Surat Terbuka Untuk Pengelola Perpustakaan UAD

dok. digilib.uad.ac.id

Loading

Oleh: Lalu Bintang Wahyu Putra

Assalamualaikum wr. wb.

Semoga surat ini menemui Bapak/Ibu dalam keadaan bahagia. Jika tidak, pasti akan sangat tidak mengenakkan karena dengan berbahagia kita bisa berpikir jernih dan bekerja maksimal, iya kan?

Sebenarnya sudah lama surat ini ingin saya layangkan, tapi karena suatu sebab baru saat ini ditulis. Saya menulis ini karena ketidaknyamanan yang saya dapat sebagai mahasiswa. Awal semester ganjil lalu, jam pelayanan perpustakaan kampus II yang biasanya sampai pukul 19.00 dipersingkat menjadi pukul 16.00. Saya terganggu dengan perintah pustakawan untuk segera keluar karena perpustakan akan tutup. Melihat situasi ini saya memberanikan diri bertanya alasan tutup lebih awal. Pustakawan yang piket waktu itu menjawab bahwa petugas yang biasanya bertugas sampai malam telah pensiun dan belum ada pengganti. Waktu itu saya manggut-manggut menerima alasan tersebut.

Melihat kondisi teman-teman mahasiswa yang terpaksa keluar lebih cepat waktu itu memaksa saya untuk mengirim pesan singkat kepada Warek (wakil rektor) III untuk segera menangani masalah ini. Raut wajah kecewa dari mahasiswa-mahasiswa legend yang sedang menggarap skripsi tak tega saya tatap. Sampai detik ini pesan tersebut belum dibalas oleh beliau. Setelah saya menghadap langsung ternyata beliau berganti akun. Bapak Warek III akhirnya menyarankan saya untuk mengirim surat langsung kepada pengelola perpustakaan.

Singkat cerita, dipertengahan semester lalu, saya melayangkan pesan kepada pengelola perpustakaan melalui media sosial. Waktu itu adminnya merespon akan segera mencari pengganti. Namun nyatanya, setelah satu semester berlalu dan kini memasuki minggu ketiga semester genap, perpustakaan yang mendapat akreditasi A dari Perpustakaan Nasional ini belum berbenah. Miris.

Sebagai peraih akreditasi A, mencari pustakawan pengganti harusnya bukan sesuatu yang sulit. Namun sayang kondisi ini memang benar terjadi. Padahal jika melihat jadwal perkuliahan, mahasiswa mulai belajar dari pukul 7 pagi hingga malam hari. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan, mengingat perpustakaan merupakan fasilitas akademik termewah, selain Wi-fi gratis di kampus. Perpustakaan harusnya bisa menyesuaikan jadwal pelayanan dengan aktifitas belajar mahasiswa.

Baca Juga:  Menjual Ayam di Pasar Sapi

Dibalik mahalnya biaya hidup, diiringi dengan minimnya minat baca apalagi membeli buku, maka mengaktifkan atau memperpanjang jadwal pelayanan merupakan sebuah keharusan. Tak dapat dipungkiri, perpustakaan merupakan fasilitas langka di republik ini. Di kampus ini saja jumlah pos satpam lebih banyak dari perpustakaan. Sebuah perbandingan yang menggelikan untuk sebuah lembaga pendidikan. Padahal yang paling perlu dijaga adalah isi otak mahasiswa, bukan sikap atau perilakunya. Karena biasanya isi otaklah yang menetukan sikap seseorang, bukan sebaliknya.

Melihat kondisi perpustakaan yang jarang ramai pengunjung harusnya menjadi perhatian serius. Fasilitas ini merupakan cerminan isi kepala penghuninya (mahasiswa). Jika sepi, maka sepi pula suara kegiatan akademis lainya. Terbukti, saat ini aktifitas seperti diskusi amat langka di kalangan mahasiswa.

Baiknya pengelola membahas kondisi ini dengan pihak rektorat, mengingat visi-misi UAD adalah menjadi perguruan tinggi berskala internasional. Tujuan mulia ini tentu akan terkendala jika perpustakaan saja tidak dikelola maksimal. Terlebih kolekasi buku pun, baik yang baru atau lawas, masih tergolong minim.

Oh iya, baru-baru ini saya mendengar kabar bahwasanya perpustakaan membuat terobosan baru. Yakni, mengalihformatkan skripsi jilid menjadi PDF dan hanya bisa diakses melalui online. Sebuah langkah yang tepat di era digital ini. Namun apakah upaya ini pernah dikaji dan dibahas dengan matang, mengingat kondisi mahasiswa tidak semuanya memiliki laptop? Toh juga jika menggunakan komputer yang tersedia di setiap kampus sangat tidak memungkinkan karena kebanyakan yang rusak dan koneksi sulit.

Teman-teman yang satu jurusan dengan saya akhir-akhir ini kebingungan. Mereka bertanya dimana skripsi yang sebelumnya tertata dan berjejer rapi di rak tersebut? Mereka tidak tahu jika skripsi telah dialihformatkan ke bentuk online. Alangkah lebih baik jika terobosan ini disosialisasikan dengan maksimal agar tidak terjadi kebingungan. Terlebih, bagi sebagian orang dan juga saya sendiri, lebih menyukai bentuk skripsi berbentuk jilid daripada yang diakses secara online. Selain alasan tidak ribet karena harus terhubung internet juga dapat mengakibatkan dampak negatif bagi kesehatan.

Baca Juga:  Risih dengan Catcalling, Pidanakan Saja!

Semoga setelah membaca surat ini kebahagiaan Bapak/Ibu tidak berkurang, karena tujuan saya menulis surat ini bukan untuk membuat anda sedih apalagi galau. Tapi untuk penyemangat agar bekerja lebih giat demi UAD yang lebih bermoral, intelektual dan berintegritas. Sekian, terimakasih.

Wassalamualaikum .wr.wb.

Bintang W. Putra
Pimpinan umum pers mahasiswa Poros UAD. Pencari Wi-fi dan penikmat shampo.