Pemerkosa Bumi Kelas Kakap itu Bernama Korporasi dan Oligarki Tambang

Loading

“Orang berkata “Kami adalah maksud baik”
Dan kita bertanya: ”Maksud baik untuk siapa?”
Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka
Ada yang duduk, ada yang diduduki
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras

Dan kita di sini bertanya:
“Maksud baik saudara untuk siapa?”
“Saudara berdiri di pihak yang mana?”
Kenapa maksud baik dilakukan
Tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota
Perkebunan yang luas
Hanya menguntungkan segolongan kecil saja”

Tahun 1997, tepatnya 1 Desember, di Jakarta, melalui puisi di atas yang bertajuk “Sajak Pertemuan Mahasiswa”, Willibrordus Surendra Broto Rendra alias WS Rendra sudah menggonggongi kekuasaan, khususnya korporasi tambang dan oligarki atas aktivitasnya: eksploitasi dan merusak alam. Artinya, persoalan yang saya akan urai di bawah sudah berlarut-larut. Ya, yang jaya terus jaya dan yang menderita terus menderita. Jika pada saat itu Oligarki Tambang hanya berkutat sekitar keluarga cendana, saat ini oligarki itu melebar ke segala penjuru.

“Habis manis sepah dibuang,” demikian pepatah yang patut untuk disematkan pada pemerkosa bumi kelas kakap: korporasi dan oligarki tambang di Indonesia. Pepatah itu memang sangat dinamis digunakan dalam setiap persoalan. Namun, istilah itu dapat digunakan jika memiliki medan dan komponen makna: enaknya sudah habis, ditinggalkan begitu saja.

Nah, persoalan yang memiliki koherensi terhadap pepatah itu adalah aktivitas pertambangan di Indonesia. Meski sektor tambang cukup waw dalam menyumbang perekonomian di Indonesia, seperti yang diberitakan wartaekonomi.co.id, realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas sektor mineral dan batu bara pada Desember 2018 tercatat mencapai Rp46,6 triliun. Selain itu, energi yang dihasilkan juga sangat berperan dalam kelangsungan kehidupan manusia dewasa ini.

Ribuan lubang bekas tambang saat ini menjadi momok sekaligus batu kerikil di sepatu masyarakat terdampak. Hidup sudah banyak masalah: hutang, tagihan kredit yang mencekik, belum lagi istri dan anak minta ini itu, dan ditambah lubang bekas tambang yang mengancam, membuat hidup serasa mencekam sekaligus menakutkan.

Bak diintai peluru dari segala penjuru. Tidak ada lagi gairah untuk menjalani kehidupan dengan aman. Sebab, sampai saat ini negara juga belum bisa menjamin keamanan dan kehangatan dalam kehidupan bernegara.

Tetapi, selain pihak yang dirugikan, ada juga kok yang diuntungkan dari aktivitas tambang ini: oligarki tambang. Tidak lain dan tidak bukan, seperti yang terdapat di film Sexy Killers, sosok oligarki tambang ini, sesuai namanya “Oligarki” bermukim sekaligus bersembunyi di balik pemerintahan.

Baca Juga:  Pendidikan sebagai Proses Internalisasi Nilai: Antara Cita-cita dan Realita

Mengenai persoalan tambang, hal ini dirasakan oleh Saruji, Warga Desa Makmur Mulia, Kecamatan Satui, seperti yang dikabarkan Koran Kompas (13/01). Pria berusia 48 tahun itu mengatakan, lubang bekas tambang 10 meter di samping rumahnya dibiarkan menganga tanpa rehabilitasi. Padahal, aktivitas tambang di dekat rumah Saruji telah berhenti sejak tahun 2013. Selain itu, aktivitas tambang ini juga merusak fasilitas publik, yaitu jalan raya.

Jalan menuju permukiman warga setempat ikut tergerus lubang tambang. Lantas lubang-lubang itu oleh warga setempat ditutupi dengan karung-karung berisi tanah. “Susah mengharapkan pemerintah. Jangankan menutup lubang bekas tambang, jalan saja tak diperbaiki,” ujar Sahruji seperti yang dikutip Koran Kompas (13/01).

Selain itu, hasil pantauan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan ada 3092 lubang bekas tambang yang belum direhabilitasi. Adapun, daerah yang paling banyak meninggal lubang tambang adalah Calon Ibu Kota Baru Indonesia: Kalimantan Timur.

Dari data tersebut, di Kalimantan Timur ada 1735 bekas lubang tambang yang belum direhabilitasi. Selain itu, ada 814 di Kalimantan Selatan, 163 di Sumatera Selatan, 163 di Kalimantan Tengah, 59 di Jambi, 54 di Bengkulu, 44 di Kalimantan Utara, 22 di Sumatera Barat, 19 di Riau, 9 di Lampung, 6 di Aceh, 2 di Banten, dan 2 di Sulawesi Selatan.Tidak hanya itu, selain jumlah bekas tambang yang ditinggalkan begitu saja, ada juga korban-korban yang meregang nyawa alias meninggal akibat lubang tambang. Masih dalam Koran Kompas, selama 2014-2018 ada 140 orang meninggal. Korban-korban ini tersebar di seluruh Indonesia yang memiliki bekas lubang tambang.

