Pulanglah Bung!

Loading

Seperti biasanya pada bulan Ramadhan, orang perantauan bersiap dan bergegas untuk pulang. Mereka ingin menyobek-nyobek dan melepas kerinduan kepada keluarga yang sudah lama ditinggalkan. Beda halnya dengan anak bernama Wariz, Ia masih saja tetap duduk di kota itu. Wariz melantunkan sajak-sajak bagi kaum yang tertindas serta mencemooh orang-orang yang menindas dengan kuasa.

Rasa ingin pulang menyoret-nyoret batinnya, memeras air matanya karena sudah terlalu lama tak bertatap muka dengan orang tua tercinta. Setiap malam, Ia duduk berdiskusi dan tak lupa meminum kopi di warung kopi langganannya. Ia menghantam kesunyian malam dengan keriuhannya. Meskipun dalam batinnya meronta-ronta kerinduan yang membabi-buta.

Ketika di warung kopi, pertanyaan yang sama acap kali terlontar dari mulut teman-temannya. “Kenapa kau tak pulang Bung?,” ucap temannya yang berasal dari kota tempat ia tinggal. Ia hanya menjawab, “Aku tak punya cukup uang untuk pulang, tiket ke kampungku terlalu mahal.”

Waktu itu Ia ditemani oleh Wisnu, teman seperantauan yang selalu bersamanya di warung kopi. Bila sudah asyik diskusi, mereka berdua sering tak pulang. Di warung kopi itu, sesekali mereka membuat dan menulis sajak hingga larut malam. Agar kerinduan mereka berdua kepada kampung halaman berkurang.

“Kenapa kau tak pulang Bung, sedangkan kau sangat rindu pada keluargamu?” ceplos Wisnu di warung kopi.

“Ah, sudahlah, kau orang yang kesekian kalinya bertanya seperti itu padaku. Sedangkan kau sendiri masih saja tinggal di kota ini,” ucap Wariz.

“Bagaimana aku tidak bertanya-tanya Bung! Aku bisa melihat kerinduan kepada sosok perempuan yang akrab kau sapa dengan Emak dalam sajak-sajakmu,” jawab Wisnu.

Benar ucapan Wisnu, apalagi ketika bulan Ramadhan, kerinduan Wariz kepada sosok Emak semakin berlipat-lipat. Kedua orang tua Wariz tinggal jauh dari tetekbengek perkotaan yang hampir usang. Tapi sekarang, pemerintah di sana ingin membangun pabrik-pabrik kokoh di desa tempat Wariz tinggal.

Baca Juga:  Jilbab Asa

Pembangunan pabrik-pabrik itu menambah kekhawatirannya, karena hutan dan sawah milik warga desa akan dibeli dengan uang yang tak berumur lama. Dari penghasilan hutan dan sawah, warga desa dan khususnya keluarga Wariz bisa terus hidup dan bersekolah hingga saat ini. “Keluargaku tidak akan kenyang dengan pabrik-pabrik itu,” omelan Wariz setiap kali mengingat kampung halamannya yang akan didirikan pabrik. Pabrik milik orang-orang asing yang tak satupun dikenal warga.

“Matilah kau disobek-sobek sepi kota ini hahaha,” ucap Wisnu.

“Sudahlah Bung, kau jangan mengejekku terus,” ungkap Wariz.

Sontak Wariz bicara kepada Wisnu, “Bung, aku sangat khawatir kepada kampung halamanku. Tanah warga desa dan tanah keluargaku akan dibangun pabrik-pabrik yang akan merusak keindahan surgawi desaku.

“Rasa khawatirmu itu gak akan merubah apa-apa di sana. Lebih baik kau pulang saja. Daripada kau di sini hanya melihat berita-berita di televisi tentang kampungmu yang akan dibangun pabrik-pabrik itu,” tegas Wisnu.

“Bukannya aku tidak mau pulang Bung, uang yang tidak menyukupi kepulanganku. Apalagi Bulan Ramadhan ini, tiket-tiket sudah semakin mahal harganya,” ungkap Wariz.

“Kalau seperti itu, mampuslah kau dirobek-robek sepi,” ejek Wisnu.

“Ah kau ini, bukannya memberikanku pencerahan, malah kau mengejekku dari tadi,” keluh Wariz.

“Buat apa aku memberikanmu kata-kata motivasi, sedangkan kau sudah besar seperti ini. Kau bukan anak kecil yang harus dipupuk dengan kata-kata indah. Saranku padamu, kau pulang saja Bung,”  ucap Wisnu.

“Sudah berapa kali aku harus memberitahumu, aku tak punya cukup uang untuk beranjak dari kota ini,”  jawab Wariz.

“Sudahlah, kau tak usah memikirkan uang, kau pulang saja. Mengenai uang, kau bisa pake uangku dulu. Sudahlah Bung kau pulang saja, agar tidak hangus desamu,” tegas Wisnu. [Muhayyan]

Muhayyan
Saat ini sedang menjabat sebagai staf Kaderisasi Pers Mahasiswa Poros Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Tertarik akan dunia sastra, sejarah dan filsafat.