Peringati Hari HAM Internasional, AMPUH Bahas Sistem Pendidikan

Loading

Dalam memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) 10 Desember mendatang, forum yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli HAM (AMPUH) melakukan diskusi bertajuk, “Pendidikan, Gratis, Ilmiah, dan Bervisi Masyarakat” di parkiran terpadu Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (2/12).

Panji Mulkillah Ahmad salah satu anggota di Front Mahasiswa Nasional sekaligus pemantik diskusi menyinggung banyak hal terkait isu pendidikan. Ia menyatakan, pendidikan adalah sesuatu yang penting untuk keberlangsungan membentuk peradaban. Tanpa pendidikan, peradaban yang maju tidak akan pernah lahir. “Kita melakukan diskusi ini karena pendidikan tidak gratis, tidak ilmiah, tidak demokratis, serta tidak berorientasi pada kepentingan rakyat,” paparnya.

Dalam waktu yang bersamaan, Panji mencontohkan candi-candi di Magelang yang hilang karena ulah masyarakat yang mengambil batu untuk membuat rumah dan ukiran. Namun begitu, ia menyampaikan bahwa masyarakat tidak bisa disalahkan karena tidak paham. Kalau saja masyarakat belajar tentang arkeologi tentu akan melestarikan peradaban di sana. “Itulah efek tidak memadainya pendidikan kita.”

Senada dengan Panji, Pratama Wasisto Aji salah satu peserta diskusi juga menyinggung terkait isu pendidikan. Menurutnya, menteri baru tidak mengubah begitu banyak kondisi pendidikan hari ini. Pendidikan masih berorientasi pada investasi bukan berorientasi pada kebutuhan masyarakat.

Anggota Serikat Mahasiswa (SMI) Indonesia itu mengeklaim, pendidikan di Indonesia seperti barang dagangan. Kampus dan sekolah lembaga yang menyediakan jasa, sementara mahasiswa dan pelajar adalah pelanggan. Sehingga, ia menginginkan adanya perombakan sistem pendidikan dari bawah, yaitu pendidikan masyarakat. 

Mahasiswa UAD tersebut juga mengharapkan, pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi mampu mengembalikan marwah pendidikan pada hakikatnya, yaitu memanusiakan manusia, kemudian pendidikan harus gratis, ilmiah dalam arti yang diajarkan itu sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat, demokratis karena semua bebas menyampaikan pendapat dan mengabdi kepada kebutuhan masyarakat.

Baca Juga:  MEMBERI RUH PADA BERITA

Pergelaran diskusi tersebut dihadiri oleh berbagai mahasiswa dan forum-forum, di antaranya mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Gadjah Mada (UGM), universitas lainnya, serta forum-forum di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selain itu, pergelaran diskusi tersebut juga dihadiri oleh para pelajar, salah satunya siswa bernama Bentrok yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) Universitas Islam Indonesia (UII). Dalam pernyataannya, ia mengeluhkan sistem kurikulum 2013 (K13) yang membuat resah di institusi pendidikan yaitu SMA dan ke bawahnya karena terlalu banyak tugas.

Ia mencontohkan di sekolahnya para siswa diwajibkan berada di sekolah sejak pukul 7 pagi sampai pukul 3 sore, bahkan ada yang sampai pukul 5 dan 6 sore. Menurutnya, hal tersebut merupakan keresahan, ditambah lagi tugas yang diberikan oleh guru hampir di setiap mata pelajaran. “Saya kemarin sempat ngerjain tugas sampai pukul 3 pagi kemudian besoknya kita diwajibkan sekolah  lagi sampai pukul 3 (sore-red),” tuturnya.

Namun begitu, siswa SMA UII itu menyampaikan jika guru tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena mereka memberikan tugas oleh sebab diatur oleh sistem. Selain itu, ia juga menjelaskan K13 lebih memprioritaskan karakter siswa dan aktif dalam pembelajaran. Namun, ia mengaku kurikulum tahun 1947  lebih berkarakter daripada K13.

“Kalau tidak percaya buktikan saja dengan orang tua kawan-kawan di sini kan lebih berkarakter dibanding pelajar-pelajaran hari ini,” tutur Bentrok.

Bagian dari Rangkaian Hari HAM

Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian acara hari HAM 10 Desember 2019. Rangkaian acara tersebut  diinisiasi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang mengundang berbagai macam elemen, kemudian masing-masing elemen memberikan sumbangsih pemikiran berupa isu-isu yang bertolak belakang dengan HAM itu sendiri.

Baca Juga:  Setengah Hati Fasilitasi Pendidikan Penghayat

Saylin Bihray Muhammad selaku Koordinator Diskusi Isu Pendidikan mengungkapkan, dari pertemuan itu akan dibuat inventaris menjadi 11 isu kemudian didiskusikan pada pertemuan selanjutnya, “Yang jelas ada koordinatornya kalau saya di sini fokus membidangi di isu pendidikan,” tutur Saylin.

Selain diskusi, rangkaian acara yang bertema besar “Desember Kelabu: Nasib HAM Tak Menentu” itu nantinya akan diisi juga dengan panggung seni, panggung budaya, pameran, dan kemudian puncaknya akan diadakan aksi bersama.

Adapun rangkaian acara diskusi yang dilakukan adalah: gender dan minoritas serta perampasan ruang hidup pada 4 Desember 2019, HAM Masa Lalu pada 6 Desember 2019, permasalahan papua pada 5 Desember 2019, Korupsi Perspektif HAM pada 7 Desember 2019, Kebebasan Beragama pada 8 hingga 12 Desember 2019, Pekerja Informal serta Hak Dasar pada 13 Desember 2019, Catatan Akhir Tahun LBH pada 20 hingga 30 Desember 2019, dan aksi 8 dan 9 Desember 2019.

Penulis: Us’an

Editor: Santi

Persma Poros
Menyibak Realita