Sidang Kelima Gugatan Warga Wadas, Koalisi Advokat Temukan Dugaan Manipulasi Data

Loading

Salah satu advokat yang tergabung dalam Koalisi Advokat untuk Keadilan Gempa Dewa, Hasrul Buamona, menjelaskan adanya dugaan manipulasi data yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah saat sidang kelima kasus penambangan kuari di Desa Wadas. Dugaan tersebut didasarkan atas temuan adanya tanda tangan palsu yang dilampirkan oleh pihak tergugat. Menurut keterangan empat saksi di dalam persidangan, masyarakat tidak pernah menerima izin tersebut.

“Saksi kemudian tidak membenarkan itu karena yang mendukung izin lokasi tidak lebih dari 240 orang. Hanya 15 sampai 20, kira-kira seperti itu,” ujar Hasrul (9/8).

Sementara itu, advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ikatan Advokat Indonesia Ashadi Eko mengatakan surat keterangan yang dikeluarkan oleh kepala desa atau kades tidak bisa dipertanggung jawabkan. Surat tersebut berisi pernyataan 240 warga Wadas yang setuju dengan penambangan kuari dan surat keterangan tahun 2018 yang berisi surat absensi yang menurutnya tidak diketahui tujuannya apa.

Nah, seolah-olah itu ada (sosialisasi-red), tetapi warga itu tidak tahu kapan, tiba-tiba ada hasilnya. Tidak pernah ada sosialisasi, tidak pernah ada apa-apa, tahu-tahu keluar angka gitu, loh,” ujar Ashadi.

Sementara itu, Julian Dwi Prasetya selaku advokat untuk keadilan Gempa Dewa juga mempertanyakan kredibilitas Kades tersebut. Menurutnya, Kades hanya menyampaikan data yang tidak jelas dan berupa pernyataan saja.

“Ya, kita tahu kepala desa naik itu dengan janji-janjinya. Kita, kemarin menunjukkan surat perjanjian antara warga wadas dengan kepala desa, ternyata dia tidak menepati janji. Nah, lalu hari ini orang itu (Kades-red) dipergunakan pernyataannya oleh tergugat. Perlu kita pertanyakan kredibilitas ini, apa iya harus kita percaya,” jelasnya.

Baca Juga:  Upacara HUT RI ke-73 di Baron : Upaya Melawan Trauma pada Laut

Kemudian, Kepala Biro Hukum Sekda Provinsi Jawa Tengah sekaligus kuasa hukum tergugat, Iwanuddin Iskandar mengatakan bahwa sosialisasi tidak diwajibkan dan dalam pembaruan memang tidak ada sistem sosialisasi. Menurutnya, seharusnya sudah ada keberatan dan gugatan ketika diadakannya Izin Penetapan Lingkungan (IPL) yang pertama kali pada 2018.

Menyangkal hal tersebut, Hasrul mengatakan bahwa pembaruan izin pengadaan lahan yang melebihi batas waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang harus dikaji ulang. Hal ini merujuk pada UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang memiliki jangka waktu dua tahun dan perpanjangan satu tahun. Senada dengan Hasrul.

Hal yang sama disampaikan Julian. Menurutnya, izin Bendungan Bener yang diterbitkan pada 2018 sudah habis pada 2020. Selain itu, bagi Julian, pada proses ulang itu—dari proses persiapan sampai perencanaan—ada proses sosialisasi, membuat dokumen izin lingkungan, dan membuat tahapan perencanaan lagi di dalamnya.

Julian juga menjelaskan bahwa permasalahan substansial tidak dilalui oleh pihak tergugat, padahal sudah ada dalam UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Peraturan Presiden No. 19 tahun 2021.

“Itu sudah jelas kalau memang ada sisa tanah dan instansi yang memerlukan tanah masih belum selesai membebaskan lahan tersebut, maka dia wajib mengulang prosesnya sejak awal,” pungkas Julian.

Penulis dan Reporter: Solichah (Anggota Magang Divisi Redaksi)

Penyunting: Dyah Ayu

Persma Poros
Menyibak Realita