![]()
Pada Hari Rabu, 24 September 2025 Puluhan warga Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, menggelar aksi damai di Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan (ATR/BPN) setempat yang juga bertepatan dengan Hari Tani Nasional. Aksi bertajuk Cilacap Darurat Agraria: Tanah Dirampas, Rakyat Digilas menuntut penghentian penggusuran dan pematokan lahan masyarakat secara sepihak oleh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan.
Warga Kampung Laut menolak upaya penyodetan tanah yang dilakukan di Klacas, Ujungalang, hingga Gragalan. Perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang membantu advokasi, Wandi Nasution, menjelaskan warga menolak pematokan tanah Kampung Laut karena dilakukan tanpa sosialisasi dan bersifat sepihak yang menyasar tanah bersertifikat hak milik. Ia menambahkan, pihaknya mencatat adanya pembukaan lahan untuk food estate seluas 34,2 hektare yang dikelola narapidana di atas bekas lahan hasil penggusuran warga.
“Warga juga mendengar beberapa desas-desus terkait dengan food estate ataupun ketahanan pangan yang itu belum ada dokumennya. Namun, secara faktual di lapangan, itu sudah dibuka seluas 34,2 hektare,” Ungkap Wandi pada saat konferensi pers (24/9/25).
Lalu Wandi mengimbuhkan, Masyarakat mengalami berbagai teror dan intimiadasi, salah satunya melalui surat perintah pengosongan tanah Dusun Gragalan selama 20 hari pada maret 2025 yang dikeluarkan oleh Lapas Nusakambangan dan Sekretariat Daerah Cilacap. Data yang dihimpun LBH Yogyakarta menunjukan sekitar 32 kepala keluarga dengan lebih dari 100 orang terancam kehilangan tempat tinggal akibat konflik agraria ini.
Merespon Aksi, Kepala Kantor ATR/BPN Cilacap, Andri Kristanto menyampaikan prinsip penerbitan sertifikat tanah harus jelas dan bersih dari sengketa serta wajib ada persetujuan warga. Alih-alih demikian, Andri mengakui belum mengetahui secara utuh konflik yang terjadi di Kampung Laut. Ia menjanjikan kunjungan ke Kampung Laut pada tanggal 7 dan 8 Oktober untuk melihat langsung kondisi masyarakat.
Ihwal surat pertanahan warga, Wandi menuturkan sebagian warga Kampung Laut pernah mengajukan permohonan Sertifikat Hak Milik (SHM). Namun, hingga kini pengajuan tersebut belum mendapatkan kejelasan. Di sisi lain, warga menuntut agar negara menghentikan penerbitan Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) maupun Sertifikat Hak Pakai (SHP) yang berpotensi merampas hak masyarakat atas tanah yang sudah lama mereka kelola.
Selain melakukan aksi penolakan, warga Kampung Laut juga mempertahankan tanah dengan cara lain. Salah seorang petani Gragalan, Paimin, menuturkan bahwa lahan di Gragalan merupakan warisan leluhur yang sudah mereka kelola sejak lama. Ia menjelaskan, masyarakat yang semula berprofesi sebagai nelayan sekarang menjadi petani setelah wilayah yang dulunya laut berubah menjadi daratan, dan sejak saat itu tanah menjadi sumber utama penghidupan masyarakat.
Lebih dari sekedar ekonomi, tanah juga terikat dengan tradisi. Paimin menjelaskan masyarakat masih menjaga tradisi merdi bumi dan merdi laut yang berupa selametan sebagai ungkapan rasa syukur kepada bumi dan laut yang memberi kehidupan, sekaligus mempererat solidaritas warga.
“Jadi adat budaya kita itu, budaya Jawa gitu ya, diadakan syukuran lah intinya, syukuran itu merdi bumi gitu dan merdi laut gitu,” ujar Paimin saat diwawancarai Reporter Poros (24/9).
Lebih lanjut, Menurutnya kegiatan tersebut juga menjadi cara masyarakat merawat budaya Jawa yang diwariskan turun-temurun dalam menjaga alam.
Di samping itu, warga juga menjaga tanah lewat pengelolaan sehari-hari. Paimin menuturkan mereka telah menggarap lahan lebih dari 25 tahun. Batas tanah ditandai dengan patok tradisional yang diwariskan turun-temurun dan diakui antarwarga. Meskipun banyak bidang tanah yang belum secara resmi diakui negara melalui sertifikat maupun surat. Ia menekankan perlu peran aktif pemerintah daerah untuk mendampingi masyarakat agar pengelolaan yang sudah lama dilakukan mendapat pengakuan formal.
Reporter: Nandia Rizqa
Penulis: Raudhah Ananda
Penyunting: Muhammad Fernanda
Menyibak Realita





Leave a Reply