Menyoal Sikap Ambivalen Fakultas Hukum UAD

       Entah apa maksud dan tujuan salah satu staf Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan membagikan secara cuma-cuma surat kabar sebanyak dua bundel tumpukan tinggi  kepada mahasiswa yang tengah lalu-lalang di sekitaran lorong tengah kampus dua, beberapa hari lalu. Sambil mengumbar senyum, staf tersebut juga berulang kali mengucapkan seruan manis kepada mahasiswa untuk segera membaca koran tersebut, nyaris laiknya seorang sales promotion yang giat menawarkan produk.

     Bagi beberapa mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, pemandangan tersebut dianggap seperti peristiwa yang anomali. Ya, sikap dan tutur manis –sambil membagikan koran secara gratis- bukanlah sebuah aktivitas yang umum. Alih-alih santun, staf fakultas dalam kesehariannya berinteraksi dan berurusan dengan mahasiswa cenderung menampilkan imej ketus dan pretensius. Jauh dari kesan sikap yang saya sebutkan di awal paragraf tulisan ini. Sehingga wajar beberapa mahasiswa Prodi Ilmu Hukum bersikap skeptis dengan kejadian tersebut. Pangkal pertanyaan dasarnya adalah, ada apa gerangan?

       Belakangan diketahui bahwa salah satu konten berita yang dimuat di halaman depan surat kabar tersebut memuat perihal kriminalisasi terhadap Sekjen Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam atau familier di telinga dengan sebutan HMI. Meski belum jelas apakah pembagian koran secara cuma-cuma oleh fakultas mempunyai tujuan untuk mengerdilkan HMI secara kelembagaan atau memang sengaja memancing sentimen sektarian antara keduanya, atau justru hanya pembagian gratis semata tanpa ada maksud dan tujuan yang terselubung? Apapun alasannya, yang jelas pembagian koran tersebut berdampak langsung secara signifikan terhadap siklus kaderisasi HMI Komisariat Ahmad Dahlan (Selanjutnya disingkat HMI AD).

         Jauh hari sebelum pembagian surat kabar tersebut, HMI AD sudah melakukan beberapa kegiatan pra kaderisasi secara konsisten dan maraton. Ada kurang lebih lima puluh calon kader yang terjaring dalam soft process recrutment tersebut. Mayoritas di antaranya diisi oleh mahasiswa Fakultas Hukum UAD, selain juga beberapa mahasiswa dari fakultas lain dan kampus-kampus yang berbeda. Namun apa daya, harapan yang tadinya membumbung tinggi untuk menjaring banyak kader, kini ibarat jauh panggang dari api. Banyak calon anggota, khususnya yang “berpaspor” Fakultas Hukum UAD mengurungkan niatnya untuk mengikuti proses kaderisasi. Alasannya beragam. Namun yang jelas, pengunduran diri tersebut jamak terjadi pasca pembagian koran di fakultas.

Baca Juga:  Hati – hati! Jangan Melihat Makrab Menggunakan Kaca Mata Kuda

Mempertimbangkan

      Jikalau memang pembagian surat kabar tersebut tidak mempunyai alasan apapun di baliknya, hendaknya sebelum itu staf Fakultas Hukum berhati-hati, jeli dan teliti dalam mendaras media tersebut. Jangan sampai ketidakhati-hatian dan terburu-buru dalam menentukan sikap dapat berujung pada kerugian terhadap pihak lain, terlebih lagi menjadi kepanjangan tangan yang berpotensi membuka lubang propaganda. Bukankah Garth S. Jowett dan Victoria O’Donnel pernah mengatakan bahwa media yang menjurus pada penggiringan opini dapat memanipulasi pikiran dan merangsang pretensi yang menjauhkannya dari nilai-nilai luhur serta faktualitas?

        Namun jika ditelisik dari sikap yang ditunjukkan oleh staf Fakultas Hukum tempo hari silam serta momentum peristiwa yang relatif bertepatan –silakan baca surat kabar Suara Merdeka edisi 9 November-, ada dugaan pembagian koran tersebut mempunyai maksud terselubung untuk “melumpuhkan” organisasi eksternal yang sedang mengalami masa subur di lingkungan akademik kampus. Sudah menjadi rahasia umum bahwa organisasi eksternal yang tidak sesuai dengan statuta UAD risikonya tidak mendapat legalitas serta tak diberikan izin untuk menggunakan fasilitas kampus.

        Terkait dengan aturan terakhir di atas, hal tersebut tidaklah menjadi masalah berarti bagi beberapa organisasi mahasiswa non resmi, khususnya HMI AD. Sejak awal, para penggagasnya juga sudah menyadari bahwa mandiri dan independen adalah aspek paling fundamental dalam menggerakkan organisasi berwarna hijau-hitam ini. Mereka sadar bahwa organisasi ini bukanlah sesuatu yang taken for granted. Diterima begitu saja, melainkan diperjuangkan. Nilai yang dikedepankan adalah mandiri dan independen, termasuk aspek keuangan yang dipergunakan untuk menghidupi lembaga, dan independen secara politik. Tidak ikut serta dalam politik yang bersifat instan dan pragmatis, melainkan dengan gagasan. Sehingga regulasi yang diterapkan secara ketat di universitas sama sekali tidak berdampak secara signifikan terhadap internal himpunan. Sejurus juga dengan prestasi akademik, minimnya fasilitas dan dana tidak membuat HMI AD dekaden dalam mengukir prestise. Justru itu menjadi tantangan untuk meningkatkan intelektualitas. Realitanya, wisudawan terbaik UAD periode terbaru jatuh kepada Fahmi Latief, mahasiswa Fakultas Hukum yang juga seorang kader aktif Komisariat HMI AD.

Baca Juga:  MKMU UAD dan Konstitusionalitasnya

       Namun, upaya untuk menjegal ternyata tak hanya cukup sampai di situ. Entah sentimen primordial yang sengaja dibangun atau untuk alasan lainnya. Yang jelas, pembagian koran tersebut adalah bagian dari upaya desktruktif yang dilakukan oleh pihak kampus secara sadar. Di sisi lain, sikap tersebut juga tak elok karena tidak sesuai dengan prinsip Islam, yakni fastabiqul khairat, yang berarti berlomba-lomba dalam hal kebaikan.

       Staf Fakultas Hukum entah menyengajakan diri menciptakan situasi yang ambivalen, namun dalam hemat saya kejadian silam sangat paradoks dengan Tujuan Pendidikan UAD –silakan lihat visi misi UAD- yang berbunyi, “Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian dalam rangka memajukan Islam dan meningkatkan kesejahteraan umat manusia”. Peristiwa tersebut hendaknya dijadikan sebagai quo vadis terhadap internal Fakultas Hukum, jangan sampai terburu-buru dalam bersikap yang malah ujungnya berpotensi menciptakan iklim vis-a-vis. Sungguh, kami tak ingin itu terulang kembali. [Wira Prakasa Nurdia]

*Penulis adalah kader HMI AD

Persma Poros
Menyibak Realita