Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir; Menjawab Teka-Teki Kebudayaan

Loading

Penulis                                     : Marvin Harris

Penerjemah                            : Ninus D. Andarnuswari

Penerbit                                  : Marjin Kiri

Tahun terbit, cetakan ke     : Mei 2019, pertama

Jumlah halaman                     : 262 halaman

Alasan lain mengapa banyak adat dan pranata tampak misterius adalah karena kita telah diajari untuk menjunjung tinggi penjelasan “spiritual” yang rumit atas fenomena kebudayaan, alih-alih penjelasan yang membumi [yang] terbangun dari soal perut, seks, energi, angin, hujan, dan fenomena lain yang biasa dan teraba. -Marvin Harris

Apa yang terlintas di benak kalian ketika melihat judul buku ini untuk pertama kali? Bingung dan penasaran? Sama, saya juga begitu.

Buku yang terbit pertama kali di Amerika Serikat tahun 1974 dengan judul Cows, Pigs, Wars, and Witches: The Riddles of Culture oleh Random House, Inc adalah buku antropologi kajian budaya gubahan Marvin Harris yang akan menebas segala kebingungan kita mengenai judul bukunya.

Beralaskan riset yang banyak ia lakukan dan menyerap berbagai penelitian dari antropolog ternama lain untuk menunjang tulisannya, menjadikan buku ini patut diacungi jempol dengan segala daya dan upaya Harris, begitu panggilannya. Pada bab pertama, kita diajak untuk menyelami penasaran kita ihwal sapi yang dijadikan hewan suci oleh rakyat India, sehingga menjadikannya tabu jika memakan hewan tersebut. Bahkan, petani miskin India rela kelaparan ketimbang melanggar hal yang mereka anggap tabu tersebut.

Berangkat dari kacamata Harris, ia mengganggap hal tersebut dapat dijelaskan dengan penjelasan pragmatis, yaitu fundamentalnya fungsi sapi sebagai sumber nutrisi (susu), bahan bakar kompor, dan pupuk. Sudah terlihat jelas bahwa hewan tersebut sangat menguntungkan secara ekonomis dan ekologis bagi petani India.

Sekali pun sapi-sapi tersebut akan mati atau bahkan sudah mati, mereka tetap keukeuh tidak akan memakan daging tersebut. Bukankah hal tersebut adalah bukti tak terbantahkan adanya praktik ekonomi merugikan yang tidak ada penjelasannya selain tabu keagamaan atas penyembelihan dan konsumsi daging sapi? Tanya Harris dalam tulisannya.

Baca Juga:  Persoalan Kesenjangan Serius di Balik Genosida Ambisius dalam Film The Purge: Anarchy

Ia pun sejatinya tidak setuju dengan adanya penyembelihan yang tabu dan anti-daging sapi terhadap mempertahankan hidup dan kesejahteraan umat manusia. Sebagai contoh yang dipaparkan di buku ini, jika petani India memotong sapi yang sudah jompo dan akan mati, para petani bisa mendapat beberapa uang untuk mengganti dan memperbaiki lauk pauk kehidupan dapur keluarganya.

Pada masa kekeringan dan kelaparan pun, sesungguhnya para petani tergoda untuk menyembelih atau menjual ternaknya. Tetapi, kendati demikian mereka lebih memilih bertahan hidup dalam kesengsaraan dan mengelak keinginan tersebut dengan dalih ketika musim hujan datang, mereka tidak akan bisa membajak sawah.

Terlihat secara gamblang bagaimana perlakuan sapi di India sehingga dapat dikatakan suci oleh mereka. Harris ingin memaparkan pemahaman ilmiah mengenai kereligiusitasnya orang Hindu di India terhadap sapi sebagai hewan yang disucikan.

Hal yang hampir sama di bab selanjutnya, dari buku ini Harris membeberkan para pencinta dan pembenci babi. Pencinta babi fanatik  yang berlokasi di New Guinea dan Kepulauan  Melanisia Pasifik Selatan, dan juga menjelaskan mengapa orang Yahudi dan Islam mengharamkan babi.

