Permasalahan Sampah DIY Belum Selesai, Walhi Jogja: Kita Sedang Menghadapi Climate Crisis

57 hari sejak penutupan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Piyungan pada 23 Juli hingga 5 September 2023, permasalahan sampah di Yogyakarta masih belum selesai. Salah satu perwakilan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Dimas, mengatakan kebanyakan warga memilih untuk membakar sampah akibat dari regulasi Pemda DIY yang mengharuskan Pemerintah Kota/Kabupaten dan masyarakat untuk mengolah sampahnya sendiri. Hal ini mengakibatkan polusi udara, sehingga pencemaran udara membuat saluran pernapasan menjadi terganggu, terutama bagi orang yang tinggal di sekitar daerah pembakaran sampah tersebut.

“Beberapa warga pun ya, sempat melapor juga ke Walhi, ‘Tetangga saya, itu kalau sore itu bakar sampah di dekat sungai’ Nah, kalau sore itu anginnya ke arah si warga itu,” terang Dimas, dari Walhi Yogyakarta ketika diwawancarai Reporter Poros (14/9/23).

Pada Aksi Kamisan yang diselenggarakan di Tugu Yogyakarta (14/9), Dimas juga mengungkapkan jika dihadapkan dengan situasi tersebut, warga merasa tak enak jika harus menegur tetangganya sendiri.

“Nah, kadang-kadang mereka merasa gak enak mau negur, tapi juga berbahaya,” ungkapnya.

Dimas menambahkan bahwa climate crisis akan menjadi permasalahan di masa depan. Tak hanya itu, menurutnya, banyak penelitian yang menemukan bahwa ikan-ikan di sungai Yogyakarta sudah tercemar oleh mikroplastik.

Lebih lagi, Dimas juga mengatakan bahwa pembakaran sampah ini hanya akan memperparah krisis iklim. Hal ini dikarenakan polusi yang dihasilkan akan meningkatkan emisi dan mengakibatkan pemanasan global.

“Ada penumpukan sampah di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir-red), kemudian solusinya apa? Insinerator dibakar efeknya apa? Emisi lagi kayak gitu. Hari ini kita sedang menghadapi climate crisis bukan hanya climate change. Bukan perubahan lagi, tapi krisis,” tambah Dimas.

Dimas juga mengatakan bahwa permasalahan sampah yang ada haruslah ditangani dengan serius oleh pemerintah.

Baca Juga:  Sumpah Pemuda Rahim Bangsa Indonesia

“Gotong-royong aja nggak cukup, perlu ada kebijakan yang strategis,” kata Dimas.

Di samping itu, perwakilan Jeda Iklim Jogja, Laksmi Shitaresmi mengungkapkan bahwa sebenarnya sampah-sampah tersebut dapat diolah jika ditangani dengan serius oleh pemerintah seperti dijadikan aspal jalan.

Namun, menurut Laksmi, pengelolaan sampah tersebut tidak dapat berjalan dengan lancar dikarenakan selalu terhambat oleh dinas setempat.

“Itu kembali lagi dengan kerjasama dengan dinas setempat, seperti yang kami ketahui dan kami alami langsung biasanya itu dinas setempat atau beberapa lembaga itu,” terang Laksmi Shitaresmi dari Jeda Iklim Yogyakarta saat menjadi pembicara dalam aksi (14/9/23).

Senada dengan Laksmi, Dimas juga mengungkapkan bahwa ketegasan pemerintah dalam pembuatan kebijakan mengenai permasalahan sampah di DIY sangat penting.

“Kekosongan kebijakan mengenai sampah bisa bermasalah di kemudian hari,” ungkapnya.

Sebelumnya, permasalahan sampah di Yogyakarta dimulai saat TPA Piyungan ditutup pada 23 Juli hingga 5 September 2023 akibat tak mampu menampung sampah lagi. Setelah ditutup, Pemda DIY menganjurkan Pemerintah Kota dan masyarakat untuk mengolah sampahnya sendiri. Setelahnya, Pemkot Sleman membuka Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) Tarumartani, Kalasan untuk menampung sampah selama TPA Piyungan tutup. Meskipun begitu, masih banyak sampah yang dibuang ke beberapa titik di Yogyakarta.

Penumpukan sampah di bahu jalan membuat pemerintah banyak memasang peringatan agar tidak membuang sampah sembarangan. Kendati demikian, sampah masih menumpuk di beberapa titik di Yogyakarta. Menurut Laksmi, pemerintah harus terbuka dan bekerja sama dengan elemen masyarakat dalam menentukan kebijakan sampah.

“Pemerintah harus mau terbuka dan bekerja sama dengan masyarakat yang peduli dengan isu ini,” terangnya.

 

Penulis: M. Rafi Baihaqi

Gambar: Aksi Kamisan Jogja

Penyunting: Luthfi Adib

Persma Poros
Menyibak Realita