Tentu, siapa pun yang merasa waras akan miris melihat fenomena ini. Sebenarnya tidak berhenti pada miris saja, saya berharap siapa pun yang merasa waras melihat ini, jika Anda dukun, kerjakanlah kerja-kerja sebagaimana dukun kepada oligarki tambang, jika panjenengan Kyai, doakanlah dan tirakati agar mereka tobat, jika sampean sastrawan, buatlah karya sastra yang merecoki kepentingan mereka.

Selain itu, jika Anda setuju dengan tulisan ini, maka sebarkanlah ke rekan-rekan Anda agar punya kejengkelan yang sama terhadap persoalan ini.

Peristiwa semacam ini menunjukkan jika Pancasila, khususnya sila ke satu, dua, dan lima tidak serius-serius amat dilaksanakan oleh oligarki dan korporasi tambang. Lihat saja, soal teologis dilanggar, kemanusiaan alias humanisme dilanggar, dan justice alias keadilan turut dilanggar.

Padahal, dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2010 diatur mengenai kewajiban reklamasi pasca tambang: memantau dan mengelola kondisi lingkungan pertambangan, melakukan wajib reklamasi paling lambat 30 hari usai aktivitas tambang berhenti, dan pemegang izin pertambangan harus melaporkan pelaksanaan reklamasi dan pasca tambang. Tetapi, bebal sekali emang ya, kalau oligarki. Semua saja dilabrak.

Baca Juga:  Tangani Korona, Kepercayaan Publik Merosot terhadap Jokowi

Adapun ganjaran untuk yang melanggar UU tersebut adalah dengan diberikan peringatan tertulis sampai pencabutan izin pertambangan. Sehingga, pada posisi inilah penegak hukum diuji integritasnya. Tentu, outputnya adalah masyarakat terdampak dapat merasakan keadilan, bukan sebaliknya.

Melihat fenomena ini, saya teringat pada ajaran orang Jawa mengenai penghormatan terhadap bumi. Bahkan, orang Jawa memberikan predikat bumi sebagai Ibu Bumi. Sebab, dari awal hingga paripurna kehidupan manusia, berlangsung dan berakhir di bumi. Hidup di atas bumi, makan dari hasil bumi, bahkan dengan suka rela bumi mau menampung kotoran-kotoran manusia.

Tidak berhenti juga, selama sebelum kiamat, bumi merelakan dirinya untuk diinjak-injak manusia. Sehingga, orang Jawa memberikan predikat bumi seperti ibu: penuh kasih sayang dan pengorbanan di dalam asuhan. Meski sesekali ibu juga njewer dan tidak segan-segan memukul dengan rotan ketika anak itu bandel.

Selain itu, etika lingkungan yang (jika) diajarkan di kampus-kampus sudah membahas panjang lebar mengenai hak-hak alam, tumbuhan, batu, gunung, tanah, dan apa pun. Tentu, hal ini diharapkan agar terjadi keselarsan dan kehangatan di dalam kelangsungan hidup bersama.

Persoalan fundamental semacam ini yang hingga saat ini terjadi: manusia merasa menjadi raja di bumi dan bebas melakukan apa pun di bumi, khususnya merusak dan mengeksploitasi alam. Persoalan lain adalah lantaran manusia belum utuh memahami dan merasakan bahwa tumbuhan, alam, hewan, dan mahkluk ciptaan Tuhan lainnya saling menjaga, mengayomi, dan memberikan kasih sayang. Tentu, sesuai dengan kodrat yang sudah Tuhan kasih.

Jika bumi adalah ibu dan manusia adalah anaknya, maka oligarki dan korporasi tambang adalah anak durhaka karena memposisikan Ibu Bumi seperti pelacur yang dinikmati dan ditinggal begitu saja sekaligus mengingkari pengorbanan dan kasih sayang Ibu Bumi.

Kalau kata ustaz-ustaz itu, anak durhaka akan dosa dan masuk neraka. Atau kata legenda, anak durhaka akan dikutuk menjadi batu. Namun, dosa dan kutukan itu akan batal terjadi jika Saudara Korporasi dan Oligarki Tambang yang terhormat taubat nasuha atau taubat yang murni dan sungguh-sungguh.

Saat ini, tinggal tunggu saja kapan Ibu Bumi merespon keadaan seperti saat ini, dan tunggulah hadiah dari Tuhan. Sebab, sejarah manusia yang merusak alam akan dibabat habis oleh Tuhan melalui alam.

Penulis: Adil

Penyunting: Royyan

Persma Poros
Menyibak Realita