O, sungguh rindu itu telah menguliti tubuhnya. Tidak ada lagi yang menutupi pembuluh-pembuluh darahnya. Bahkan kau bisa dengan leluasa melihat detak jantungnya, kembang-kempis paru-parunya, dan lambungnya yang kosong. Dia tidak akan memarahimu, karena saat ini dia hanya tergeletak sia di atas dipan kayu. Menunggu seorang pria.
Orang bilang perempuan adalah makhluk kuat. Bisa menyimpan rasa bertahun-tahun lamanya. Tak peduli seberapa hebat rasa itu mendobrak dada, mereka tetap tenang. Seakan tak ada yang perlu dibicarakan atau diberitahukan. Padahal jauh di dasar pikiran, mereka tak lagi kuat memapah rindu.
Seperti yang perempuan itu lakukan. Berulang kali dia berkata dia tidak merindukan prianya. Dia hanya menunggu, seperti para pengembala menunggu sapi-sapi merumput di padang gersang. Tapi sesekali dia menangis, sambil tangan lemahnya meremas pelan sarung tangan bercorak batik.
Ketika ada yang bertanya siapa memberinya cincin emas yang terlihat longgar, dia tersenyum lebar. “Priaku.”
Padahal pria itu tidak pernah mendedikasikan dirinya untuk perempuan itu. Tapi toh tidak ada yang mau membantah atau mengingatkan perempuan itu bahwa ucapannya barusan bukanlah kenyataan.
“Setia itu perkara perempuan, bukan pilihan,” ujarnya lemah.
Kepada para pengunjung yang belasan bulan menunggu kematiannya, dia sesekali berbagi cerita pilu nan konyol.
“Aku tak pernah berkata aku mencintai priaku,” dia membuka. “Tapi priaku tahu bahwa aku mencintainya. Dan dia diam saja. apakah semua pria seperti itu?”
Para pengunjung menggeleng ragu, beberapa kepala di barisan belakang mengangguk mantap, tapi perempuan kurus kering itu tidak menyadari.
Sudah lama kami menantikan kematian Jamilah. Belasan bulan kami lewati dengan harap-harap cemas. Tak pernah kami sekali pun mengajaknya berbincang di warung sayur atau pengajian rutin. Serasa dada kami sesak setiap kali mendengar lembut suaranya.
Ibu rumah tangga yang bersuamikan pekerja dinas selalu was-was setiap kali mendapati suami mereka melempar senyum pada Jamilah. Meski bukan lagi rahasia bila Jamilah hanya jatuh cinta pada Sarmin, bendahara desa yang dua tahun lagi menginjak kepala lima. Toh, persetan dengan umur, kehidupan Jamilah selalu makmur setiap kali tanggal gajian. Padahal kerja pun dia tak punya.
Sarmin selalu mengelak bila digoda dengan Jamilah. Dia sengaja memasang wajah marah dan kecewa. Kami tahu jatahnya selalu datang setiap malam Jumat, karena lampu teras Jamilah padam lebih awal dibanding malam-malam lainnya. Tapi hingga kini, tak seorang pun dari kami yang pernah menangkap basah Sarmin mengunjungi rumah Jamilah. Pun begitu dengan Jamilah.
***
Sudah satu bulan Jamilah mengerang kesakitan. Sebagai tetangga yang masih berbudi pekerti, kami membesuknya. Bukan dengan harapan dan doa agar dia segera membaik. Hanya sekadar ingin memastikan, sudah sampai di mana ambang napasnya. Bahkan ada beberapa dari kami yang sudah menyiapkan bacaan yasin di saku celana saat membesuk. Jaga-jaga bila perempuan lemah itu menemui ajalnya.
“Priaku sedang bekerja. Jauh dari kampung. Entah kapan pulang.”
“Dia tidak tahu bila kau sakit?”
Jamilah menggeleng. Sesekali dia mengelap sendiri air liurnya yang encer. Matanya yang menguning tak dapat lagi memandang lekat wajah kami. “Dia tidak perlu tahu. Toh, ini hanya gegara rindu. Dia akan pulang lusa, dan sakit ini akan segera berakhir.”
Salah satu di antara kami berbisik, “Pak Sarmin juga pulang lusa dari kerja dinasnya di ibu kota. Sudah kuduga!”
Tidak sia-sia kami mengucilkan Jamilah selama belasan bulan karena mencoba menggoda para suami. Istri mana yang rela diduakan, jangankan diam-diam, terang-terangan pun tidak ada yang sudi.
“Bagaimana kalau dia tidak pulang? Kau akan sekarat, Jamilah.”
