Muruah Kampus Tercemar karena Warga UAD Usil dan Bandel

Loading

Kuliah di universitas Islam tidak menjamin semua penduduknya berkesadaran kehidupan islami. Ini menjadi persoalan yang berlarut-larut. Manusia beridentitas Islam sulitnya minta ampun untuk serius menjalani kehidupan yang islami. Semua ditawar, dinego, bahkan dihindari jika itu berlainan dengan kepentingan diri sendiri.

Kalau bisa, otoritas Tuhan pun direbut untuk menuruti kepentingan diri sendiri. Padahal, “Islam hadir untuk meluruskan yang bengkok, menerangkan yang gelap, dan sebagai pedoman kehidupan,” kata ustaz-ustaz di televisi dan di kampus yang memilki masjid megah tetapi salah kiblat itu.

Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dengan jargon Moral and Intelectual Intergrity ini patut kita curigai. Kehidupan kampus islami yang dikampanyekan dalam poster-poster di dinding-dinding kampus dan di dalam kelas-kelas juga patut untuk kita periksa. Mata kuliah yang berbau Islam itu perlu kita koreksi dan uji kembali.

Tampaknya ada orang usil sekaligus bandel yang mencemarkan muruah kampusnya sendiri sebagai kampus Islam: Muhammadiyah. Pencemaran muruah ini dilihat dari perilaku yang tidak terpuji. Tidak semua warga UAD, tetapi ada!

Berlatarbelakang mayoritas kampus UAD tidak ada kantin, sekaligus untuk belajar berkewirausahaan, maka Jaringan Usaha Mahasiswa (Jarum) di bawah naungan Koperasi Mahasiswa UAD mengadakan Kantin Kejujuran (Kajur).

Dalam praktik Kajur, Jarum menaruh jajanan di meja dan lemari kaca tanpa penunggu, dan pembayarannya dimasukkan ke kotak (bukan) amal atau kadang-kadang di toples dengan lubang kecil seperti celengan sekaligus tanpa penunggu pula. Tidak ada niat lain Jarum mengadakan Kajur ini kecuali untuk memudahkan mahasiswa jajan dan meringankan beban orang tua.

Masuklah pada persoalan utamanya. Ternyata penyelenggaraan Kantin Kejujuran alias Kajur ini rugi dan bekali-kali menomboki. Bukan untung, malah buntung! Niat awal untuk meringakan beban orang tua, pada akhirnya malah membebani orang tua dan diri sendiri.

Baca Juga:  Belajar di Masa Pandemi? Jangan Lupakan Tri Pusat Pendidikan

Kerugian Kajur yang diadakan di kampus tiga dan lima UAD ini, menurut ketua Jarum dari program studi Manajemen mencapai sekitar 40-100 ribu perhari. Tidak mungkin setan mengambil jajan itu meski malam hari. Tidak mungkin pula satpam, cleaning service, atau dosen menggondol jajan-jajan itu, mustahil pula mahasiswa UAD yang makanan setiap harinya mata kuliah aqidah, fiqih, akhlak, dan islam-islam itu. Tetapi, ketidakmungkinan itu menjadi mungkin dan sangat mungkin jika melihat Jarum mengalami fenomena yang biasa ini.

Fenomena ini yang selanjutnya menjadi pekerjaan rumah serius bagi UAD, khususon untuk Lembaga Pengembangan Studi Islam yang tidak dapat diragukan lagi kapasitasnya dalam pemahaman Agama Islam. Adapun, ternyata mata kuliah islam-islam itu belum atau tidak sampai kepada mahasiswa. Kampanye kehidupan islami pun juga demikian.

Dalam Pidato Sastra, Umbu Landu Paranggi, sastrawan yang saat ini berdiam di Bali memperingatkan manusia-manusia yang di Kartu Tanda Penduduk tertulis beragama Islam. Berikut cuplikannya:

“Jangan menjadi manusia yang memburu dan membangga-banggakan pengalaman spiritual tanpa pernah sungguh-sungguh melakoni hidup yang berspiritualitas. Alih-Alih justru terperosok sebagai ‘Penjaja Agama’ tanpa kepekaan cita-rasa kesastraan (alih konteks: islam) yang puitis, estetis, dan memuliakan kehidupan bersama.”

Terakhir, saya menulis ini bukan dalam rangka menjadi humas teman-teman Jarum, tetapi saya merasakan ada yang salah dalam menjalani hidup ini. Kita tidak serius dengan kemanusiaan, kebaikan, pengayoman, dan kejujuran. Kita setengah hati untuk menjalani apa yang namanya kebaikan.

Kalau dalam puisi Emha Ainun Nadjib seperti ini pengejewantahnnya. “Padahal Tuhan pun sungguh-sungguh dalam menjaga setiap nyawa coro dan cacing yang menggeliat-menggeliat. Bahkan, Tuhan sangat-sangat bersungguh-sungguh mengurusi dan menyayangi setiap tetes embun yang tertampung di sehelai daun. Tetapi kita iseng, tidak serius, dan terhadap Allah pun kita bersikap setengah hati.”

Baca Juga:  Freeport dan Sebuah Krisis Perspektif

Dalam hal ini, biar imbang, kita bersama-sama dapat pula menyalahkan teman-teman Jarum yang tidak kapok. Sudah rugi, tetapi tetap ngotot berjualan. Meski begitu, satu hal yang perlu kita beri tepuk tangan yang meriah dari teman-teman Jarum: sudah mempercayai mahasiswa UAD itu baik-baik dan jujur-jujur, sehingga berani menaruh jajanan tanpa penunggu.  

Penulis: Adil

Ilustrator: Halim

Persma Poros
Menyibak Realita