Ruang Terbuka Hijau Kota Yogyakarta Belum Saling Terhubung

Loading

Pembangunan masif di Kota Yogyakarta telah mengubah komposisi area hijau menjadi terfragmentasi dalam ukuran yang kecil. Kumpulan pohon bahkan persawahan kini sudah disulap menjadi area pemukiman, kafe hingga hotel untuk mendukung pariwisata Yogyakarta. Tidak banyak lagi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang berada di tengah kota, semua sudah terdesak ke sub-urban atau lebih tepatnya ke pinggiran sub-urban.

Menurut Pemerintah Daerah (Pemda), Kota Yogyakarta yang memiliki luasan 3.250,01 Ha memiliki RTH seluas 18 persen. Presentase RTH publik tersebut khususnya dinilai masih kurang dibanding yang sudah ditetapkan pemerintah. Hal tersebut disesuaikan dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 di mana RTH wajib dimiliki oleh setiap kota dengan komposisi 20 persen untuk RTH Publik dan 10 persen untuk RTH Privat.

Ruang Terbuka Hijau sebagai ruang publik bervegetasi di kawasan urban penting dipertahankan sebagai paru-paru kota. Meningkatnya jumlah kedatangan turis ke Kota Yogyakarta dalam lima tahun terakhir terus meningkatkan aktivitas perekonomian di tengah kota. Tingginya aktivitas ekonomi meningkatkan jumlah kendaraan bermotor yang berakibat pada meningkatnya jumlah polusi karbon dan gas berbahaya lainnya di udara.

Menurut Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Yogyakarta tercatat jumlah kendaraan roda dua dan roda empat meningkat tiga kali lipat hingga tahun 2017 mencapai 300.000 unit setiap harinya. Jika pemerintah tidak menekan jumlah kendaraan dan meningkatkan luasan RTH, maka kualitas udara di Kota Yogyakarta akan memburuk. RTH merupakan hak bagi warga perkotaan yang memerlukan ruang publik yang segar, yang bernilai estetik, penyeimbang ekosistem, dan tempat rekreasi warga perkotaan untuk relaksasi dari rutinitas padat sehari-hari.

Keterkaitan RTH dengan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) sangatlah erat. SDGs merupakan suatu agenda hasil kesepakatan bersama 193 negara di dunia untuk tujuan pembangunan yang berkelanjutan di tahun 2030. Dari 17 tujuan yang ingin dicapai dalam kesepakatan SDGs, tujuan ke-11 mengenai “Kota dan Komunitas Berkelanjutan” merupakan prinsip dasar pengembangan RTH. Dalam tujuan tersebut, perkotaan sebagai pusat perekonomian dibangun menjadi lebih kuat, aman, dan berkelanjutan.

Baca Juga:  Polri Jangan Menjadi Penghambat

Salah satu strategi pencapaian yang dilakukan adalah dengan menetapkan pembangunan infrastruktur kota seperti ruang publik dan RTH serta area permukiman yang berkelanjutan. RTH dan ruang publik yang ada wajib dikelola dengan baik agar menjadi area yang layak untuk berinteraksi sesama warga, baik dalam kegiatan sosial dan ekonomi. RTH dan ruang publik yang ada juga tidak boleh mengorbankan kelestarian lingkungan, serta harus diatur luasan dan tata kelolanya demi keberlanjutan kota tersebut.

Lalu apakah RTH di Kota Yogyakarta yang ada saat ini sudah ideal menjadi suatu ruang publik yang berkelanjutan? Mungkin jawabannya belum. Menurut Badan Lingkungan Hidup (BLH) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), 579 Ha luas total RTH Kota Yogyakarta tersebar di 840 titik. RTH di Kota Yogyakarta yang memiliki luasan di atas lima Ha hanya terdapat di sembilan titik. RTH dengan luasan terbesar hanya seluas 11 Ha yaitu RTH jalur hijau di Kota Baru. Sisanya, sebanyak 75 persen titik RTH yang ditemukan memiliki luasan kurang dari satu Ha, itu pun sebagian besar merupakan RTH Privat, seperti pekarangan rumah warga.

Melihat kondisi RTH yang tersebar dalam ukuran yang kecil, jelas akan membahayakan keberlanjutan RTH di Kota Yogyakarta. Secara teori, suatu kawasan bervegetasi yang ditujukan sebagai area konservasi akan mudah terkena gangguan jika terpecah-pecah dalam ukuran kecil dibandingkan dalam keadaan menyatu dalam ukuran yang luas. RTH yang terpisah-pisah dapat dijaga keberadaannya dengan membuat jalur hijau yang saling terhubung satu sama lain.

Pemerintah Yogyakarta diminta agar lebih terencana lagi dalam membangun RTH di tengah kota. Kedepannya, penambahan luasan RTH diharapkan akan lebih mementingkan konektivitas antara satu titik dengan titik lainnya daripada mementingkan luasan yang tercukupi saja. Kesulitan dalam menghubungkan RTH dapat diatasi dengan membuat RTH secara vertikal seperti yang sedang marak dilakukan di kotakota besar seperti Surabaya, Malang, dan Bandung.

Baca Juga:  Pembatasan Ruang Demokrasi Di Balik Pemberlakuan Kurikulum Baru

Pembangunan RTH secara vertikal dapat disusun dengan tumpukan pot-pot ke arah atas atau dapat juga difokuskan dengan membangun roof garden atau kebun mini yang dibangun di atap-atap gedung. Penataan RTH secara vertikal akan memiliki keterbatasan dalam pemilihan jenis tanaman karena idealnya hanya tanaman herba (tidak berkayu) atau perdu (berkayu dengan tinggi kurang dari satu meter) yang dapat optimal dikembangkan dengan metode vertical garden ini.

Strategi yang dapat dilakukan akhirnya dengan pemilihan jenis tanaman herba atau perdu yang memiliki kemampuan menyerap gas karbon dan pencemar lain yang optimal. Harapannya peningkatan jumlah vegetasi secara vertikal ini dapat menjadi solusi sulitnya mencari lahan di tengah masifnya pembangunan di perkotaan. Pemerintah juga harus membuka mata bahwa keberadaan RTH juga penting bagi makhluk hidup lainnya. Hewan seperti burung misalnya banyak yang bergantung dengan RTH sebagai tempat singgah dan membuat sarang.

Kesatuan lokasi RTH juga akan mempengaruhi jalur migrasi burung-burung yang setiap tahun melintasi Kota Yogyakarta. Fenomena migrasi burung dari belahan bumi utara yang selalu melewati Kota Yogyakarta seharusnya dapat dikemas menjadi agenda tahunan wisata ekologis yang dapat menarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Sedianya, rencana penambahan luasan kedepannya harus direncanakan kepada konektivitas area, agar area hijau ini benar-benar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama semua makhluk yang memerlukannya.***

(Artikel ini sudah diterbitkan dalam Majalah Pers Mahasiswa Poros berjudul Benang Kusut Problematika Kekerasan Anak)

Penulis: Inggit Utami

                (Dosen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi Terapan, Universitas Ahmad Dahlan).

Persma Poros
Menyibak Realita