebab, dari sekian ratus kata yang ada di berita Nilai A Seharga Buku Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah Poros tidak pernah sekalipun menyebut atau menuliskan frasa “pemaksaan”. Di sinilah kegagalan dan ketidakberdayaan Pembina Poros itu membuktikan tuduhan seriusnya. Pasalnya, tuduhan Prayudha mengenai “…apa yang disebut Poros sebagai ‘pemaksaan’ pembelian buku…” Tanpa bukti, pyur menunjukkan kelihaian Prayudha sebagai Pembina yang disclaimer alias asal mengklaim tanpa daya kemampuan membuktikan tuduhannya. Jan ndableg!
Kedua, Prayudha menuliskan kecacatan berita yang ditarik Poros. Menurutnya, berita yang diangkat Poros soal dosen yang mewajibkan membeli buku dengan imbalan nilai itu adalah berita yang tidak melalui proses verifikasi mendalam. Sehingga, berita Poros tidak lagi aktual dan tidak memberikan value apa pun.
Apa yang dimaksud Prayudha sebagai verifikasi mendalam? Tidaklah sulit melacak jawabannya. Melalui tulisannya, Prayuda berargumen “…agaknya, Poros tidak melakukan verifikasi yang mendalam. Dalam tabayun tempo hari, penanggung jawab mata kuliah menyebutkan bahwa dugaan tersebut tidak pernah menjadi kenyataan. Ketika dugaan tersebut muncul, penanggung jawab mata kuliah langsung menghubungi pengajar bersangkutan. Ia menjelaskan jika mewajibkan pembelian buku tidak pernah ada. Sang pengajar langsung mengamini dan mengatakan ia slip of toungue. Ia langsung merevisi pengumumannya pada mahasiswa di malam itu juga. Mahasiswa menerima dan apa yang disebut Poros sebagai ‘pemaksaan’ pembelian buku tak pernah menjadi hal yang nyata terjadi.”
Jika benar yang dimaksudkan verifikasi mendalam oleh Prayudha adalah meminta klarifikasi kepada penanggung jawab mata kuliah, dalam hal ini adalah Kepala Bidang AIK, Poros sudah melakukannya dan bukti wawancara sudah diarsipkan dengan apik. Sebelum Kepala Bidang AIK mengakui kebenaran tindakan dosen–ingat, dosen, bukan LPSI–yang mewajibkan membeli buku, reporter Poros sudah melakukan verifikasi kepada pihak LPSI. Hal itu bisa saya buktikan, coba perhatikan, “Melalui kontak resmi Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI), reporter poros meminta klarifikasi terkait polemik yang disebabkan MN. Menurut keterangan LPSI, pihaknya sudah konfirmasi dengan dosen pengampu dan Ketua Program Studi (Kaprodi) Ilmu Komunikasi (Ilkom). “Hanya masalah miskomunikasi saja,” tutur LPSI (16/8). Kutipan itu, saya ambil langsung dari berita Nilai A Seharga Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah.
Prayudha tidak berhenti begitu saja mempersoalkan verifikasi yang sudah dilakukan poros, baca kutipan berikut, “…Poros tidak mewawancarai dosen yang diduga setengah memaksa mahasiswa untuk membeli buku. Konfirmasi pun tidak…” Dalam proses reportase, reporter Poros selalu melakukan proses verifikasi pada sumber primer sedekat mungkin. Sumber primer yang dimaksud adalah saksi mata. Saksi mata yang dimaksudkan dalam berita yang ditarik adalah SD, yang notabene sebagai korban.
Kemudian, reporter Poros, mendekat pada sumber primer lainya, yaitu pihak LPSI yang notabene membawahi langsung mata kuliah tersebut. Lalu, muncul pernyataan pada Prayudha, “…Poros tidak mewawancarai dosen…”. Benar, reporter Poros tidak melakukan wawancara, atau setidaknya konfirmasi dengan dosen terkait. Sebab, dalam lingkaran narasumber, reporter Poros –yang masih magang itu tidak bergerak sendiri, ada pendampingan–mengambil keputusan untuk mewawancarai pihak LPSI langsung. Sebab, dari sumber data tangkapan layar sudah sangat jelas bahwa dosen terkait -ingat, dosen terkait, bukan LPSI!-, benar-benar mengatakan “150 dapat A, nggak beli dapat C gimana?” Yang menimbulkan kisruh di antara mahasiswa. Kebenaran itu pun dikonfirmasi oleh pihak LPSI melalui kontak layanan resminya yang mengatakan persoalan itu muncul dikarenakan miskomunikasi.
