Pemerintah Harus Baca Buku Arus Bawah

Loading

Judul Buku      : Arus Bawah

Penulis             : Emha Ainun Nadjib

Penerbit           : Bentang Pustaka

Tahun Terbit    : 2019

Cetakan           : Pertama, edisi kedua.

Tebal Buku      : 238 Halaman

Tulisan-tulisan Emha Ainun Nadjib yang diikat dalam buku ini tampaknya masih sangat segar. Semacam baru ditulis kemarin sore. Petjah! Padahal, tulisan-tulisan ini dilahirkan tahun 1991 sekaligus pernah diterbitkan secara bersambung di harian Berita Buana pada 28 Januari sampai 31 Maret 1991. Kendati demikian, persoalan-persoalan politik, budaya, birokrasi, dan konflik sosial yang disajikan dalam buku ini masih sangat relevan dengan kondisi Indonesia dewasa ini. 

Emha Ainun Nadjib yang akrab disapa Cak Nun sejak tahun 1970-an, saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) sudah mulai menulis. Pada tahun yang sama, ia menjadi redaktur rubrik “Insani” di surat kabar harian Masa Kini. Bahkan, rekannya di Persada Studi Klub Iman, Budhi Santhosa dalam sebuah diskusi publik mengatakan bahwa Cak Nun saat masih kelas dua di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta, tulisan esai sastra miliknya sempat diadu dengan Guru Besar Universitas Gadjah Mada Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo. Artinya, kemampuan pria kelahiran Jombang, Jawa Timur ini tidak dapat diragukan perihal tulis-menulis.

Buku berjudul “Arus Bawah” ini sebenarnya pernah diterbitkan tahun 1994 dengan judul berbeda, yaitu “Gerakan Punakawan atawa Arus Bawah”. Tapi, perbedaan judul tersebut tidak memengaruhi substansi nilai dari tulisan. Bahkan, dari sebelumnya hanya kumpulan cerita bersambung, semenjak dibukukan malah menjadi novel yang utuh.

“Sebuah novel yang merunut kembali hakikat rakyat, kekuasaan, dan kesejahteraan,” tulis di sampul buku.  Ya, memang demikian isi buku ini. Dari halaman pertama hingga paripurna, pembaca akan disuguhkan dengan persoalan-persoalan sosial yang terjadi pada masa tulisan ini dilahirkan: 1991.

Cak Nun di dalam buku ini menceritakan persoalan-persoalan saat itu dengan menggunakan latar, waktu, dan tokoh yang berbeda. Gimik tulisan Cak Nun menggunakan satire, sebagai upaya merespon sekaligus mengkritik kondisi saat itu dengan mentransformasi nilai, ide, dan praktik-praktik sosial ke latar dan ruang baru bernama Desa Karang Kedempel. Yes, saat membaca buku ini kita semacam melihat pagelaran wayang dengan dalang bernama Cak Nun.

Buku bersampul gambar Semar ini dibuka dengan cerita hilangnya Kiai Semar di tengah kegaduhan dan kegentingan Desa Karang Kedempel. Namun, kehilangan Kiai Semar tidak menggugah keprihatinan penduduk Karang Kedempel. Bahkan, penduduk pun biasa-biasa saja; tetap bekerja, berkeringat, tertawa, dan tidur. Adem ayem. Padahal, Kiai Semar adalah hakikat posisi penduduk Karang Kedempel di dalam sistem birokrasi. 

Baca Juga:  Penyimpangan Ketuhanan dan Keimanan

Kiai Semar di dalam cerita ini oleh Emha diibaratkan sebagai Dewa yang berperan menjadi rakyat sekaligus sebagai ilham dan ide pembebasan dari monopoli otoritas kaum Pamong yang dilegitimasi oleh mitos-mitos tentang Dewa. Artinya, yang mestinya berkuasa itu rakyat, bukan penguasa.

“Kiai Semar itu rakyat kecil dan Dewa sekaligus. Bahkan, Semar adalah Dewa segala Dewa. Ia sesepuh semua Dewa. Batara Guru pengurus alam semesta pun patuh kepadanya. Kiai Semar atau Hyang Ismoyo itu Dewa Tertinggi, di atasnya hanya ada satu: yakni Sang Hyang Wenang itu sendiri. Dan, kamu tahu Dewa Tertinggi itu rakyat biasa. Karena memang, rakyat lah Dewa Tertinggi. Batara Guru atau Hyang Manikmoyo, serta apalagi para Pamong dari Karang Kedempel, tak lebih dari petugas-petugas sejarah seperti juga Kiai Semar yang mengambil perannya untuk bertakhta di hati nurani rakyat.” (halaman 60).

Tahun saat tulisan ini dilahirkan oleh Cak Nun, dalam buku ini dianalogikan seperti pakem Mahabharata asli yang feodalis, anti demokrasi, rentan terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan, dan mengangkangi segala aktivitas dan kehidupan warga di Karang Kedempel. Fenomena ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Dalam tatanan ke-Mahabharata-an asli di Karang Kedempel Kuno, yang sah untuk punya kehendak hanyalah Dewa dan para Pamong. Seseorang boleh dibunuh atau sepetak sawah boleh direbut Pamong atas nama Dewa. Tata otoriterismepolitik itu tidaklah dibubuhkan terutama dalam aturan-aturan, tapi dihidupkan dalam kerangka konsep spiritual penduduk Karang Kedempel,” (halaman 59).

