Saatnya Manusia Bebal Kembali pada Tuhan

Loading

Salah satu formula dari segala persoalan manusia adalah agama atau Tuhan. Hukum-hukum Tuhan di dalam kitab suci atau melalui para nabi merupakan hadiah kasih daripada penemuan manusia. Karena itu, St. Thomas, menilai alasan ketidakpastian keputusan manusia, khususnya dalam masalah khusus dan rumit, karena orang-orang membuat keputusan yang berbeda-beda mengenai Tindakan manusia. Filsuf dan teolog yang memengaruhi filsafat politik pada eranya tersebut juga mengatakan bahwa ketidakpastian keputusan manusia dikarenakan lahirnya hukum yang berbeda-beda dan bertentangan. Oleh karena itu, agar manusia bisa tahu sekaligus mengerti tanpa ragu-ragu terhadap apa yang dia lakukan dan harus patuhi, menurut St Thomas, kiranya perlu bagi manusia untuk diarahkan pada Tindakan yang benar, dan Tindakan itu adalah yang diberikan oleh Tuhan. Sebab, hanya hukum Tuhan yang tidak pernah salah.

Kemudian, St. Thomas menggambarkan bahwa iman dan akal merupakan bagian dari struktur besar, sebagaimana kasih menyempurnakan alam, tutup menyempurnakan kendi, dan sejenisnya. Ada dialetika antara kedua unsur ini, iman dan akal, yang saling melengkapi dan menyempurnakan.

Namun, wacana tentang ketuhanan atau hal-hal yang menyangkut agama tampaknya tidak laku pada kehidupan manusia zaman sekarang. Sebab, Tuhan atau agama diperkenalkan seperti polisi, preman, penjahat, dan hal-hal yang urusannya menghukum manusia. Tuhan tidak diperkenalkan sebagai pembawa kabar gembira dan wahyu sebagai bukti cinta kasih terhadap makhluknya. Padahal, Tuhan sangat serius dengan kehidupan manusia, bahkan nyawa cicak, semut, dan makhluk terkecil pun dijamin hidupnya oleh-Nya.

Hanya manusianya saja yang bebal. Selalu menawar dan menolak hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan dirinya. Boleh-boleh saja hal ini terjadi. Sebab, Tuhan pun sangat-sangat memberikan kebebasan terhadap manusia: mau percaya silakan, mau sebaliknya silakan. Manusia tidak punya kesadaran sedikit pun kalau dirinya tidak bisa memproduksi air mani sendiri, tidak bisa mengatur detak jantungnya sendiri, tidak bisa menjadwal setiap hari buang air berapa kali, dan tidak mau mengakui kekurangan-kekurangannya ini.

Dua tahun lalu, Emha Ainun Nadjib menuliskan tentang hal yang paling mendasar dan utama dari sifat durhaka manusia, yaitu arogansi manusia. Arogansi manusia berarti berlaku seakan-akan manusia menciptakan dirinya sendiri. Puncaknya, menurutnya adalah manusia yang memproklamasikan “Hak Asasi Manusia”. Peristiwa inilah yang kemudian mengikis eksistensi Tuhan dari kehidupan manusia.

Lebih lanjut lagi, Emha menuliskan bahwa hal ini bukan hanya durhaka, tapi tidak rasional, tidak ilmiah, tidak bernalar, dan seolah-olah ia tidak punya akal. Memenggal hilir dan hulu, dan menggelapkan asal usul-usul. “Tidak setia kepada sebab-akibat,” tulisnya.

Baca Juga:  Mahasiswa Hukum Harusnya Turun ke Masyarakat, Ketidakadilan Menjamur di Sana.

Karena ketidakjujuran, tidak rasional, dan tidak mendasarnya manusia bersikap seperti ini, membuat pilihan-pilihan manusia pun didasarkan atas rasional manusia. Manusia gedibakan mrono, biyayakan mrena menghabiskan energi untuk mempertengkarkan kebenaran masing-masing. Padahal, keberaran yang disangka seorang manusia, belum tentu kebenaran bagi manusia lain. Angka enam benar bila dilihat dari bawah, namun akan salah bila dilihat dari atas. 

Kemudian, masih ada kebenaran kolektif, seperti hasil kongres, pemufakatan nasional, dan sejenisnya. Namun, dari berbagai kebenaran itu, kita mesti mencari kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran yang berasal dari Tuhan. Salah satu konsep kebenaran dari Tuhan adalah maslahat untuk manusia dan alam.