Miskomunikasi yang terjadi, bukan antara mahasiswa dan dosen, tapi antara dosen dan LPSI. Mari perhatikan kutipan berikut; Kemudian, Staf LPSI, Rahmadi Wibowo Suwarno, menimpali dengan pernyataan yang membenarkan kelakuan salah satu dosen AIK yang mewajibkan membeli buku. “Ya, memang buktinya begitu, bahwa MN terkait menuliskan itu, betul. Saya dikirimi screenshot-nya,” ujar Rahmadi. Sejak awal kasus ini muncul, reporter Poros sudah melakukan pendalaman isu. Sehingga, keputusan tidak konfirmasi dengan MN sebagai pelaku dikarenakan ada pihak yang dirasa lebih berwenang menjawabnya, yaitu pihak LPSI. Ngono, Yud!
Kenapa Prayudha begitu mempersoalkan verifikasi yang dilakukan Poros dalam pemberitaannya? Lagi-lagi, tidaklah sulit menemukan jawabannya. Musababnya, elemen ketiga dalam jurnalisme, yaitu verifikasi, benar-benar menguntungkan dirinya, kemunculannya bisa saja dilihat petinggi kampus, dan mungkin saja, dia memanfaatkan momen ini. Sekali lagi, Prayudha adalah pegawai yang bekerja di bawa sistem besar, yaitu UAD. Saya berani mengatakan demikian itu, dikarenakan Prayudha tidak benar-benar serius menilai pemberitaan Poros dari segi sembilan elemen jurnalisme. Mengapa Prayudha hanya menyinggung elemen Disiplin Verifikasi dan Hati Nurani, tidak menyinggung elemen-elemen yang lain? Misalnya; Kebenaran, Loyalitas, Independensi, Pemantau Kekuasaan, Forum Publik, Menarik dan Relevan, dan Komprehensif. Sebab, keenam elemen jurnalisme yang tidak disebutkan Prayudha tidak menguntungkan dirinya di hadapan pihak kampus.
Ketiga, Prayudha juga menuliskan berita Poros tidak lagi aktual dan tidak memberikan value apa pun. Berita Poros, menurut Prayudha, tidak lagi aktual karena waktu terbitnya berita berjarak hampir dua pekan dari persoalan. Ini benar, berita “Nilai A Seharga Buku Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah,” terbit dua pekan setelah masalah itu dianggap klir oleh pihak LPSI, Kepala Program Studi Ilkom, dan dosen terkait. Namun, lagi-lagi, berita tersebut sifatnya adalah mendudukkan perkara. Sebab, Poros menilai polemik ini terus menjadi perbincangan mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD), tidak hanya mahasiswa Ilkom saja.
Selain itu, isu yang bersifat konflik dan pelik itu selalu aktual dan tidak lekang oleh waktu. Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM, misalnya. Isu tersebut akan terus aktual dan penting ketika belum ada penyelesaian. Dalam berita Poros, akan selalu aktual ketika belum ada sikap dari pihak LPSI terhadap oknum dosen itu: diskors, dirumahkan, atau seperti apa.
Lebih lagi, perlu menjadi catatan penting untuk Prayudha, bahwa berita tersebut tidak lagi aktual jika Poros hanya memberitakan soal dosen yang mewajibkan membeli buku dapat nilai A tanpa ada klarifikasi dari pihak LPSI. Baiklah, mungkin Prayudha gagal dalam memahami berita yang dipersoalkan. Jadi, begini, Prayudha, “Jika memiliki buku yang diterbitkan dari LPSI sifatnya anjuran dan tidak terkait dengan nilai tertentu,” ujar LPSI. Itulah yang saya maksud dengan mendudukkan perkara. Berita adalah forum publik, dengan adanya pemberitaan mengenai polemik dosen yang mewajibkan membeli buku, diharapkan publik bisa mendapatkan informasi dengan utuh. Sehingga, persoalan ini tidak melebar dan tidak terus memicu opini liar.
