Teknologi Berkembang, Hoax Tidak Dapat Dikendalikan

Loading

Kemajuan teknologi di era digital memberikan pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat luas. Dengan semakin berkembangnya teknologi dapat mempermudah masyarakat untuk mengakses informasi. Munculnya media daring saat ini mempermudah penyebaran informasi yang sebelumnya hanya didapat dari media seperti koran, radio, televisi dan lainnya yang sifatnya terbatas.

Namun, media daring memiliki dampak positif maupun negatif bagi kehidupan masyarakat. Dampak positif dari penggunaan media daring ini salah satunya yaitu dapat menerima informasi dengan cepat dan memiliki jangkauan yang luas, sedangkan dampak negatifnya adalah banyak informasi yang belum pasti asal-usul dan kebenarannya (hoax).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Atik Astrini (2017) dalam jurnal Transformasi No. 32 tahun 2017 “Hoax dan Banalitas Kejahatan” mengemukakan bahwa penyebaran hoax di media sosial dan media daring tidaklah terjadi begitu saja tanpa kepentingan yang melatarbelakanginya.  Ada kepentingan di baliknya, baik politik kekuasaan, ekonomi (industri dan bisnis hoax), ideologis, sentimen pribadi, dan iseng.

Selanjutnya, hasil riset yang dilakukan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menunjukkan bahwa isu politik dan SARA merupakan hal yang paling sering diangkat menjadi materi untuk konten hoax. Para penyebar hoax mempengaruhi opini publik dengan memanfaatkan isu yang paling rawan seperti isu sosial, politik, suku, agama, ras dan antargolongan.

Sebanyak 91,8 persen responden mengaku paling sering menerima konten hoax tentang sosial politik, seperti pemilihan kepala daerah dan pemerintahan. Tidak beda jauh dengan sosial politik, isu SARA berada di posisi kedua dengan angka 88,6 persen. Bentuk konten hoax yang paling banyak diterima responden adalah teks sebanyak 62,1 persen, sementara sisanya dalam bentuk gambar sebanyak 37,5 persen, dan video 0,4 persen.

Baca Juga:  Penggusuran PKL Gondomanan Belum Temui Titik Terang

Sebanyak 92,4 responden menyatakan mendapatkan konten hoax melalui media sosial, yaitu Facebook, Twitter, Instagram, dan Path. Angka ini cukup jauh jika dibandingkan dengan situs web (34,9 persen), televisi (8,7 persen), media cetak (5 persen), surel (3,1 persen), dan radio (1,2 persen).

 

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk meminimalisasi tersebarnya berita hoax sudah diatur dalam Undang-Undang No.11 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yaitu setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Akan tetapi, dikutip dari Jurnal Wacana Kerja (11/2017) sampai saat ini masyarakat masih banyak melanggar UU ITE , sebab aturan tersebut tidak optimal karena yang dibuat hanya membahas langkah antisipasi tanpa mencari tahu penyebab tersebarnya berita hoax tersebut.

Berita hoax dapat diatasi dengan mencari data atau sumber informasi dari situs yang berbeda. Berita tidak dapat disimpulkan hanya melalui satu situs saja. Seperti yang dikatakan oleh Dwipa, perlu adanya peningkatan Intelligence Quentient (IQ) terhadap individu itu sendiri. Ini merupakan cara yang efektif karena jika IQ seseorang tinggi, ia tidak akan puas dengan hanya membaca satu berita.

Wechsler, seorang psikologi klinis mengatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan bertindak dengan menetapkan suatu tujuan, untuk berpikir secara rasional dan untuk berhubungan dengan lingkungan sekitarnya secara memuaskan, tulis Sukardi yang dikutip Baharina (2002).

Penulis: Lia & Aisyah

Penyunting: Fariza

Persma Poros
Menyibak Realita