Jamilah menggeleng lagi. “Priaku akan pulang. Aku hanya perlu bersabar.”
Tapi kami sudah terlalu lama bersabar! Kerumunan mendesah berat. Tapi suara yang ditangkap Jamilah adalah desahan amarah yang ditujukan untuk pria yang dia tunggu. “Tenanglah. Jangan salahkan dia.”
Demi Tuhan yang Maha Segalanya, tidak ada yang menaruh dendam pada sosok misterius yang menyebabkan Jamilah sekarat karena rindu.
“Kalau begitu kami akan kembali lusa. Bertahanlah sedikit lagi, Jamilah.”
Kerumunan mulai bubar. Meninggalkan Jamilah yang terus saja meremas sarung tangan bercorak batik.
***
Begitulah. Kami kembali lagi lusa. Jamilah tidak berubah. Matanya makin menguning, air liurnya makin membanjiri sela-sela bibirnya. Ketika melihat kedatangan kami, dia tersenyum lebar. Seakan pria yang dia nanti belasan hari telah berbaur dalam kerumunan kami.
“Apa dia sudah datang, Jamilah? Kau sudah lama menunggu.”
Kami menunggu lebih lama dibanding Jamilah. Bahkan ketika Sarmin kami beritahu tentang hal ini, pria mata duitan dengan kacamata tebal itu hanya mengangguk acuh. Dia bahkan enggan hadir bersama kami. Padahal kami tidak begitu peduli jika mereka benar-benar pernah melakukan hal itu. Yang kami pedulikan hanyalah Jamilah menyerah pada penyakitnya.
Jamilah menggeleng. “Dia sedang dalam perjalanan. Apa kalian menunggunya juga?”
“Oh, ya. Tentu saja! Kami ingin melihat pria yang sudah membuatmu merindu.”
Sungguh, senyum itu, senyum yang begitu manis mengingatkan kami akan keceriaan Jamilah dulu. Betapa dia begitu senang berceloteh di warung sayur, membicarakan apa saja yang bisa mengundang senyum dan tawa tetangga. Senyum itu, meski hadir dari bibir yang terus saja mengeluarkan liur berbau asam, adalah satu hal dari Jamilah yang tidak bisa kami benci.
Akhirnya kami menunggu bersama Jamilah. Menemaninya menanti detik-detik terakhir kedatangan pria yang dia nanti. Dengan harapan, saat dia bertemu pria itu, Jamilah bisa pergi dengan tenang. Dengan harapan desa kami kembali harmonis seperti dulu, bebas dari gangguan orang ketiga dalam keluarga masing-masing.
“Pukul empat sore nanti dia akan berdiri di depan pintu itu. Akan kukenalkan kalian padanya. Akan kukatakan kalian menemaniku menunggunya. Dia akan sangat berterima kasih. Pun denganku.”
Kami tidak begitu mengerti apa yang Jamilah maksud, tapi kami tidak peduli. Masih ada waktu satu jam lagi sebelum pukul empat sore. Satu per satu di antara kami mulai bisa bernapas lega, meski masih dengan perasaan cemas. Takut bila Jamilah mengetahui niat kotor kami, beserta buku yasin yang kami sembunyikan di saku. Takut bila Jamilah sadar bahwa kehadiran kami bukanlah karena simpati atau pun empati, kehadiran ini hanyalah bentuk formal dari pelajaran budi pekerti yang kami terima puluhan tahun lalu. Dan juga untuk menjaga nama baik kami masing-masing.
“Apa kalian akan merindu?” Jamilah bertanya. Matanya tertutup tidak rapat. Sebagian dari kami tidak bisa melepas pandangan dari pintu rumah saat detik jarum mulai bergerak ke angka empat.
Aku menatap Jamilah lekat, dan berkata, “Oh, tentu. Itu sifat alami setiap insan.”
“Kalau aku pergi, apa kalian akan merindukanku?”
Gagap, aku tak tahu harus bagaimana menjawabnya. Kerumunan menatapku sejenak, memberi kode, lalu kembali terpaku di pintu utama. “Ya, tentu, Jamilah!”
Lalu aku mulai terbayang wajah pasrah Jamilah setiap kali kami berjalan menjauhinya di warung sayur. Bagaimana dia berusaha kuat untuk tetap menghadirkan lelucon-lelucon konyol pada kami yang berwajah datar. Sungguh, senyuman manis yang baru saja dia hadirkan, bukanlah sesuatu yang gampang diabaikan. Tapi kami pun sadar, bila lengah, senyuman itu akan merebut suami kami.