Mengenai value, Prayudha tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai value itu untuk siapa: apakah untuk mahasiswa? Dosen? LPSI? atau buat siapa, Yud? Jika untuk mahasiswa, Prayudha salah besar mengatakan itu. Sebab, setelah pemberitaan itu menyebar di kalangan handai taulan UAD, beberapa mahasiswa melaporkan kalau apa yang diberitakan Poros itu—oknum dosen mewajibkan membeli buku yang berpengaruh terhadap nilai akademik mahasiswa–juga terjadi dari dulu. Laporan lain, misalnya, kebijakan yang diambil Lembaga Studi Pengembangan Islam (LPSI) itu selalu diputuskan sepihak. Selain itu, mahasiswa berinisial FM juga melaporkan bahwa temannya, HM, tidak diberikan toleransi untuk absen saat salah satu keluarganya ada yang meninggal dunia.
Value-nya ialah mahasiswa UAD berani angkat bicara soal permasalahan yang mereka alami di perkuliahan. Apakah Prayudha tidak membaca Catatan Redaksi Poros? Tapi tidak mungkin, deh! Sebab, dalam tulisannya yang konon tanggapan -baca pembelaan- itu, kan, menyoal Catatan Redaksi Poros. Aih, saya yakin jika kualitas pembacaan Prayudha terhadap suatu tulisan benar-benar buruk.
Seharusnya dengan pemberitaan Poros mengenai tindak-tanduk dosen menjadi catatan serius pihak Universitas untuk membangun pola komunikasi dan jalur koordinasi yang bagus. Gitu, Yud, value buat dosen dan lembaga yang kau bela.
Prayudha, Saudara Berdiri di Pihak yang Mana?
Prayudha menganalogikan pemberitaan Poros dengan peristiwa dua selebriti yang sedang cari sensasi alias cap cari muka. Benar-benar konyol, Prayudha menganalogikan berita yang basisnya fakta dengan berita gosip yang cenderung setingan, cari sensasi, ngibul, dan bakal selesai di satu siaran televisi atau kanal media sosialnya. Pembaca bisa menilai betapa buruknya analogi yang dihadirkan Prayuda, ya, kira-kira, seburuk kemampuan pembacaannya terhadap suatu tulisan. Prayudha tidak ingin menyebut pemberitaan Poros setara dengan gosip di akun Lambe Turah dikarenakan ketidakmampuan sekaligus ketidakberdayaan Prayudha membuktikan tuduhannya itu. Jan ndableg!
Berlanjut, di paragraf atas baru satu wacana tandingan soal apa yang dianggap Prayudha sebagai tanggapan—aslinya pembelaan. Saya berharap pembaca agak sedikit bersabar. Bukan karena tulisan linglung Prayudha, tapi karena tulisan ini belum juga berakhir, masih berlanjut, tapi tidak panjang.
Tampaknya, Prayudha sedang dilanda gejala self-injury akut yang berlanjut playing victim. Sebab, posisi Prayudha bukanlah gelandangan di pinggiran jalan yang seenaknya ngomong tanpa perlu pembuktian. Prayudha sebagai tenaga pendidik cum intelektuil di Universitas Swasta yang beken ini, seharusnya di dalam tulisannya tidak mengandung playing victim dan asal klaim tanpa pembuktian yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam bab mempersoalkan Catatan Redaksi, kasusnya sama persis dengan apa yang disebabkan di bagian persoalan pemberitaan, yaitu Prayudha melakukan klaim asertif yang berjalan berkacak pinggang tanpa ada dasar pembuktian. Pembuktian menjadi penting. Sebab, bagaimana pembaca bakal percaya jika tulisan tidak dibarengi bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan? Jenis tulisan yang tidak perlu pembuktian dalam menuduh adalah jenis tulisan ngalor-ngidul macam tulisan Prayudha.
“Dalam catatan redaksi itu, Poros dengan lihai (meski saya tidak meyakini mereka melakukannya dengan sadar) menutup satu sisi informasi dan mencuatkan informasi lainnya guna mendukung self-injury agar terkesan lebih menyakitkan,” tulis Prayudha.
Jujur, saya agak mangkel menanggapi bagian ini, jika Prayudha benar-benar mengetahui di bagian mana Poros ‘menutup satu sisi informasi’. Seharusnya Prayudha menjelaskan temuannya untuk pembaca, untuk publik, agar pembaca fair menilainya, agar pembaca menguji bukti yang kau tuangkan. Jangan hanya karena Prayudha memiliki bekal sosial sebagai Pembina Poros, lantas seenaknya menulis tuduhan-tuduhan tanpa bukti, dan menganggap publik sudah bisa menerima argumentasinya yang kaya tuduhan dan miskin pembuktian.
