Oboi dan Kitab Birunya

Loading

“Kau bacalah buku ini, Boi! Baca dengan teliti! Kau hanya perlu meniru semua yang ada dalam buku itu, pasti si Sarita bisa kau dapatkan!” ucap Bungas sambil merangkul bahu lawan bicaranya. Oboi, orang yang diajak bicara hanya mengangguk sambil memperhatikan lekat-lekat buku biru yang dipegangnya itu.

***

Mata Oboi membulat sempurna di bawah lampu temaram yang menyinari kamar kecilnya. Pandangannya tak lepas-lepas dari buku bersampul biru, berhiaskan gambar seorang anak SMA yang tengah berdiri dekat dengan motornya. Di saat yang sama terngiang dalam pikiran  tentang cakap temannya, Bungas. Bukan main, si Bungas itu raja dalam hal menaklukkan perempuan, mana mungkin ia tidak memercayai sarannya.

Dibuka halaman demi halaman buku itu, beberapa kali ujung bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman, terbawa oleh nuansa romantik dari buku yang kini dibacanya. Sesekali, terbayang mata bulat wanita pujaannya, rambutnya, mulutnya, caranya tersenyum. Ah, Sarita! Ia mendesah panjang sambil tersenyum–khas seorang bujang pertama jatuh cinta.

Kau hanya perlu meniru semua yang ada dalam buku itu, pasti si Sarita bisa kau dapatkan! Terngiang lagi ucapan temannya, Bungas. Baik, baik, demi kau, Sarita, akan kulakukan! tekadnya. Ia terus membaca halaman demi halaman di buku itu hingga larut malam. Imajinasinya terus menerus mempermainkan realita dan bayangan, sampai tanpa sadar ia tertidur dalam keadaan masih terduduk.

“Oboi! Hey, Oboi! Macam mana ini, sudah seperti kerbau saja kau tidur, bangun, bangun!” Mamaknya kini sudah berada di samping sembari menjewer pipi Oboi yang masih tertidur pulas meski dalam keadaan terduduk.

“Aw, aw, iya, Mak, iya, aku bangun,” katanya sambil memegangi pipi yang kini sudah memerah.

“Cepat mandi sana! Kau tengok itu jam, sudah waktunya kau sekolah, Oboi!”

Pemuda itu kemudian berjalan sembari mengucek matanya yang masih mengabur.

“Kau lakukan apa pula malam tadi sampai susah bangun pagi ini.” Mamaknya tak berhenti juga mengomel.

Kini ia sudah mematut diri di depan cermin yang tertempel di dinding kamarnya. Beberapa kali ia mencoba meluruskan rambutnya ke depan, tapi rambutnya yang ikal melawan lebih sengit–tak mau diganggu hakikatnya yang memang harus bergulung-gulung. Usaha ini dilakukan agar ia terlihat seperti tokoh laki-laki yang digambarkan dalam buku yang diberikan Bungas. Kini, buku itu sudah layaknya kitab yang menjadi panutan hidupnya dalam menemukan cinta.

“Mak! Macem mana ini, rambutku susah kali diluruskan, bantulah sini.”

“Untuk apa pula kau  luruskan rambutmu yang ikal itu, tentu tak bisa, Oboi!” jawab Mamaknya. “Lekaslah pergi ke sekolah, sudah telat kau!”

“Alamak! Beritahu saja dulu bagaimana ini caranya meluruskan rambut, Mak. Aku tak akan pergi jika rambut tak kunjung lurus ke bawah.”

“Ya sudah, kau pakaikan minyak saja pada rambutmu itu!”

Tak pikir panjang ia langsung usapkan minyak yang ada di dapur pada rambutnya hingga terlihat begitu mengkilap dan agak lurus.

“Aku berangkat, Mak!” ucapnya sambil mencium tangan mamaknya.

“Alamak, bau sekali rambutmu itu. Kau pakai minyak apa, Oboi?”

“Tentulah minyak di dapur, Mak,” jawabnya sambil balik badan. “Assalamualaikum!” serunya kemudian.

“Aduh, Bujang … maksud Mamak, kan, minyak rambut milik bapakmu,” ucap Mamaknya yang sudah tak terdengar lagi oleh Oboi.

Lonceng istirahat berbunyi, sedari tadi  ‘kitab biru’ tak lepas dari tangan Oboi. Ia tak hirau pada sekitar yang menatap aneh sambil menekan hidung karena bau rambutnya. Ia masih mencoba lebih menghayati isi buku itu supaya tak salah ketika melancarkan aksinya. Di samping itu, Bungas hanya tersenyum memandangi temannya yang seketika menjadi kutu buku dan berpenampilan aneh.