Tepat pukul empat, Somad muncul. Kami menatapnya heran, bagaimana bisa penjaga kubur muncul di saat-saat genting seperti ini. Saat kami balik menatap Jamilah, perempuan itu membuka matanya. “Ya, aku menunggunya. Sudah lama aku mengundangnya kemari. Tapi dia selalu sibuk mempersiapkan lahan.” Jamilah tersenyum. “Apakah sudah selesai?”
Somad hanya mengangguk. Kerumunan mulai bubar. Aku kembali pulang. Dalam setiap langkah menuju rumah, aku sadar Jamilah tidak benar-benar menunggu pria yang dia rindukan. Jamilah pun tahu kami menunggu kepergiannya. Jamilah hanya tidak ingin sendirian menunggu kematiannya. Dan di sanalah kita, saling menemani hingga satu di antara kita benar-benar tuntas merindu.*
Penulis : Wika G. Wulandari, mahasiswa Prodi Biologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Aktif sebagai pendengar yang baik di komunitas Jejak Imaji.
*Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah POROS Edisi X Tahun 2017 “DIFABEL : Cerita dan Fakta”

Menyibak Realita
tadalafil side effects tadalafil generic
tadalafil daily online tadalafil online
tadalafil generic cialis without a prescription
https://extratadalafill.com/ buy cialis pills
tadalafil brands cialis cost
where to buy tadalafil on line tadalafil cost in canada
buy generic cialis online with mastercard tadalafil goodrx
304263 714945Incredibly best man toasts, nicely toasts. is directed building your personal by way of the wedding celebration as a result are supposed to try to be witty, amusing and consequently unusual as nicely as. finest mans speech 346615
cheap cialis pills for sale prescription tadalafil online
plaquenil corona
Z
Attractive section of content. I just stumbled upon your site and in accession capital to assert that I acquire in fact enjoyed account your
blog posts. Anyway I’ll be subscribing to your augment and even I achievement
you access consistently fast.
Некероване кохання 14 серія Некероване кохання 14 серія
yunb ddnznz Смотреть онлайн сериал Некероване кохання / Любовь без тормозов 14 серия
Некероване кохання / Любовь без тормозов: 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16 СЕРИЯ (украина)
comprar viagra en farmacia
At this time it appears like BlogEngine is the best blogging platform available right now.
(from what I’ve read) Is that what you are using on your blog?
Heya i am for the first time here. I came across this board and I to find It truly helpful & it helped me out a lot.
I am hoping to present something back and help others
like you helped me.
Pretty section of content. I just stumbled upon your web site and in accession capital to assert that I acquire
actually enjoyed account your blog posts. Anyway I’ll be subscribing to your feeds and
even I achievement you access consistently fast. ps4 games https://bitly.com/3nkdKIi ps4
Just want to say your article is as astonishing. The clarity
for your submit is just excellent and that i could assume you’re an expert on this subject.
Fine together with your permission let me to seize your RSS feed to keep up to date with impending post.
Thanks a million and please continue the gratifying work.
quest bars https://www.iherb.com/search?kw=quest%20bars quest bars
Hey! Do you know if they make any plugins to assist with SEO?
I’m trying to get my blog to rank for some targeted keywords but
I’m not seeing very good success. If you know of any please share.
Thank you! scoliosis surgery https://coub.com/stories/962966-scoliosis-surgery scoliosis
surgery
Appreciate this post. Let me try it out. scoliosis surgery https://0401mm.tumblr.com/ scoliosis surgery
Keep this going please, great job! cheap flights http://1704milesapart.tumblr.com/ cheap flights
bookmarked!!, I like your website! quest bars http://bit.ly/3C2tkMR quest bars
Wonderful blog! Do you have any tips and hints for aspiring writers?
I’m hoping to start my own blog soon but I’m a little lost on everything.
Would you advise starting with a free platform like WordPress or go
for a paid option? There are so many options out there that I’m completely confused ..
Any ideas? Kudos! asmr https://app.gumroad.com/asmr2021/p/best-asmr-online asmr
http://buypropeciaon.com/ – Propecia
Excellent site you have got here.. It’s hard to find excellent
writing like yours nowadays. I truly appreciate people like you!
Take care!!
I’ve learn several excellent stuff here. Definitely value bookmarking for revisiting.
I wonder how much attempt you put to make this type of fantastic informative web site.
Thanks very interesting blog!
I’m pretty pleased to discover this website. I wanted to thank you for ones time for this
particularly fantastic read!! I definitely savored every bit of it and i also have you
saved as a favorite to look at new things on your web
site.
Thank you for the auspicious writeup. It in fact was a amusement account it.
Look advanced to far added agreeable from you!
By the way, how can we communicate?
cialis tadalafil