Kemudian, Prayudha benar-benar lihai memanfaatkan konotasi buruk dari apa yang disebutnya framing dengan menyeret-nyeret hati nurani. Seolah-olah, framing yang dilakukan Poros keliru karena tidak mengikuti hati nurani kampus. Sedangkan framing yang dilakukan Prayudha baik karena mengikuti hati nuraninya yang merapat ke birokrat kampus. Baca saja, dari awal sampai akhir tulisan Prayudha tidak ada yang mengakui bahwa kampus-dalam hal ini LPSI, lalai dalam menjalankan jalur koordinasi dan komunikasi jajarannya, dari tingkat tenaga pendidik sampai ke struktur lembaga.
Membaca tulisan Prayudha, mengingatkan saya pada penyair W. S. Rendra, dalam sajaknya ia bertanya;
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita di sini bertanya:
“Maksud baik saudara untuk siapa?
saudara berdiri di pihak yang mana?”
Penulis: Yusuf (Redaktur Pelaksana Redaksi Poros)
Penyunting: Febi Anggara
Sumber gambar: https://www.dw.com/id/kebebasan-pers-berada-di-bawah-tekanan-selama-pandemi-corona/a-57260202

Menyibak Realita
768210 891795Attractive portion of content material. I merely stumbled upon your weblog and in accession capital to assert that I get in fact loved account your weblog posts. Anyway I is going to be subscribing to your augment and even I success you get admission to constantly quickly. 827189
750240 297755I discovered your weblog internet website on bing and appearance several of your early posts. Preserve up the extremely very good operate. I just now additional the RSS feed to my MSN News Reader. Seeking toward reading far more on your part down the road! 841617
We stumbled over here by a different web page and thought I
might as well check things out. I like what I see so i am
just following you. Look forward to looking over your web page yet again.
These are in fact fantastic ideas in about blogging.
You have touched some nice factors here. Any way keep up
wrinting.
Thanks for sharing such a pleasant idea, article is nice, thats why i
have read it entirely
This is my first time go to see at here and i am actually pleassant to read everthing
at alone place.
Wow! In the end I got a webpage from where I be capable of genuinely obtain helpful data regarding my study and knowledge.
quest bars https://www.iherb.com/search?kw=quest%20bars quest bars
Hey! I’m at work surfing around your blog from my new
iphone! Just wanted to say I love reading your blog and look forward to all your posts!
Carry on the fantastic work! scoliosis surgery https://0401mm.tumblr.com/ scoliosis surgery
I like the helpful info you provide in your articles. I will bookmark your weblog and check again here frequently.
I am quite sure I will learn many new stuff right here!
Good luck for the next! ps4 https://j.mp/3z5HwTp ps4
games
I have read so many articles or reviews on the topic of the blogger lovers but this article is in fact
a pleasant piece of writing, keep it up. scoliosis surgery https://coub.com/stories/962966-scoliosis-surgery scoliosis surgery
I’m really enjoying the design and layout of your site.
It’s a very easy on the eyes which makes it much more pleasant for me to come here and visit
more often. Did you hire out a designer to create your theme?
Outstanding work! cheap flights http://1704milesapart.tumblr.com/ cheap flights
Hi I am so happy I found your blog page, I really found you by mistake, while I was searching on Askjeeve
for something else, Anyhow I am here now and would just like to say thanks a lot
for a fantastic post and a all round entertaining blog (I
also love the theme/design), I don’t have time to look over it all at the
moment but I have saved it and also added in your RSS feeds,
so when I have time I will be back to read much more, Please do keep up
the excellent job. quest bars http://tinyurl.com/49u8p8w7 quest bars
First off I would like to say superb blog! I had a quick question that
I’d like to ask if you do not mind. I was interested to find out
how you center yourself and clear your head prior to writing.
I’ve had a hard time clearing my mind in getting my thoughts
out there. I truly do enjoy writing but it just seems like the first 10
to 15 minutes are usually wasted simply just trying
to figure out how to begin. Any recommendations or tips? Appreciate it!
asmr https://app.gumroad.com/asmr2021/p/best-asmr-online asmr
My partner and I stumbled over here from a different web
page and thought I might as well check things out. I like what I see so now i am following you.