“Hei, Bungas, bagaimana ini, harusnya tadi pagi sebelum masuk aku sudah mulai melancarkan aksi pada Sarita,” keluh Oboi pada Bungas.

“Tenanglah, Boi, esok hari Sarita masih hidup dan tetap ditakdirkan untukmu, jangan kau khawatir,” jawab bijak Bungas sambil tersenyum ala bos.

Lagi-lagi Oboi hanya mengangguk puas atas jawaban temannya itu.

Keesokan harinya Oboi bangun lebih pagi, siap melancarkan aksi. Rambutnya kini sudah memakai minyak rambut milik bapaknya. Celana pendek biru tua yang sudah meluntur warnanya itu masih dipakai berpasangan dengan baju putihnya yang sengaja  dikeluarkan. Tentu saja atas arahan ‘kitab’nya  Ia segera berlari menuju sekolah.

Baca Juga:  Belajar Sampai ke Negeri Cina

Di padang luas jalan menuju sekolah ia melihat wanita pujaannya, Sarita, berjalan sendiri. Oboi menyungging sebuah senyuman, siap meniru apa yang dilakukan tokoh laki-laki dalam buku yang selalu ia bawa, untuk melakukan pendekatan. Sebelum melancarkan aksinya, ia kembali membuka buku, memastikan tidak ada yang terlewat dari persiapannya, tapi tiba-tiba ia teringat kalau dalam buku itu laki-laki tersebut mengendarai motor. Ah, ia berpikir cepat, kemudian terlihat ada bapak-bapak yang datang mengendarai sepeda yang di belakangnya terdapat sesayuran, ia langsung berlari menuju bapak itu.

“Pak! Tunggu!” Oboi berteriak sambil lari, bapak itu pun menghentikan laju sepedanya. “Turunlah dari sepeda sebentar, Pak …” pinta Oboi.

“Kenapa, Oboi?”

“Turunlah saja, Pak. Aku ingin memberitahu sesuatu.”

Bapak itu pun akhirnya menurut, seketika Oboi langsung menaiki sepeda tersebut dan mengayuhnya dengan sangat cepat, meninggalkan sang empunya yang berteriak sambil berusaha mengimbangi kecepatan laju sepeda, namun tak bisa.

Oboi mengayuh sepedanya menuju Sarita, mencoba mengimbangi jalan sembari berada di sampingnya, tepat seperti adegan dalam buku yang dibacanya. Nalarnya membayangkan adegan dalam buku itu, tubuhnya refleks meniru semua adegannya. Ia terus mengayuh ke depan seperti dalam bukunya, tapi saat ia sadar, ternyata Sarita berhenti berjalan di belakang. Ah, ia menepuk jidat  sambil kemudian memundurkan sepedanya.

Saat berada di samping Sarita, ia memandanginya, Sarita balik menatapnya. Aduh, macam mana ini, kenapa Sarita tak lakukan seperti yang dilakukan perempuan dalam buku itu?

“Apa yang kau lihat, Boi?” tanya Sarita membangunkan lamunan Oboi.

“Ah, tak, tak…” Ia mencoba mengendalikan situasi. “Kau, eh, kamu, Sarita, ya?” tanya Oboi.

“Hah? Tentu saja, kau kan sudah kenal aku dari dulu, Boi!”

“Aku ramal, kita akan bertemu di kantin,”

“Kantin? Kantin mana maksud kau, sejak kapan sekolah kita punya istilah keren macam kantin itu? Atau kau sebut warung Mak Katrin itu sebagai kantin?” tanya Sarita sambil mengerut dahinya melihat keanehan yang terjadi pada Oboi.

Ia tak tahu harus bagaimana bersikap. Di buku, tak ada percakapan macam itu, maka berbaliklah ia mengayuh sepedanya menuju bapak yang masih berlari terengah-engah mengejar sepedanya. Diberikannya sepeda itu sambil tertunduk meminta maaf karena tak henti-hentinya bapak itu mengesah.

“Hei, Bungas, macam mana ini, reaksi Sarita tak sesuai seperti yang dilakukan perempuan dalam buku itu, aku jadi bingung dibuatnya,” keluh Oboi ketika jam istirahat.

“Tenanglah, Boi, baru sekali saja berusaha sudah banyak sekali mengeluh kau ini, berusahalah dulu, nanti kau akan tahu dampaknya.”

