Our Mother’s Land: Perempuan dan Perjuangan

Loading

Febriana Firdaus, penulis skenario film dokumenter Our Mother’s Land mengatakan bahwa latar belakang pembuatan film dokumenternya terjadi karena kekagumannya terhadap perempuan di dalam film tersebut.

“Saya tidak pernah merasakan intensitas perjuangan kelompok masyarakat seperti itu—sampai menyemen kaki. Itu seperti culture shock untuk saya,” ujarnya kepada peserta diskusi Kartini Merawat Bumi, Jumat (02/04).

Selain karena alasan kekaguman, Febri juga menyadari akan kurangnya ruang bagi perempuan untuk bercerita. Selain itu, dalam struktur masyarakat, perempuan dan anak sangat rentan terdampak bencana ekologi dan yang lainnya.

“Jadi, kalau misalnya nanti terjadi krisis air di Kendeng, perempuan bangun pertama kali menyentuh air, bikin kopi, memasak nasi atau memandikan anaknya. Dia yang pertama kali merasakan,” imbuhnya.

Dalam diskusi yang diselenggarkan Jaringan Gusdurian itu, Febri yang sekaligus berprofesi sebagai jurnalis juga berbicara tentang masyarakat yang terbagi dalam kelompok privilege dan underprivilege perempuan. Dalam ceritanya saat meliput perluasan lahan sawit di Papua, Febri mengungkapkan bahwa laki-laki memiliki akses untuk bernegosiasi dalam gerakannya, sedangkan perempuan tidak mendapat akses dan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

“Sehingga ketika ada masalah lingkungan atau bencana ekologi, banyak perempuan tidak siap akan hal itu,” ungkapnya.

Sementara itu, pembicara kedua, Eko Teguh Pripurno selaku dosen di Universitas Pembangunan Veteran Yogyakarta sekaligus penasihat di Gusdurian mengenai diskursus isu lingkungan, perempuan, dan gender dalam film tersebut. Eko menanggapi bahwa di balik laki-laki ada perempuan dan begitu pula sebaliknya. Sehingga, tidak bisa ada keterpisahan antara laki-laki dan perempuan.  

“Film ini merupakan bentuk dari keberhasilan membangun gerakan lingkungan dan perempuan yang harus terus berjalan,” ucapnya.  

Kemudian, melihat fenomena munculnya pemimpin-pemimpin perempuan dan wadah perlawanan isu lingkungan seperti yang ada dalam film tersebut, Eko mengatakan isu seperti ini masih sering dianggap lokal dan sulit membawanya ke ranah nasional. Upaya-upaya perlawanan untuk saling belajar membangun perlawanan baik laki-laki atau perempuan tidak boleh berhenti.

Baca Juga:  Pementasan Teater 42 Bangkit dengan Lakon “Hilang”

“Kapan martirnya di perempuan, kapan di laki-laki adalah satu sistem yang dibangun,” tambahnya.

Lebih lanjut, dalam mekanismenya bentuk seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) nasional yang membangun jaringan nasional harus dikurangi, yang dibutuhkan adalah gairah jejaring antar lokal, saling belajar, dan saling bangun.

“Perlawanan dalam bahasa yang lain adalah membangun keadilan, menjaga bumi sebagai kalimatullah yang harus dilakukan dan tidak boleh berhenti,” pungkasnya.

Selanjutnya, dalam sesi tanya jawab, salah seorang peserta diskusi bertanya bagaimana sebagai individu bisa merawat bumi bersama perempuan?

Menanggapi pertanyaan tersebut, Eko mengatakan bahwa setiap individu pasti memiliki cara, hal kecil bisa dilakukan. Senada dengan Eko, Febri mengatakan sebagai individu yang utama adalah memiliki sikap dan berani memulai membicarakannya dengan orang lain.

Sementara itu, muncul pertanyaan dari peserta diskusi tentang bagaimana bentuk kepercayaan kepada perempuan sebagai Soko Bumi sementara perempuan justru yang paling rentan terhadap diskriminasi. Menggunakan sudut pandang perempuan, Febri menjawab bahwa harus disepakati diskriminasi dan ketimpangan itu ada. Oleh karena itu, akar masalahnya harus dipecahkan dan masyarakat harus terbuka dengan isu tersebut agar terjadi keseimbangan.

“Misalnya kalau ada panel ngomongin soal perempuan merawat bumi tetapi, nggak ada perempuan. Lalu bagaimana? Di mana pengalaman hidup manusia yang berbeda gender bisa terekspresikan kalau tidak dilibatkan,” ujarnya.

Kemudian, Eko menambahkan kesalahan yang terjadi adalah adanya persepsi bahwa perempuan atau laki-laki harus kuat salah satunya. Padahal, seharusnya keduanya harus sama-sama kuat. Menurut Eko, beban yang sama dan seimbang adalah berdasarkan kesepakatan.

Di ujung acara, Febri menyampaikan bahwa setiap orang akan memiliki alternatif yang bisa dilakukan untuk merawat bumi, sesuai dengan profesinya masing-masing. Selain itu, Febri juga mengumumkan bahwa akan ada video bagian dari Our Mother’s Land yang akan dirilis pertengahan tahun 2021 sekaligus peluncuran kolaborasi dengan Dhandy Laksono, dan bersama pembuat film dokumenter lainnya dalam festival film Manusia dan Lingkungan.


Penulis: Dyah Ayu

Baca Juga:  Perundungan Masih Menjadi Wabah di Dunia Pendidikan

Penyunting: Kun Anis

Persma Poros
Menyibak Realita