Orang-Orang di Persimpangan Kiri Kampus

Loading

Berbicara tentang kampus, tentu juga akan berbicara tentang beberapa elemen yang ada di dalamnya, termasuk mahasiswa itu sendiri. Kampus merupakan tempat mahasiswa belajar dan melakukan berbagai macam aktivitasnya. Entah itu aktivitas belajar di dalam kelas atau pun di luar kelas melalui organisasi, komunitas, dan hal lainnya.

            Tidak sedikit mahasiswa yang aktif terlibat dalam berbagai macam kegiatan kampus yang sering diadakan oleh lembaga-lembaga kampus, baik itu di tatanan universitas maupun fakultas. Ada juga mahasiswa yang tidak terlibat, bahkan enggan untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan tersebut dan lebih memilih terlibat dengan kegiatan-kegiatan yang ada di luar kampus. Merekalah yang barangkali sering disebut sebagai orang-orang di persimpangan kiri kampus.

            Pernah suatu waktu saya bertanya kepada teman-teman mahasiswa yang memilih untuk terlibat dengan kegiatan di luar kampus, dan jawaban yang saya dapatkan cukup bervariasi juga. Ada yang mengatakan karena tidak sesuai dengan hati nuraninya, ada juga yang mengatakan karena tidak sesuai ekspektasi, ada pula jawaban yang membuat saya merenung cukup lama, alasan ini seharusnya cukup untuk menampar setidaknya para eksekutif kampus.

            Teman saya beranggapan bahwa kegiatan yang diadakan oleh lembaga-lembaga kampus lebih banyak membodohkan, mendidik mahasiswa menjadi robot yang dikendalikan remot yang mesti patuh kepada siapa yang mengendalikan. Remot bukan mendidik manusia menjadi manusia sehingga nanti dapat memanusiakan manusia, kegiatan-kegiatan yang diadakan lebih banyak bersifat event organizer, daripada kegiatan yang menambah wawasan ilmu pengetahuan. Itu salah satu yang membuat ia lebih memilih kegiatan di luar kampus yang dapat menambah wawasan keilmuannya.

            Setelah dipikir-pikir, jawaban teman saya yang cukup panjang di atas ada benarnya juga. Pasalnya, beberapa kali saya terlibat dalam kegiatan yang diadakan oleh lembaga kampus lebih banyak yang bersifat event organizer, dan lebih liciknya lagi ada pula orang yang memanfaatkan setiap kegiatan tersebut untuk eksistensi personal supaya mendapat pengakuan dari masyarakat kampus kalau dirinya seorang aktivis mahasiswa.

Baca Juga:  Sekapur Sirih Tentang Student Government

            Belum lama ini birokrat kampus mengadakan sebuah poling suara untuk mencari sosok aktivis terbaik. Dan lebih konyol lagi, sang aktivis terbaik hasil poling suara terbanyak tersebut dengan bangga memperoleh gelar tersebut. Dengan senyum yang rupawan serta hati yang berbunga-bunga, si aktivis terbaik tadi maju ke depan panggung menerima penghargaan yang diberikan oleh birokrat kampus tersebut. Kedua pihak kemudian berjabat tangan serta melemparkan senyum ke arah kamera yang siap mengambil gambar mereka. Uh mesranya.

            Sengaja saya menuliskan kembali peristiwa di atas sebagai contoh, agar semua sadar bahwa kampus dan sang aktivis terbaik telah membuat sejarah buruk yang mencoreng nama baik kampus serta para aktivis lainnya. Sang aktivis terbaik tidak pernah merasakan gas air mata atau pun tindakan represif para aparat. Sementara kawan Randi, Poro Duka, Munir, Marsinah, dan lain-lain harus rela kehilangan nyawa demi membela kebenaran. Ah, begitu nikmat dan nyaman menjadi aktivis terbaik kampus.

Menciptakan Ruang Baru

            Kita sudahi membahas aktivis terbaik kampus, karena kalau kelamaan membahasnya nanti bisa diciduk Papa. Kembali kepada orang-orang di persimpangan kiri kampus, atas dasar keresahan tadi, mereka menciptakan ruang-ruang yang menambah wawasan keilmuan dan mengekspresikan diri secara merdeka tanpa ada paksaan ataupun pesanan. Warung kopi misalnya, menjadi tempat berkumpul, berdiskusi tentang keilmuan, dan membahas berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat.

            Selain warung kopi, ada juga beberapa kerabat mahasiswa yang membentuk ruang-ruang baru di indekos atau pun asrama yang menjadi basecamp atau tempat berkumpulnya orang-orang di pinggir kampus tadi. Beberapa kali saya mencoba untuk terlibat dengan mereka, bercengkrama tanpa ada embel-embel kedudukan atau satatus sosial. Di ruang itu semua sama kedudukannya sebagai manusia, saling berbagi pengelaman, berdiskusi tentang keilmuan, bernyanyi, belajar menulis, membuat karangan puisi, membaca puisi, dan bahkan menertawakan nasib sendiri.

Baca Juga:  Catatan untuk Perpustakaan UAD

            Semua begitu sederhana dan bahagia tanpa harus memikirkan proposal kegiatan, laporan pertanggungjawaban setiap kegiatan yang dilakukan, dan tanpa takut dimarahi papa. Tidak ada gelar aktivis terbaik di ruang tersebut, tidak ada yang merasa paling pintar, tidak ada yang menghujat siapa yang paling benar dan siapa yang paling salah. Sekali lagi saya menegaskan bahwa dalam ruang tersebut semua memiliki kedudukan yang sama; sebagai manusia. Sebagai sesama manusia memang sudah sepatutnya memanusiakan manusia.

            Ruang yang berbeda juga diciptakan oleh kawan-kawan mahasiswa lainnya yang diberi label apatis oleh mereka yang sok aktivis. Pernah saya berdialog dengan seorang kawan, ke mana saja dia setelah mengikuti perkuliahan dan kenapa jarang terlihat di kampus setiap kali perkuliahan selesai. Si kawan tersebut bercerita bahwa dia adalah seorang relawan yang mendidik anak-anak di pinggir sungai Kali Code. Pertanyaan yang sama saya ajukan ke beberapa teman lainnya, dan rata-rata sebagian mereka ternyata aktif sebagai relawan pengajar dan tergabung dalam beberapa komunitas atau organisasi yang langsung bercengkrama dengan masyarakat luas.

            Beberapa hal di atas yang membuat saya yakin bahwa kawan-kawan mahasiswa yang dikatakan apatis oleh beberapa orang yang mengklaim sebagai aktivis, bukan tidak mau terlibat dalam kegiatan kampus, melainkan mereka mempunyai alasan tersendiri yang mungkin tidak akan kita ketahui jika kita enggan berdialog dengan mereka atau bahkan mengekslusifkan diri. Untuk mengetahui bagaimana bentuk akar pohon, tentu yang kita perlukan adalah menggali pohon tersebut, bukan hanya sekedar berasumsi.

Wallahua’lambisshawab

Penulis: Haryono Kapitang

Persma Poros
Menyibak Realita