Lagi, ia hanya mengangguk mendengar penjelasan sahabatnya itu.

Waktu yang dinantipun tiba, sudah beberapa hari ia menunggu momen ini untuk melancarkan kembali aksinya. Ia berangkat pagi sekali dengan memakai seragam lengkap dengan topi dan juga dasi belelnya.

Bel sekolah berbunyi, anak-anak secara serempak berkumpul di lapangan, semua menghadap pada satu tiang putih yang nantinya akan mereka beri hormat. Di samping itu, Oboi masih sibuk berkutat dengan bukunya di kelas, mengingat baik-baik adegan yang mesti dilakukannya hari ini. Setelah dirasa mantap, ia segera keluar menuju lapangan, tapi bukan menuju barisan teman laki-lakinya, ia malah menuju barisan perempuan, ke samping Sarita.

“Mundur,” kata Oboi pada temannya yang berada di samping Sarita. Terlihat temannya itu tak mengacuhkan perintahnya. “nanti kujajani kau jam istirahat, cepatlah minggir.” Lanjutnya merajuk. Temannya yang perempuan itu pun beranjak mundur sambil memastikan Oboi akan menepati janjinya.

“Oboi? Apa yang kau lakukan di sini? Kena marah kau nanti, kembalilah ke barisanmu,” ucap Sarita yang baru menyadari keberadaan Oboi. Di samping itu, Oboi hanya meliriknya sembari menyungging sebuah senyuman yang, aduhai, tak sedap dipandang sama sekali. Itu semua ia kerjakan karena itu pulalah yang dilakukan laki-laki dalam bukunya.

Selang beberapa lama, apa yang diharapkan Oboi akhirnya datang juga. Melihat Oboi yang tidak berbaris dengan temannya yang lain, guru pengawas upacara saat itu akhirnya angkat bicara.

“Oboi! Apa pula yang kau lakukan di situ? Kembali ke barisanmu sana.”

Aduh, kenapa pula tak digusur saja aku, Pak! Pekiknya dalam hati karena lagi-lagi adegan tersebut tak tercatat dalam bukunya, maka ia hanya diam saja di tempat.

Baca Juga:  Jilbab Asa

“Tak dengarkah kau, Boi, apa yang kucakap?” Bapak Pengawas Upacara itu mulai naik pitam.

“Gusurlah aku kalau bapak berani,” tantang Oboi refleks. Secara tidak sadar sekarang ia telah berani menembus batas peniruan sempurna pada bukunya.

“Alamak! Sejak kapan kau berani menentang gurumu, Boi? Sini, kau, sini …”

Saat tangan bapak pengawas itu merangkul bahunya, entah bagaimana ia merasa bahwa saat itulah momen yang tepat untuk melancarkan aksinya, maka dengan cepat tangannya menepis dengan keras rangkulan itu, ia kemudian keluar dari barisannya.

“Apa maksudnya ini?” tanya Oboi lantang menghentikan ritual upacara saat itu.

Bapak pengawas upacara itu mengerut dahinya. “Apa maksud kau, Boi? Aku hanya mencoba merangkul bahumu,” jawabnya tak mengerti.

Seolah pikirannya telah buntu, tiba-tiba Oboi berteriak kencang dan melayangkan pukulan bertubi-tubi pada bapak pengawas itu, namun lihatlah, tak ada satu pun pukulannya yang berhasil dilayangkan, bapak pengawas itu menepis semua pukulannya, dan terakhir malah membalikkan tangan Oboi ke belakang badannya sampai ia tak bisa bergerak.

“Kesurupan apa kau, Boi? Aneh sekali prilaku kau belakangan ini, ikut bapak ke kantor!” perintah Bapak Pengawas itu setelah Boi berhenti memberontak.

Sarita yang entah kenapa tetiba merasa bersalah karena sikap aneh Oboi belakangan ini kemudian mengkutinya menuju kantor.

Meja kayu dengan tengahnya kaca itu sudah dikelilingi empat orang yang memiliki kepentingan. Kepala sekolah, bapak pengawas upacara, Oboi, dan Sarita.

“Yang tidak berkepentingan silakan angkat kaki dari sini,” ucap Kepala Sekolah sambil melirik Sarita.

Sarita yang merasa dirinya sudah disindir akhirnya berdiri, namun imaji Oboi bergerak kembali, mengulang bayangan apa yang sudah dibacanya. Tubuhnya pun refleks merespons, tangannya dengan cepat menahan lengan Sarita yang hendak pergi.