Sehingga, dari kondisi pemerintahan tahun sekitar 1991 biasa disebut Orde Baru seperti pakem Mahabharata yang feodalistik itu, melalui gerakan punakawan dapat diretas, dihilangkan, dan diganti dengan sistem pemerintahan yang lebih demokratis. Buku ini menawarkan gerakan punakawan itu. Sebab, pakem asli dunia pewayangan, khususnya cerita Mahabharata dari India, Punakawan tidak ada. Punakawan ada ketika wayang oleh para wali di abad 15-16 menjadi media dakwah.

Punakawan hadir sebagai ide, gagasan, serta konsep yang diwujudkan oleh tokoh-tokoh fiktif bernama Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong sebagai upaya merestorasi kondisi agar semakin baik. Selain itu, punakawan dilahirkan oleh para wali diposisikan sebagai rakyat jelata, meski di Jonggring Saloko, tempat aslinya di kayangan menjadi para dewa.

Baca Juga:  Perkenalan, Kesaksian, dan Pesan untuk Penduduk Bumi

Adapun, keterangan terkait fungsi punakawan hadir di Karang Kedempel, di dalam buku ini dapat disimak melalui dialog antara Bagong dan Petruk. Di dalam dialog tersebut Petruk mengatakan jika Gareng, Petruk, dan Bagong ini bertugas ikut Bapak Semar untuk merintis Carangan di Karang Kedempel, membuat gerakan alternatif dari basis akar rumput. Hal ini untuk membuka pintu-pintu yang saat itu ditutup, membuat rakyat Karang Kedempel mengerti bahwa mereka adalah Dewa-Dewa Agung yang memegang kedaulatan tertinggi di Karang Kedempel.

Namun, mendengar cerita kakaknya itu, Bagong malah pesimis bahwa gerakan-gerakan ini akan gagal. Tapi, Petruk kembali mengimbuhi jika Punakawan tidak berhenti karena kegagalan. Sebab, saat itu ada momentum karena penindasan belum membunuh keseluruhan manusia Karang Kedempel, pemberangusan masih mungkin dikurangi, dan pemusnahan belum total.

“Rakyat itu lebih besar daripada segala desa. Rakyat lebih agung dan arif dibanding segala tingkat perolehan ilmu kaum cendekia. Rakyat sanggup hidup tanpa penguasa, tetapi tak sebiji penguasa pun yang pernah sanggup hidup tanpa rakyat.” (halaman 29).

Buku Cak Nun ini sangat cocok dibaca untuk orang-orang yang merasa dianiaya, ditindas, dan jengkel terhadap kondisi saat ini. Atau siapa pun yang mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan riuh rendah serta hiruk pikuk persoalan Indonesia ini.

Khususon, buku ini wajib dibaca pemerintah sekaligus harus masuk ke dalam kurikulum partai politik. Agar, politik yang berlangsung benar-benar yang mengedarkan keadilan dan kesejahteraan. Bukan malah sebaliknya.

Jika kita membaca buku ber-genre serupa yang membahas persoalan sosial, seperti Maxim Gorki atau Pramoedya Ananta Toer, kita akan dikenalkan dengan tokoh bernama Wiranggaleng, Minke, Mellema, Adipati, dan tokoh yang jumlahnya tidak dapat dihitung dengan jari tangan sekaligus asing dan jauh dari kehidupan sosio-kultural masyarakat Indonesia. Tapi, lantaran buku ini, Cak Nun menggunakan tokoh-tokoh sederhana punakawan, seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang sangat akrab dengan sosio-kultural masyarakat. Sehingga, membaca buku Cak Nun ini seperti pepatah mengatakan Sambil Menyelam Minum Air. Artinya, mengenal kembali sejarah dan peradaban Indonesia beberapa abad lalu, sekaligus mencari formula dari setiap persoalan saat ini.

Menilik kondisi akhir-akhir ini yang beberapa pengamat dan aktivis menunding jika pemerintah saat ini sewenag-wenang seperti Orde Baru, buku terbitan Bentang Pustaka ini layak dan harus dibaca oleh warga negara. Sekali lagi, wajib dibaca pemerintah. Sebab, ide dan formula yang dituangkan Cak Nun di dalam buku ini dihimpun dari realitas sosial di Indonesia. Artinya, cerita di dalam buku ini sangat dekat dengan persoalan yang dihadapi masyarakat dan belum lama terjadi.

Sebagai pengunci resensi ini, buku “Arus Bawah” masih relevan dengan kondisi saat ini. Yes,  sistem pemerintahan sekarang mirip dengan Orde Baru. Lebih parah malahan. Jika era Orde Baru saat itu hanya ada satu Soeharto, saat ini banyak sekali Seoharto-nya.

Penulis : Adil

Editor : Anang

Persma Poros
Menyibak Realita