Sudah berapa juta tahun manusia hidup di dunia? Lama, bahkan hingga tak terhitung. Namun, tetap saja manusia bebal. Saya curiga, jangan-jangan virus korona yang menjadi momok manusia kini adalah peringatan dari Tuhan. Atau Tuhan lagi ngambek karena selama ini dirinya tidak diakui oleh manusia? Tidak ada yang tahu jawaban pastinya. Namun, dengan perangkat iman dan akal tadi, kita bisa merengkuh rasionalitas dari keadaan pandemi saat ini.

Emha Ainun Nadjib, seorang budayawan, beberapa bulan yang lalu menuliskan tentang rasionalitas-rasionalitas dari keadaan manusia dan virus korona saat ini. Diambil dari laman daring Caknun.com, ada lima poin penting yang ditorehkan olehnya, yaitu:

  1. Tak seorang pun kecuali Allah yang mengetahui ‘ainul hal dan asbabun nuzul coronavirus: kenapa dilimpahkan saat-saat ini, kenapa dari Wuhan, Negeri Cina ke seluruh dunia, dan berbagai kenapa lain di sekitarnya.
  2. Tak satu makhluk pun di seluruh bumi yang berposisi sanggup menjamin dirinya merdeka dari limpahan coronavirus. Termasuk manusia yang paling sehat badannya, paling benar kehidupannya, serta paling baik akhlak dan perilakunya.
  3. Manusia yang terlimpahi coronavirus belum tentu manusia paling berdosa, dan yang terhindar darinya belum tentu manusia yang paling berpahala. Semua regulasi dan sebab-akibat dalam kehidupan manusia berada mutlak dalam lingkup INNALLOHA ‘ALA KULLI SYAI`IN QODIR dan MIN HAITSU LA YAHTASIB Allah yang manusia tak mampu menghitungnya dengan ilmu setinggi apa pun dan pengetahuan seluas apa pun.
  4. Jika coronavirus adalah azab dan balasan Allah: Yang paling mendekati batas rasionalitas manusia adalah coronavirus itu dilimpahkan oleh Allah atas dasar dua sebab. Pertama: sikap takabur, kesombongan dan pengingkaran umat manusia dalam peradaban abad 21 terhadap ada dan peran Allah Swt. atas kehidupan mereka—melebihi Iblis. Manipulasi mereka atas nilai-nilai hakiki kehidupan, melampaui Dajjal. Serta keserakahan dan tak tahu batas nafsu mereka melebihi Ya’juj-Ma’juj. Kedua: Kebudayaan dan sikap hidup global umat manusia yang hampir seluruh pembangunan kebudayaannya sangat jelas menomorsatukan keduniaan, materialisme, dan hedonisme—sekaligus meremehkan Allah swt dengan konsep Akhirat-biYadihil KHOIR-Nya.
  5. Allah Swt. melimpahkan coronavirus bisa merupakan azab, hukuman dan balasan, atau bisa juga merupakan rahmat, ujian atau peringatan—bergantung pada pilihan, sikap, positioning yang diambil oleh manusia sendiri.
Baca Juga:  Membaca Semesta Memahami Bumi

Kembali lagi pada persoalan bernegara kita, dari berbagai diskursus idealitas bernegara, menunjukkan bahwa negara diselenggarakan mesti berbasis pada keadilan. Sebab, negara merupakan institusi organik dari sifat dasar manusia: makhluk sosial. Makhluk yang hanya bisa hidup bila bersanding dan bebrayan dengan makluk lain, terutama manusia.

Lantaran mengabaikan nilai-nilai dari Tuhan dalam menentukan keputusan, alhasil sampai saat ini negara yang berbasis keadilan belum bisa diwujudkan. Bahkan, St. Agustin juga memberi kritik terhadap kondisi bernegara yang sekuler. Menurutnya, keadilan sejati mencakup lebih dari sekadar kesediaan warga negara untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum manusia. Namun, keadilan semacam ini mesti sejalan dengan hukum Tuhan. Selain itu, St. Agustine mengecam negara sekuler murni dan menekankan dampak menghancurkan yang terjadi karena penghapusan Tuhan dari kehidupan orang-orang.

Pernyataan “Tuhan sudah mati” dari Zarathustra di bukunya Nietzsche sangat tepat untuk menunjukkan kondisi hari-hari ini. Ya, Tuhan sudah mati di dalam diri orang-orang modern. Sebab, seluruh keputusan dan kebijakan-kebijakan tidak didasarkan pada Tuhan. Terlebih lagi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk mempersempit terlibatnya Tuhan di dalam kehidupan manusia.

Saat ini, kita hanya akan menunggu, apakah dunia akan dihancurkan atau diterjang banjir besar seperti di zaman Nabi Nuh dulu atau tidak. Dan ketika zaman Nabi Nuh kala itu, hanya orang-orang yang beriman kepada Allah dan nabi yang diselamatkan melalui perahu besar. 

Persma Poros
Menyibak Realita