“Sarita keluar, saya juga keluar!” kata Oboi dingin.

“Hei, hei, lepaskan tanganmu, Boi!” Tangan kepala sekolah itu memisahkan tangan Oboi yang memegang lengan Sarita. “Sejak kapan kau berani memegang tangan perempuan, hah!? Dan Sarita, cepat kau keluar dari sini.”

Entah kekuatan magis cinta apalagi yang Oboi rasa, tetiba saja ia ikut berdiri dan hendak melangkah keluar. Namun, tangan kukuh bapak pengawas upacara itu sudah lebih dulu menurunkan bahu Oboi yang hendak mengikuti langkah Sarita. “Kau duduklah dulu,” titah Bapak Pengawas Upacara lembut.

Setelah Oboi tenang, kepala sekolah akhirnya membuka pembicaraan.

“Ada apa ini, Boi?” tanya Kepala Sekolah, singkat.

“Dia mau menggusur saya, Pak. Memangnya tak ada cara lain yang lebih bijak untuk mengingatkan saya?” seru Oboi sambil menunjuk-nunjuk pada bapak pengawas upacara.

“Cakap apa kau ini, Boi? Siapa yang ingin menggusur kau? Aku, kan tadi hanya ingin merangkul bahumu,” sanggah Bapak Pengawas Upacara.

Pikiran Oboi mengelana, mencari jalan keluar dari percakapan yang tidak terekam dalam buku itu. pada akhirnya ia hanya bisa mengikuti semua alur cerita dalam bukunya tanpa menghiraukan realitas yang terjadi.

“Guru itu digugu dan ditiru! Kalau dia berani menggusur saya, maka saya pula berhak melakukan hal yang sama!”

Kepala sekolah dan bapak pengawas upacara saling tatap kebingungan dengan apa yang diucapkan Oboi. Mereka sama sekali tak mengerti dengan apa yang diucapkannya karena kelihatan seperti Oboi mengatakan hal-hal yang memang sudah dihafalkan. Maka dengan pemikiran yang bijak, kepala sekolah mengerti apa yang kini sedang melanda muridnya.

“Sosok seperti apa yang sedang kau tiru, Boi?” tanya Kepala Sekolah melembut.

Oboi seolah kembali ke daratan, mengambil nafas, kembali pada realitas. Setelah dibujuk beberapa kali, akhirnya Oboi mengatakan semua yang melatarbelakangi prilakunya belakang ini, kecuali tentang Sarita.

“Kau ini orang terpelajar, Boi, berhentilah bersikap seperti orang yang tak beradab. Gunakan nalar dan intuisimu dengan baik! Kau sudah besar, tahu mana yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Mana ada pelajar yang baik menghajar pengajarnya. Mana ada pelajar yang baik meniru hal buruk yang dirasa, didengar, dan dibacanya!

Memang benar, guru itu digugu dan ditiru, tetapi apa kau sebodoh itu sampai meniru hal yang sudah barang tentu kau tahu buruk!? Belum lagi ada pula etika antara murid dan guru. Guru menampar muridnya itu untuk pengajaran karena itu adalah metode terbaik yang dirasa karena muridnya sudah berulah terlalu banyak. Nah, kau, meninju guru kau untuk apa? Memberi pengajaran!? Sudah sepintar apa kau berani mengajari gurumu?

Kehidupan ini pula adalah gurumu, Boi, termasuk buku yang selalu kau bawa itu! Tapi mestikah pula kau contoh hal buruk yang ada dalam buku itu!? Paham kau, Boi, apa yang kucakap?” jelas Kepala Sekolah panjang lebar.

“Paham, Pak. Maafkan aku,” ucapnya dengan penuh sesal.

Sementara itu, setelah Oboi dipersilakan untuk kembali memasuki kelas, Sarita datang menghampirinya.

“Aku sudah tahu penyebab kau berprilaku aneh belakangan ini, Boi…”

“M-maafkan aku, Sarita, aku tak bermaksud …”

“Aku lebih suka rambut ikal kau yang bergelung-gelung tanpa minyak. Aku lebih suka kau yang baik dalam menghormati guru, bukan sok jagoan yang menghajar guru. Aku lebih suka kau yang berlari dari rumah menuju sekolah, bukan yang mengayuh sepeda, Boi. Aku, aku…” Sarita berucap dengan mata berkaca-kaca, Oboi menatapnya dengan lekat. Berjanji dalam hati untuk memperbaiki diri, selalu.

Penulis : Royyan

Editor : Kun Anis

Persma Poros
Menyibak Realita