Look forward to checking out your web page again.
Saya setuju dengan anonim, bahwa dalam bahasa jurnalistik, dalam pemberitaan, nama orang tidak perlu menggunakan kata sandang seperti “pak”, “bu”, dan sebagainya . Contoh lihat saja nama presiden, menteri-menteri, gubernur, dan para pejabat publik, tidak pernah ditulis dengan sebutan “pak” atau “bu”
Loh bahasa tulis sama bahasa tutur itu beda bung, ya, jadi jelek dong tulisan kalok di tambahi imbuhnya pak, mas, om, Tante, mba, ibu, dll. Duhhhh
Saya sebagai pembaca umum dan dari pihak luar (bukan pegawai, mahasiswa, dan tidak punya keluarga yang kuliah/bekerja di UAD) sangat kagum dgn upaya Persma Poros untuk menyajikan berita yang kritis thdp kampus.
Tapi ada hal lain yang saya pandang nggak penting untuk dipublikasikan yakni pertarungan opini antara pembina dengan redaksi
Di satu sisi, mungkin Redaksi Poros ingin menunjukkan bahwa media ini independen, dalam arti semua pandangan/opini yang pro mau pun kontra bisa tampil di Poros.
Tapi di sisi lain, ya menurut saya tidak penting sih untuk mengekspos perbedaan pandangan antara pembina dan redaksi di sini, karena saya (lagi2 dalam posisi sebagai orang umum dan eksternal UAD) menilai cara seperti ini malah menunjukkan adanya problem di internal poros. Sebuah problem yang mungkin lebih baik dibahas di rapat organisasi Poros, bukan diekspos ke publik.
Sekali lagi sebagai orang umum dan eksternal (silakan saja anggap saya turut campur, tapi dengan platform website, sepertinya mustahil untuk membatasi pembaca Anda) , saya pikir baiknya redaksi dan pembina itu menahan diri untuk tidak terlalu berlebihan dalam mengekspos pendapat pribadi.
Jika di tulisan2 yang ditulis Prayudha, Yusuf, dll isinya adalah saling mengecam, menganggap pihak lain genit, tapi ingat sebagai media maka Anda juga harus mempertimbangkan pendapat pembaca tentang konten media Anda.
Bagi saya selaku pembaca, Anda2 yang saling mengecam itu ya sama saja, mohon maaf : sama2 cari perhatian
Untuk dik @Nuvy, Jawaban saya: ndak ada yang salah kalau seseorang memanggil orang yang lebih tua dengan namanya langsung. Jangankan cuman kode etik jurnalistik, hukum negara ataupun hukum agama pun ndak ada yang melarang atau mengharamkan.
Saya ingin menanggapi komen di atas, yang berhasil membuat jari² ini gatal untuk membalas. Jadi gini, di dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, terkait kode etik jurnalistik memang terdapat beberapa asas, salah satunya asas moralitas, dan apabila kode etik jurnalistik disangkut pautkan dengan asas tersebut terhadap tolak ukur kesopanan seorang jurnalis dengan kultur masyarakat jawa untuk menggunakan panggilan “Mas, Mbak” atau “Pak, Buk, Pakdhe, Budhe, Akang, Teteh dan sesodaranya”, saya rasa itu salah. Karena kode etik jurnalistik serta produk jurnalistiknya sendiri tidak bisa dipengaruhi oleh kebudayaan, terlebih di dalam sembilan asas moralitas tersebut tidak disebutkan begitu. Hanya saja kebanyakan orang sudah terhegemoni dengan etika deontologis sejak lahir, dimana seseorang harus mengikuti aturan-aturan yang sudah diciptakan di lingkup masyarakatnya.
coba deh besok kalau sudah tatap muka pembelajarannya, situ ketemu guru atau dosenmu yang tidak gila hormat. Setelah ketemu langsung panggil namanya tanpa awalan Mas dan Pak..
Atau kalau ga mau nunggu lama, panggil saja Bapakmu atau Mbahmu dengan nama mereka langsung
Pernyataan atau pertanyaan diatas saya hanya pantas dikatakan oleh guru atau dosen yang gila hormat.
Apa ini yang dinamakan etika jurnalistik? atau standar jurnalistik? seandainya benar, dimana adabnya? manggil dosen/guru tanpa ada panggilan “Pak atau Mas”.