Bab perihal perang dijabarkan olehnya, bahwa beberapa pertanyaan seputar mengapa orang maring sangat doyan perang, serta diikuti alasan dan tujuan mereka melaksanakan ibadah perang. Tentu dengan penjelasan riset yang sangat transparan dari beberapa antropolog atau ahlinya yang ditulis elok oleh Harris.

Di bab terakhir disediakan bab bertajuk “tukang sihir”. Diperkirakan 500 ribu orang dituduh sebagai tukang sihir dan dibakar hingga tewas di Eropa antara abad ke-15 dan 17. Dalam bab ini banyak terungkap praktik-praktik otoriternya pemerintahan Eropa kala itu terhadap rakyat, yang jelata terutama, dikarenakan sebagian para rakyat elite terlindungi oleh jabatan. Rakyat jelata Eropa yang tertuduh tersebut dipaksa mengaku telah bekerja sama atau bersetubuh dengan setan sebagai suatu perjanjian yang pada dasarnya mereka tidak lakukan.

Baca Juga:  PERKEMBANGAN ISLAM DI DUNIA

Pemerintah atau antek-antek pemerintah tepatnya, mendesak bahkan menyiksa rakyat tersebut dengan berbagai cara yang tidak manusiawi. Seperti digantung terbalik, kaki di atas kepala di bawah sembari tangannya diikat. Alhasil, mereka terpaksa berbohong dengan mengiyakan tuduhan-tuduhan tersebut demi menyelamatkan dirinya dari siksa keji pemerintah.

Bahkan, selain disiksa pun mereka harus membayar untuk jasa para penyidik dan sudah terlihat jelas bahwa penyidik adalah orang-orang bagian dari pemerintahan. Harris ingin memaparkan bahwa kekuasaan dan uang bisa dengan mudah melegitimasi sesuatu untuk melakukan hal yang kita anggap keji, namun bagi mereka tidak.

Buku ini banyak menggunakan kata yang jarang kita pakai sehari-hari, biasanya bisa kita jumpai di jurnal atau tulisan riset. Sehingga, membuat pembaca harus mikir dua kali untuk memahami kata tersebut sembari membuka KBBI. Alih-alih membingungkan hal tersebut, justru malah menambah esensi, nilai, dan mutu buku ini, ditambah banyaknya data yang diambil dari riset para antropolog terkenal yang sudah jelas kecakapannya di dunia antropologi kajian budaya.

Harris pun selalu memberi kesimpulan singkat sebelum suatu bab berakhir sebagai gambaran kesimpulan keseluruhan yang akan diimajinerkan dan disimpulkan sendiri oleh pembaca. Pembuka bab-bab selanjutnya disajikan sangat sistematis tanpa ada bab sumbang di antaranya. Menampik kelebihan-kelebihannya, ternyata buku ini memiliki beberapa kalimat yang agak tidak koheren, mungkin karena buku ini adalah buku terjemahan.

Tetapi, tetap saja sang penerjemah buku ini sangat luwes dalam mengartikan kalimat per kalimat, walau pun ada beberapa yang tampak kurang jelas, tetapi tetap dalam makna yang mudah dipahami. Buku ini ternyata banyak menuai kecaman lantaran mencoba mengulik dan memberi pemahaman ilmiah terhadap tabu-tabu religius. Namun bagi Harris, objektivitas dan peran penjelas ilmu pengetahuan harus diperjelas lagi-lagi diselamatkan.

Pada bagian catatan penutup, akhir halaman dari buku ini, menjelaskan antara Marvin Harris dan materialisme kultural dengan bahasa yang tidak rigid dan penuh makna. Sehingga, pembaca akan merasa tertuntaskan segala penasarannya mengenai kenyelenehan suatu budaya beserta penjelasan mengenai ilmu antropologi.

Buku ini sangat cocok dibaca oleh siapa saja; siswa, mahasiswa, kaum intelek, tukang sayur, pejabat, dan presiden sekali pun, asalkan mereka penasaran terhadap teka-teki kebudayaan yang nyeleneh dan mencari jawabannya melalui pendekatan pemahaman ilmiah. Buku ini juga mampu menggiring kita ke pemikiran objektivitas suatu hal agar tidak mengada-ada dan ada penjelasannya.

Penulis : Wanda

Persma Poros
Menyibak Realita